Salin Artikel

Melihat Pembuatan Batik di Lapas Tertua Nusakambangan, Pernah Dipakai Didi Kempot hingga Dipasarkan ke Nigeria

Nama tersebut diambil dari bahasa Belanda yang artinya hilang.

Sesuai dengan namanya, orang yang dijebloskan ke Vermis akan bernasib seperti layaknya orang hilang.

Mereka menjalani hidup dalam keterasingan selama bertahun-tahun di dalam pulau terpencil.

Penjara ini dikelilingi hutan belantara yang banyak dihuni satwa liar. Di balik tembok penjara bagian belakang, terdapat pantai yang menghadap langsung ke Samudra Hindia.

Hanya suara debur ombak dan satwa liar yang menjadi pemecah sunyi di penjara ini pada malam hari.

Vermis kini tinggal cerita, namun bangunan peninggalan Belanda ini masih tetap berdiri kokoh.

Penjara ini masih tetap dioperasikan dengan nama Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Permisan yang secara administratif masuk wilayah Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

Lapas tertua dibanding tujuh lapas lain di Pulau Nusakambangan ini sekarang menerapkan level medium security.

Kesan angker tak terlihat ketika masuk ke dalam lapas. Meski berisi ratusan napi "kelas berat", mereka beraktivitas seperti di lapas pada umumnya.

Para napi juga mengikuti berbagai macam pelatihan atau kegiatan, salah satunya membatik.

Seperti yang terlihat pada siang itu, puluhan napi berkumpul di sebuah ruangan yang cukup besar. Mereka saling berbagi tugas, ada yang membuat pola, mencanting, dan mewarnai.

Lembaran kain berukuran besar diletakkan pada beberapa meja untuk proses pewarnaan. Setiap lembar kain dikerjakan oleh enam hingga tujuh napi.

Di sisi yang lain, sejumlah napi dengan konsentrasi penuh melakukan proses pencantingan. Batik hasil karya napi di Lapas Permisan ini diberi nama Batik Nusakambangan.

Batik Nusakambangan memiliki ciri khas pada warna yang terlihat ngejreng. Jenisnya ada batik tulis dan batik cap.

Motifnya pun bervariasi, seperti bunga khas Nusakambangan, yaitu Wijayakusuma, pohon kelapa, dan suket teki.

"Sudah dua tahunan ikut membatik," ucap Yusfandi Marpau (50), salah satu warga binaan Lapas Permisan asal Sumatera Utara (Sumut) ini saat ditemui, Jumat (10/2/2023).

Membatik merupakan pengalaman baru baginya. Ia berharap, kemampuannya membatik dapat menjadi bekal ketika saat nanti kembali ke masyarakat.

Warga binaan lainnya, Robert Pratama (30) asal Palembang mengaku, tak terlalu sulit belajar membatik. Ia kini bertugas pada bagian pewarnaan kain.

"Awalnya belajar dari teman yang lebih dulu di sini. Saya mulai sejak setahunan yang lalu," kata Robert yang mendekam di Nusakambangan sejak 2015 ini.

Dari membatik, Robert juga mendapat penghasilan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

"Bayarannya sistem premi per kelompok. Dihitung setiap lembar batik, nanti biasanya dibaginya sebulan sekali. Lumayan bisa buat jajan," ujar Robert.

Arwan (53), warga binaan asal Makassar mengatakan, setiap hari membatik dari pagi hingga menjelang sore.

"Mulai pagi, menjelang Dhuhur istirahat, lanjut lagi pukul 13.00 WIB sampai pukul 15.00 WIB. Tapi beberapa hari ini lagi lembur terus, bisa sampai pukul 23.00 WIB karena lagi banyak pesanan," kata Arwan.

Sebagian besar pesanan batik Nusakambangan berasal dari instansi, baik di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) maupun instansi pemerintah lainnya.

Kepala Sub Seksi Bimbingan Kerja dan Pengelolaan Hasil Kerja Lapas Permisan, Kaslam Priyanto mengatakan, pembuatan batik di lapas tersebut dimulai pada 2018.

"Dulu awalnya ini kegiatan di Lapas Narkotika (salah satu lapas di Pulau Nusakambangan), mulai tahun 2018 dilanjutkan di sini," tutur Kaslam yang telah bertugas sejak 1990-an ini.

Kaslam mengatakan, pembuatan batik melibatkan lebih dari 50 warga binaan. Meski demikian, jumlahnya bisa bertambah atau berkurang tergantung jumlah pesanan.

"Untuk batik tulis sebulan bisa produksi 10 sampai 15 lembar. Kalau untuk batik cap antara 50 sampai 100 lembar, tergantung jumlah pesanan," kata Kaslam.

Dalam beberapa hari terakhir, Kaslam menerapkan jam lembur. Pasalnya banyak pesanan batik yang harus diseleaikan dalam waktu dekat ini.

Untuk harganya, kata Kaslam, bervariasi tergantung jenis kain yang digunakan. Batik tulis dipatok antara Rp 400.000 sampai Rp 800.000. Sedangkan untuk batik cap mulai dari Rp 135.000 sampai Rp 600.000.

Menurut Kaslam, batik hasil karya para "orang hilang" ini sekarang tidak hanya digunakan oleh pegawai dan pejabat instansi pemerintah. Batik Nusakambangan juga mulai dipasarkan melalui marketplace.

Kaslam mengungkapkan, batik Nusakambangan juga pernah digunakan oleh mendiang Didi Kempot saat menggelar konser di Cilacap, beberapa tahun lalu.

"Yang dipakai almarhum Didi Kempot itu motif suket teki. Motif suket teki waktu itu ramai sekali," ujar Kaslam.

Tak hanya itu, kata Kaslam, sejak beberapa tahun terakhir batik Nusakambangan juga kerap dikirim hingga Nigeria.

"Di sini ada warga binaan asal Nigeria, batiknya dikirim ke keluarganya. Biasanya dikirim dari sini untuk dijual lagi di sana, sudah beberapa kali kami kirim," ungkap Kaslam.

Sementara itu, Plt Kepala Lapas Permisan Mardi Santoso mengatakan, terdapat berbagai macam kegiatan pelatihan yang digelar di dalam lapas.

"Selain membatik ada juga menjahit, membuat kerajinan tangan, pembuatan roti, bengkel sepeda motor juga ada," kata Mardi.

https://regional.kompas.com/read/2023/02/13/090221378/melihat-pembuatan-batik-di-lapas-tertua-nusakambangan-pernah-dipakai-didi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke