Salin Artikel

Cerita Keluarga Pemulung di Palembang, Baru Tahu Anaknya Stunting Saat Demam

PALEMBANG, KOMPAS.com - Bangunan rumah bedeng empat pintu di kawasan Lorong Kelurahan Sialang, Kecamatan Sako, Palembang, Sumatera Selatan, nampak lusuh.

Seluruh bedeng itu diisi oleh mayoritas keluarga kurang mampu yang bekerja sebagai buruh ataupun pemulung.

Di dalam bedeng tersebut, terlihat seorang ibu muda yang sedang menimang bayinya yang baru berumur dua bulan.

Ibu muda itu adalah Eka Putri Mairedandi (22). Tangannya terlihat begitu cekatan saat menggantikan celana bayi laki-laki anak keduanya, karena sudah terkena pipis. 

“Tidak pakai popok bayi, jadi langsung pakai celana saja,” kata Eka, saat dibincangi Kompas.com, Senin (10/4/2023).

Kondisi perekonomian keluarga Eka yang pas-pasan membuatnya terpaksa tidak menggunakan popok kepada anaknya tersebut.

Sebab, ia lebih memprioritaskan kebutuhan makan anak serta keperluan lain agar putra keduanya itu tidak terkena stunting seperti anak pertamanya.

Maklum, penghasilan dari Andi Pratama (23) yang merupakan suami Eka, setiap hari sekitar Rp 50.000 dari memungut barang bekas di sekitar Kecamatan Sako.

“Kalau mau pergi saja baru dipakaikan (popok bayi). Kalau di rumah tidak pakai,”ujarnya.

Fathia Rizky Putri, anak pertama Eka saat ini masih menderita stunting. Meski telah berumur dua tahun, berat badan Fatiha hanya 9 kilogram. 

Eka pun tak menyadari putri pertamanya terkena stunting karena kurangnya pemahaman soal pola asuh dan asupan gizi untuk anak. Bahkan, kondisi Fathia terkena stunting pun baru diketahui ketika anaknya mengalami demam.

“Awalnya itu demam, setelah itu saya bawa ke Puskesmas. Setelah dicek, anak saya stunting berat badan dan tingginya saat itu kurang, hanya 6 kilogram,” jelas Eka.

Pihak Kecamatan Sako yang mendapatkan kabar adanya penderita stunting langsung menurunkan tim untuk memberikan bantuan untuk memperbaiki gizi anak.

Eka pun langsung dimasukkan dalam program Gending (Gerakan Donasi Peduli Stunting) bagi keluarga yang kurang mampu.

Setelah hampir dua tahun berjalan, kondisi gizi Fathia kini pun mulai berangsur normal baik berat maupun tinggi badan.

“Sekarang sudah 9 kilogram, anak saya juga bisa berjalan dan sehat,” ungkapnya.

Program Gending yang digagas Camat Sako Amirudin Sandy telah berjalan sejak 2021, tanpa menggunakan dana APBD maupun anggaran dari pemerintah.

Seluruh pegawai dari Kecamatan Sako memang sengaja menyisihkan sebagian pendapatan mereka paling kecil Rp 5.000 untuk membantu para anak yang menderita stunting.

Donasi itu selanjutnya akan dibelikan asupan gizi yang dibutuhkan para penderita stunting agar dapat terbebas dari tengkes.

“Awalnya donasi ini hanya di lingkup Kecamatan Sako, lambat laun ternyata meluas dan banyak donatur luar juga yang ikut membantu. Baik dari jajaran Polisi/TNI maupun rekanan swasta,” kata Amir kepada Kompas.com, Senin (10/4/2023).

Amir mencatat, saat ini ada sekitar 20 anak yang terkena stunting. Anak-anak itu setiap harinya diberikan makan untuk mencukupi gizinya agar dapat berkembang normal.

“Untuk sekarang, makan yang kami siapkan untuk anak ditunda sementara karena Ramadhan. Nanti setelah lebaran, akan dilanjutkan lagi. Makan yang disiapkan tersebut sesuai perhitungan dari ahli gizi, sehingga asupannya tercukupi,” ujarnya.

Anak yang terkena stunting akan terus dipantau oleh Kecamatan Sako perkembangannya hingga normal. Evaluasi perbaikan gizi itu akan dilakukan setiap bulan.

“Lingkar kepala, pinggang, tinggi badan juga akan dinilai,”ujarnya.

Para penderita stunting sebetulnya bukan hanya karena kemiskinan. Namun, minimnya pemahaman orangtua anak soal asupan gizi juga menjadi penyebab penyebaran tengkes itu masih berlangsung.

Amir pun sempat membagikan pengalamannya ketika menghadirkan orangtua anak penderita tengkes. Di mana salah satu bayi yang baru berumur enam bulan diberi minum kopi botolan saat menangis.

“Bayi itu awalnya menangis, tidak lama kemudian orangtuanya pergi keluar membeli kopi botolan. Kopi itu diberikan ke anaknya. Kami juga terkejut, tapi orangtuanya bilang sudah biasa,” aku Amir.

Dari 20 orang anak penderita stunting di tengkes, rata-rata menikah di usia muda antara 17 hingga 18 tahun.

Minimnya pengalaman dan pengetahuan dalam mengasuh anak menjadikan bayi mereka kekurangan kebutuhan akan gizi dalam tumbuh kembang.

“Padahal edukasi itu penting agar orangtua tahu gizi yang dibutuhkan anak, ” ujarnya.

Angka Stunting di Sumsel Menurun

Angka prevalensi stunting di Tengkes, Sumatera Selatan, mengalami penurunan kasus secara drastis dari kurun satu tahun terakhir.

Berdasarkan data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) pada tahun 2021 angka stunting di Sumsel mencapai 24,8 persen. Sementara, di tahun 2022 menurun secara signifikan menjadi 18, 6 persen. 

Untuk Kota Palembang, jumlah stunting di daerah ini pada 2021 mencapai 16,1 persen kemudian menurun di tahun 2022 menjadi 14,3 persen.

Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Selatan, Trisnawarman mengatakan, penurunan angka stunting ini dikarenakan pemerintah kabupaten kota selalu gencar memberikan edukasi ke masyarakat untuk memastikan kebersihan lingkungan terutama di kawasan kumuh.

"Kemudian memberikan edukasi serta asupan gizi cukup bagi calon pengantin, ibu hamil, ibu menyusui, dan anak di masa 1.000 hari kehidupan sampai mereka balita,” kata Trisnawarman, Selasa (4/3/2023).

Dengan adanya penurunan tersebut, ia memastikan angka stunting di tahun 2023 akan kembali turun menjadi 14,3 persen di bawah nasional yakni 21,6 persen.

Menurut Trisnawarman, beberapa indikator penurunan angka stunting yang dilakukan pemerintah daerah, yakni dengan menyediakan anggaran, peningkatan kualitas layanan, serta peningkatan status pangan.

“Ada beberapa faktor penyebab stunting, misalnya dari lingkungan, sarana dan prasarana, fasilitas kesehatan, pola asuh, pola makan,” jelasnya.

Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru pun menargetkan angka stunting tahun 2024 di wilayahnya turun hingga satu digit. Menurutnya, stunting bukan hanya masalahan kemiskinan dan kawasan kumuh.

Sehingga, Herman pun mengimbau agar peran Posyandu dapat kembali diaktifkan di seluruh daerah.

”Banyak orang mampu yang anaknya stunting. Itu karena mereka tidak memberikan ASI eksklusif atau makan yang baik saat hamil. Alasannya karena takut gemuk,” ujar Herman.

https://regional.kompas.com/read/2023/04/11/062254278/cerita-keluarga-pemulung-di-palembang-baru-tahu-anaknya-stunting-saat-demam

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke