Salin Artikel

Mengenal 3 Kerajaan yang Terkubur Saat Tambora Meletus

DOMPU, KOMPAS.com - Letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada April 1815 silam diperkirakan menelan korban hingga mencapai 75.000 jiwa.

Sekitar 15.000 jiwa di antaranya menjadi korban saat awan panas dengan kecepatan 7.000 kilometer per jam itu menghancurkan hutan, perkebunan, dan disebut-sebut mengubur tiga kerajaan.

Adalah Kerajaan Tambora, Pekat, dan Sanggar yang terkubur letusan paripurna gunung api di Semenanjung Sanggar ini.

Dari tiga kerajaan yang berdiri kokoh di lereng Gunung Tambora, hanya Kerajaan Sanggar yang masih terekam jejaknya sampai 208 tahun usia letusan gunung tersebut.

Sementara letak dua kerjaan lain yakni Pekat dan Tambora sampai saat ini masih menjadi misteri yang belum terpecahkan

"Kerajaan Sanggar semula berada di Boro. Karena letusan Tambora, pusat kerajaan ini berpindah ke Kore. Bahkan, Raja Sanggar saat itu sampai mengungsi ke Nggembe, Bima," kata Penggiat Sejarah Bima, Fahrurizki.

Kerajaan Sanggar bertahan dengan jumlah penduduk yang sekitar 275 jiwa, sedangkan 1.100 jiwa meninggal akibat letusan hebat Gunung Tambora.

Jejak peninggalan Kerajaan Sanggar masih bisa dijumpai hingga saat ini, seperti bendera kerajaan, kopiah kebesaran raja, makam raja, foto-foto masa lalu, dan pusaka.

Benda-benda itu kini tersimpan disebuah rumah warga yang dijadikan museum oleh garis keturunan Kerajaan Sanggar.

"Jumlah penduduk Kerajaan Sanggar sebelum letusan Tambora, tahun 1808 ada 2000 jiwa dan tahun 1815 sebanyak 2200 jiwa, setelah letusan bertahan hanya sekitar 200 jiwa," ungkap Fahrurizki.

Hans Hagerdal dalam bukunya Held's History of Sumbawa mencatat mengenai pemegang tampuk kekuasaan semasa kejayaan tiga kerajaan sebelum dan pasca-letusan Tambora, 1815.

Sebelum tahun 1701-1704, Raja Sanggar yang bertahta saat itu bernama Hasanuddin. Pada tahun 1704-1708 kemudian dipimpin Raja Daeng Ngaseng. Dari tahun 1708 tampuk kekuasaan berpindah ke NN, namun akhir kekuasaannya tidak tercatat.

Sebelum tahun 1724-1740 Kerajaan Sanggar lalu dipimpin oleh Raja Abdul Saleh. Tahun 1740-1747 kemudian dikuasai Raja Abdul Muhammad Daeng Manaba.

Sementara pada 1765-1781 tampuk kekuasaan itu berpindah ke Raja Muhammad Syah Jahan. Dari 1781-1783 kemudian dipimpin oleh Raja Datu Daeng Madenjung.

Tahun 1783-1790 tampuk kekuasaan berpindah lagi ke Raja Adam Safiullah. Tahun 1790-1805 Kerajaan Sanggar berada di bawah kekuasaan Raja Muhammad Sulaiman.

Pada 1805 sampai peristiwa letusan dahsyat Tambora 1815 atau 208 tahun lalu, Kerajaan Sanggar dipimpin oleh Raja Ismail Halilud Dayan.

Setelah sempat terjadi kekosongan, tampuk kekuasaan baru tercatat lagi pada tahun 1827-1836 dengan Raja La Lira Daeng Jai. Tahun 1836-1845 dipimpin Daeng Malaba.

Tahun 1845-1869, raja yang memegang kuasa bernama Manga Daeng Manasse. Tahun 1869-1900 Raja Sanggar bernama La Kamea Daeng Nganjo Syamsuddin. Pada tahun 1900-1926 tampuk kekuasaan itu diambil alih oleh Raja Abdullah Daeng Manggalai.

Sementara Kerajaan Tambora, sebut Hagerdal, pada tahun 1675 pemerintahan dipimpin Raja Bagus Ima C. Kemudian sebelum dan sampai tahun 1687, Raja bernama Jamaluddin. Tahun 1687-1697 berpindah ke Raja Nizamuddin Abdul Basyir.

Dari 1697-1716 kerajaan tersebut dipimpin Raja Samalas Daeng Mamangon. Kemudian pada tahun 1716-1724 dipimpin oleh Raja Abdul Aziz, dan tahun 1726-1748 berpindah ke Raja Abdul Rahman.

Pada 1748 kekuasaan beralih ke Raja Jeneli Kadinding, dan di tahun yang sama yakni 1748 diambil alih Abdul Said Juhan Kamalasa. Dari 1748-1749 tampuk kekuasaan dipegang Tureli Tambora. Tahun 1749-1771 berpindah lagi ke Raja Abdul Said Juhan Kamalasa untuk kedua kalinya.

Setelah kekuasaannya berakhir, tahun 1771-1773 Kerajaan Tambora dipimpin Raja Tahmidullah Hidayatun Minalla. Tahun 1773-1800 diambil alih Abdul Rakhid Tajul Arifin, dan tahun 1800-1801 berpindah lagi ke Raja Muhammad Tajul Masahor. Tahun 1801-1815 raja yang memimpin saat itu adalah Abdul Jafar Mataram.

Kerajaan Pekat, dalam catatan Hagerdal, dipimpin Raja Ince C pada tahun 1675 yang tak lama kemudian berpindah ke Daeng Manessi.

Pada tahun 1701-1707 tampuk kekuasaan berada di tangan Abdul Cili Mandarsyah. Tahun 1707-1719 kerajaan dipimpin Raja Daeng Manggala Abdul Jalil.

Pada tahun 1719 raja yang memimpin yakni Si Tangoli, namun akhir kekuasaan tidak tercatat. Kemudian sebelum dan sampai tahun 1735 raja bernama Abdul Said. Dari 1735-1739 berpindah lagi ke Raja Abdul Brahim, dan tahun 1739 beralih ke Daeng Sado.

Sementara sebelum dan sampai 1775, Kerajaan Pekat dipimpin Raja Abdul Gafur. Kemudian tahun 1755-1768 berpindah ke Raja Si Impa Abdul Rahman. Tahun 1794 sampai letusan Tambora 1815 raja yang memimpin adalah Abdul Muhammad.

Dari catatan Hagerdal tersebut, raja dari dua kerajaan yakni Tambora dan Pekat terhenti atau lenyap setelah meletusnya Gunung Tambora, 1815.

Penggiat Sejarah Dompu, Nurhaedah mengemukakan, letusan 1815 itu hanya mengubur dua kerajaan yang berdiri di lereng Gunung Tambora, yakni Kerajaan Pekat dan Tambora.

Sementara Kerajaan Sanggar, menurut dia, pemerintahannya masih bertahan sampai 1928 sebelum akhirnya memutuskan bergabung dengan Kerajaan Bima.

"Jadi hanya Kerajaan Pekat dan Tambora yang terkubur," ujarnya.

Menurutnya, hampir tidak ada catatan sejarah tentang dua kerajaan yang terkubur letusan Gunung Tambora ini.

Susunan para raja yang berkuasa sebagaimana diungkap Hagerdal, lanjut Nurhaedah, diketahui berdasarkan surat kontrak dengan Belanda.

"Kapan Kerjaan Tambora dan Pekat berdiri hampir tidak ada catatannya. Susunan rajanya ada, kemungkinan itu dirangkum dari surat-surat kontrak dengan Belanda," ujar Nurhaedah.

https://regional.kompas.com/read/2023/04/08/205938478/mengenal-3-kerajaan-yang-terkubur-saat-tambora-meletus

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke