Salin Artikel

34 Tahun Peristiwa Talangsari, Pengadilan HAM Masih Jadi Angan-angan

LAMPUNG, KOMPAS.com - Penyelesaian non-yudisial yang digaungkan pemerintah atas kasus pelanggaran HAM berat dianggap mengesampingkan tanggung jawab hukum oleh negara terhadap para korban.

Simpulan tersebut mencuat dalam diskusi publik peringatan 34 tahun peristiwa Talangsari yang digelar KontraS di Bandar Lampung, Rabu (8/2/2023) siang.

Anggota Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Jane Rosalina Rumpia mengatakan, penyelesaian non-yudisial itu menunjukkan bahwa negara tidak berkomitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran masa lalu.

"Yang sebenarnya lebih utama (penyelesaiannya) lewat jalur yudisial dalam pengadilan HAM," kata Jane, Rabu siang.

Meski Presiden Joko Widodo sudah mengakui dan menyesali peristiwa Talangsari sebagai pelanggaran HAM berat, hal itu tidak ada artinya jika tidak dibarengi dengan akuntabilitas dan pertanggungjawaban kasus.

"Padahal berkas penyelidikan Komnas HAM terkait dengan peristiwa pelanggaran Talangsari ini sudah selesai sejak tahun 2008 lalu," kata Jane.

KontraS menyebutkan, jika Presiden Joko Widodo bersungguh-sungguh dengan pidato pengakuannya, tentu saja harus dibuktikan dengan aksi nyata negara untuk memberikan hak-hak korban dengan bermartabat.

Sementara itu, Ketua Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL) Edi Arsadad mengatakan, pernyataan presiden belum apa-apa dibanding penderitaan yang dialami korban dan imbasnya selama bertahun-tahun.

"Uang penyesalan tidak sebanding dibanding stigma yang telah kami terima. Kami dianggap PKI, pengacau, yang tidak bisa dinilai dengan materi," kata Edi yang juga penyintas peristiwa Talangsari itu.

Edi memaparkan, kerugian non materil ini jauh lebih menyakitkan dibanding betapa "ringannya" pemerintah menyatakan penyesalan atas peristiwa itu.

Edi yang saat peristiwa itu terjadi masih berusia belasan tahun, telah menjadi tahanan politik pasca-peristiwa.

"Nggak bisa sekolah, ditolak ke sana ke sini. Sekarang mau diganti dengan uang, berapa nilainya?" kata Edi.

Diketahui, Jokowi telah menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Istana Negara, Rabu (11/1/2023).

Jokowi kemudian mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat di masa lalu.

"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa," kata Jokowi.

https://regional.kompas.com/read/2023/02/08/151301378/34-tahun-peristiwa-talangsari-pengadilan-ham-masih-jadi-angan-angan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke