Salin Artikel

Kemacetan 22 Jam di Jambi: Ikan Mati, Sopir Tekor, dan Penumpang Ambulans Meninggal

Jalan sepanjang 15 kilometer tersebut sudah dipadati mobil sejak pukul 10.00 WIB, Selasa (28/2/2023). Sampai pukul 08.00 WIB (1/3/2023) kemacetan belum terurai.

"Kita sopir-sopir inilah yang mengatur. Malam-malam begini mana ada petugas, mereka enak-enak tidur, kita begadang semalaman di jalan," kata Doni sopir ikan, Rabu (1/3/2023).

Ia berharap, kemacetan cepat terurai dengan bantuan petugas yang mengatur lalu lintas.

Sebab bila tidak ada petugas, pengemudi saling tidak mau mengalah hingga membuat jalan terkunci dan tidak bisa bergerak.

"Ini bukan lagi macet. Tapi tidak bergerak. Hanya Tuhan yang tahu, kapan kemacetan ini akan terbuka," kata Doni dengan nada kesal.

Ia mengaku rugi banyak. Sebab sebagian besar ikan yang dibawa telah mati. Dia ingin membawa ikan ke Pasar Angsoduo Jambi.

Harga ikan yang telah lama mati, berbeda jauh harganya dengan ikan yang masih segar ketika dibawa ke pasar.

Hal senada dikeluhkan sopir truk yang membawa perabot rumah tangga, Setiawan. Lelaki 37 ini sudah terjebak lebih dari 15 jam.

"Dari sore kemarin, kami ini sudah terjebak kemacetan. Kalau sudah begini ya bisanya cuma pasrah dan sabar," kata Setiawan.

Dia mengaku sudah berkali-kali terjebak macet karena ada belasan ribu batubara yang bergerak serentak pada malam hari, untuk mengangkut batubara dari tambang menuju pelabuhan Talang Duku, Kabupaten Muarojambi.

Masyarakat memang sudah terbiasa, karena sudah bertahun-tahun kemacetan terjadi tanpa solusi.

Titik kemacetan di perbatasan Kabupaten Sarolangun-Batanghari lalu mulai dari Karmeo-Simpang Tembesi, titik terparah selanjutnya Simpang Tembesi-Sridadi.

"Waktu untuk anak dan isteri yang memang tergadai kalau sudah macet. Kami sopir ini punya jadwal ya, hari ini dan jam sekian misalnya kami harus sudah berangkat, kalau macet, tentu tidak ada lagi waktu istirahat di rumah," kata pria yang akrab disapa Wawan.

Kerugian terbesar bagi Wawan adalah hilangnya waktu bersama keluarga. Selanjutnya duit jalan yang sering minus, membuatnya merogoh kocek sendiri.

"Kalau uang jalan habis, mau tidak mau pakai uang sendiri. Itu artinya setoran bulanan untuk di rumah berkurang," keluhnya.

Sementara itu, Rendi, sopir batubara mengaku kerap menjadi sasaran tembak kemarahan masyarakat.

"Kalau sudah macet lebih dari 12 jam, apalagi sudah lebih sehari semalam, kami sopir batu bara ini kadang yang disalah-salahkan masyarakat, disebut biang kemacetan," kata Rendi.

Lelaki yang telah membawa truk batu bara sejak 2020 lalu, mengatakan kemacetan sudah terjadi sejak 2021.

Angkutan batu bara sudah mencapai belasan ribu di jalanan. Dengan aturan pemerintah untuk angkutan batu bara hanya boleh melintas pukul 18.00 WIB malam.

Dengan aturan ini, semua angkutan batu bara keluar dalam waktu bersamaan, tentu ini yang menjadi sumber kemacetan.

"Jumlah armada memang banyak, belasan ribu. Kalau batu bara boleh lewat siang, maka kamacetan tidak parah. Kemacetan ini karena ribuan truk batu bara serentak keluar dari tambang, jadi penuh lah jalan," kata Rendi.

Dia berharap, pemerintah menerapkan sistem kuota dan jadwal setiap angkutan batu bara. Sehingga waktu tempuh tidak memakan waktu 3-5 hari di jalanan.

"Masih ada lah sisa uang jalan untuk sopir walau macet-macet begini. Tapi nominalnya sudah kecil. Sementara harga-harga barang terus tinggi," kata dia.

Terkait kemacetan ini, Rendi sudah melapor ke atasannya, tetapi sampai sekarang belum ada solusi baik dari perusahaan tambang batu bara maupun dari pemerintah.

Dengan kemacetan ini sudah mengurai uang jalan yang diberikan bos. Selain membayar BBM, makan di jalan, sopir batu bara juga harus bayar uang ke kantong parkir dengan harga bervariasi mulai dari Rp 20.000. Belum lagi ada pihak-pihak yang meminta uang di jalanan.

Tidak hanya itu, pengeluaran sopir angkutan batu bara berkali-kali lipat lebih besar dibanding waktu normal tanpa kemacetan.

"Kami sedih melihat masyarakat selalu terjebak kemacetan. Ada orang sakit di ambulans sampai meninggal, anak susah mau sekolah. Tapi kami (sopir batu bara) butuh makan, kami sudah lapor ke bos, tapi tetap tidak ada solusi. Mau tidak mau kamu jalani, setiap hari macet," kata Rendi.

Serba serbi macet diwarnai banyak hal. Ada yang buang air besar di tepi jalan sampai ada perempuan yang harus bertukar pakaian dalam mobil. Namun setelah macet lebih dari 22 jam, belum ada petugas yang turun ke jalan.

https://regional.kompas.com/read/2023/03/01/091016578/kemacetan-22-jam-di-jambi-ikan-mati-sopir-tekor-dan-penumpang-ambulans

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke