Salin Artikel

Indahnya Kebersamaan Antaretnis pada Cap Go Meh 2023 di Padang

PADANG, KOMPAS.com - Suara drum dan terompet terdengar jelas di kawasan Jembatan Siti Nurbaya, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang, Sumatera Barat, Minggu (5/2/2023) sore.

Alunan musik yang dimainkan grup marching band Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Sumbar mengawali parade kebudayaan Cap Go Meh 2023 di Padang.

Ribuan pasang mata menyaksikan acara itu, kendati cuaca sedang gerimis. Mereka menyaksikan dari pinggir jalan, maupun di atas jembatan.

Dari atas jembatan memang cukup jelas, sebab panggung utama kegiatan itu persis di bawah jembatan sebelum Sungai Batang Arau.

Dari ribuan yang menonton itu terlihat seorang ibu muda dengan anaknya. Ibu itu memakai hijab berwarna hitam dengan baju kotak-kotak biru tua bergaris hitam.

Mereka dengan seksama melihat aksi marching band IPDN dari pinggir jembatan Siti Nurbaya.

"Ma, tapi ini acara orang China, kenapa ada grup marching band juga," tanya anak itu pada ibunya.

Si ibu menatap mata anaknya dan tersenyum.

"Benar ini acara kebudayaan orang keturunan Tionghoa atau China. Tapi mereka juga melibatkan pihak lain," kata ibu itu.

"Kenapa kita menonton kebudayaan China atau apa tadi. Tionghoa ya ma," tanya anak itu lagi.

Si ibu terlihat menghela napas. Lalu memegang kedua pipi anaknya.

"Mereka bukan orang China atau Tionghoa. Mereka adalah orang Indonesia. Mereka sudah lama tinggal di sini. Mungkin sudah beratus tahun dan turun temurun," kata si ibu.

"Jadi mereka orang Indonesia juga, Ma," kata anak itu sambil mengangguk-angguk.

Seorang nenek Tionghoa berbaju merah yang berada di sebelah mereka terlihat tersenyum.

"Anak pintar. Siapa nama mu, Nak? Sudah sekolah?" tanya sang nenek.

"Adit nek. Kelas 1 SD," jawab si anak.

Lalu si nenek mengeluarkan sejumlah permen dari dalam tasnya dan menyodorkan ke anak tadi.

"Karena kamu pintar. Nenek ada hadiah permen untukmu. Silahkan diambil," kata si nenek.

Adit kemudian melihat ke arah mata ibunya seakan meminta persetujuan.

"Kalau kamu mau, boleh," jawab si ibu.

Si nenek tadi tertawa melihat adegan itu.

"Betul kata mamamu tadi nak. Kita ini saudara, satu Indonesia. Ayo ambil," kata si nenek.

Kemudian Adit mengambil satu permen dan mengucapkan terima kasih. Sambil tersenyum si nenek mengangguk, kemudian pamit dari sana.

Kompas.com yang mengamati kejadian itu, mendekat dan tersenyum sambil memperkenalkan diri.

Si ibu tadi menyambut dengan senyum ramah pula, lalu juga memperkenalkan diri.

"Saya Ani dan ini anak saya Adit," kata Ani.

Ani mengaku orang Minang, namun baru tinggal di Padang. Sebelumnya tinggal di Solo, Jawa Tengah.

Sejak Januari 2023, Ani bersama anaknya pindah ke Padang, tinggal bersama orangtuanya di Kecamatan Nanggalo.

Menurut Ani, perayaan Cap Go Meh di Padang cukup unik sebab tidak hanya menampilkan budaya Tionghoa tapi juga yang lain.

Bahkan, mereka yang datang menyaksikan bukan hanya orang Tionghoa tapi juga dari etnis lain.

"Di sini sangat jelas terlihat keberagamannya. Tidak hanya keturunan Tionghoa saja, tapi juga etnis lain," kata Ani.

Karena hujan turun, akhirnya Ani pamit dan berpisah untuk berteduh.

Keberagaman

Tokoh Tionghoa Padang, Albert Hendra Lukman mengakui, perayaan Cap Go Meh di Padang melibatkan etnis lain.

"Bukan hanya budaya Tionghoa saja yang kita tampilkan. Tapi ada budaya Minang, Reog Ponorogo juga ada," kata Albert usai acara.

Albert yang merupakan penasehat kegiatan itu menyebutkan, ada 3.000 peserta ikut dalam festival kebudayaan Cap Go Meh tersebut.

"Mereka berasal dari berbagai suku bangsa. Ada Tionghoa, Minang, Jawa, Sunda, Batak, Nias, Mentawai, dan juga ada keturunan India," jelas anggota DPRD Sumbar itu.

Selama ini, kata Albert, berbagai suku bangsa tersebut hidup rukun berdampingan beratus tahun di kawasan Pondok yang terletak di Kecamatan Padang Selatan dan Padang Barat itu.

"Jadi keberagaman dalam balutan Bhinneka Tunggal Ika itu lama sekali. Kita hidup berdampingan," kata politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.

Albert menjelaskan, perayaan Cap Go Meh kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Sebab menampilkan arakan Sipasan dari 2 kelompok yaitu Himpunan Tjinta Teman (HTT) dan Himpunan Bersatu Teguh (HBT).

"Ini yang pertama kita adakan bersama. Ada dua arakan Sipasan dari HTT dan HBT," kata Albert.

Selain itu juga ada arakan Kio, marching band IPDN, tarian Naga, Barongsai, parade Dewa-Dewi, Randai dan lainnya.

Menurut Albert, kegiatan Cap Go Meh ini bertujuan untuk menarik wisatawan masuk ke Padang, Sumbar.

Perayaan Cap Go Meh 2023 ini masuk dalam kalender wisata Sumbar dan menurut rencana akan diadakan tiap tahun. 

"Kita kerja sama dengan Dinas Pariwisata Sumbar untuk melaksanakannya dan masuk dalam kalender wisata Sumbar," jelas Albert.

Sejarah Keberagaman

Ahli Sejarah Universitas Andalas, Gusti Asnan menyebutkan, keberagaman etnis di Padang terjadi sejak abad ke-17 ketika Padang menjadi jalur perdagangan internasional.

Saat itu Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) masuk ke Padang dan kemudian mengundang orang-orang China datang.

Mereka kemudian berbaur dengan warga Minangkabau dan juga etnis Nias yang datang ke Padang.

"Itu terjadi sekitar tahun 1660 saat Padang jadi jalur perdagangan internasional," kata Gusti.

Karena menjadi jalur perdagangan, menyebabkan banyak orang-orang asing juga datang seperti Inggris, Jerman, Prancis, Arab, dan India.

Pada abad ke-19, ketika Belanda menguasai Indonesia, mereka semakin banyak mendatangkan orang-orang Tionghoa dan etnis lainnya seperti Jawa, Bugis, dan Madura.

Etnis Jawa dan Bugis didatangkan lebih banyak sebagai tentara Belanda.

Pada tahun 1850, Belanda menata Padang dengan memberikan permukiman bagi etnis-etnis yang ada.

"Maka muncul nama-nama seperti Kampung Cina, Kampung Nias, Kampung Jawa, Kampung Keling dan ada juga Kampung Bugis," jelas guru besar Ilmu Sejarah Universitas Andalas itu.

Pada tahun 1870, Padang menjadi kota sejahtera. Kehidupan masyarakat yang terdiri dari berbagai etnis itu hidup secara berdampingan dan saling membutuhkan.

"Mereka hidup rukun dan saling membutuhkan. Hampir tidak ada gesekan," kata pria berumur 60 tahun itu.

Hingga sekarang, kata Gusti, kampung-kampung itu masih ada kecuali Kampung Bugis di belakang Tangsi yang sudah hilang.

"Kampung Bugis sudah hilang karena etnisnya sudah banyak yang pergi dari Padang," ujar Gusti.

Keberagaman semakin bertambah, dengan masuknya etnis Batak dan Mentawai pada abad ke-20.

"Jadi banyak etnis yang hidup di Padang saat ini. Mereka hidup berdampingan," kata Gusti.

Toleransi tinggi

Wali Kota Padang, Hendri Septa menyebut, masyarakat Padang yang majemuk sudah lama hidup berdampingan.

Hal itu dikarenakan tingginya tingkat toleransi antar etnis sehingga jarang terjadi gesekan.

"Mereka sudah lama hidup berdampingan dengan tingkat toleransi yang tinggi. Sejak Orde Baru berakhir, hampir tidak ada gesekan yang muncul," kata Hendri.

Semua itu, kata Hendri, dibuktikan dengan adanya permukiman antar etnis yang hidup rukun.

"Ada namanya kampung Cina, Kampung Jawa, Kampung Nias, Kampung Keling. Semuanya hidup rukun. Hari ini dibuktikan mereka bisa berbaur dalam acara Cap Go Meh ini," jelas Hendri.

Gong Xi Fa Cai. Selamat Tahun Baru Imlek 2574 Kongzili.

https://regional.kompas.com/read/2023/02/06/211212778/indahnya-kebersamaan-antaretnis-pada-cap-go-meh-2023-di-padang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke