Salin Artikel

Pemprov Ungkap Penyebab Penurunan Muka Tanah di Pesisir Jateng

Hal itu disampaikan Kepala Bidang Geologi dan Air Tanah (GAT) Dinas Enegi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jateng, Heru Sugihartono. 

“Penurunan tanah di Jateng, khususnya Pekalongan, Semarang, Demak, dan sekitarnya sebagian besar terjadi di daerah pesisir yang didominasi daerah peruntukan industri dan pusat perekonomian,” kata Heru beberapa waktu lalu. 

Akibat penurunan muka tanah itulah air laut saat pasang mudah menyebabkan rob yang mengganggu aktivitas warga.

Berdasarkan pengukuran metode InSAR, rata-rata laju penurunan muka tanah di Semarang, Demak, dan Pekalongan adalah 6-10 cm lebih. Terparah bisa mencapai 20 cm per tahunnya.

Sementara hasil monitoring land subsidence dengan menggunakan patok (benchmark) geodetic, di Stadion Hoegeng Pekalongan pada periode Maret 2020-September 2021 mengalami penurunan 8,4 cm. Smentara patok di Pekalongan Selatan dengan kurun waktu sama, menurun 1,57 cm.

“Di Kota Semarang land subsidence paling parah Semarang Utara, bagian pesisir dari Semarang Barat sampai Sayung, Demak. Untuk Pekalongan berada di pesisir sampai tengah Kota Pekalongan hingga arah barat,” terangnya.

Dia mengungkapkan ada beberapa faktor lainnya yang menjadi penyebab penurunan muka tanah. Termasuk kondisi batuan di pesisir utara Jateng yang lunak atau masih muda.

“Diperparah adanya pembebanan yang ada diatas batuan lunak seperti bangunan, aktivitas manusia, dan pengambilan air tanah berlebihan sehingga mengurangi daya dukung batuan,” jelasnya.

Menurutnya, sebanyak 38 persen penurunan tanah disebabkan oleh pengambilan air tanah yang berlebihan. Sedangka sisanya disebabkan aktivitas manusia dan infrastruktur yang membebani tanah lunak di sepanjang pesisir utara Jawa.

Dia mengakui keberadaan industri dan kegiatan ekonomi tidak bisa dihentikan begitu saja mengingat peran besarnya dalam hidup masyarakat.

Pihaknya pun mengatur penggunaan air tanah lebih ketat ketimbang aturan yang dibuat pemerintah pusat. Aturan ini tertuang dalam Perda Jateng No.3 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Air Tanah.

Bila pusat membatasi penggunaan air tanah maksimal 80 persen dari potensi air yang dihasilkan dari pengeboran, maka pihaknya membatasi 60 persen.

Selain itu juga telah dilakukan pemetaan kondisi air tanah di kawasan rawan rob menjadi zona pemanfaatan aman, rawan, dan kritis. Salah satunya adalah kawasan Semarang yang masuk dalam zona pemanfaatan muka air tanah yang rawan dan kritis. Sehingga penggunaan air di titik itu harus lebih diperhatikan.

“Kami telah melarang pengambilan air tanah baru untuk usaha pada zona pengambilan air tanah kritis dan rusak. Lalu mengurangi debit yang diizinkan saat perpanjangan izin air tanah di zona kritis dan rusak sebesar 15 persen dari debit izin sebelumnya, dan memperhatikan kondisi tata ruang khususnya daerah pesisir utara,” bebernya.

Heru mengatakan pemenuhan kebutuhan air di kawasan industri menjadi tanggung jawab pengelola kawasan industri. Sehingga penyewa atau tenan dilarang keras mengebor sumur untuk mencari air tanah sendiri.

“Pengambilan air tanah dapat dilakukan oleh pengelola kawasan industri pada lapisan akuifer tertekan dengan debit air tanah tidak melebihi potensi yang ada,” jelasnya.

Meski begitu diakui beberapa pihak pernah melanggar batasan itu. Pihaknya sesekali mengeluarkan teguran untuk menertibkan kembali.

Dijelaskan penggambilan air tanah oleh warga atau non-usaha hanya boleh dilakukan pada akuifer bebas atau air dangkal dengan kedalaman maksimal 40 meter. Selebihnya tergolongtanah untuk kebutuhan industri.

“Sehingga pengambilan air tanah antara kebutuhan usaha dengan bukan usaha dilakukan pada lapisan berbeda. Karena warga kalau harus mengebor terlalu dalam akan kesulitan dan memakan biaya besar,” jelas Heru.

Dia berharap Perusahaan Umum Daerah (Perumda) di kota lainnya dapat menambah SPAM dan menyediakan kebutuhan air industri tanpa mengambil air tanah yang sudah terbilang kritis.

“Di Semarang saat ini Perumda telah menyanggupi penyediaan kebutuhan air bersih dari Sungai Kaligarang, Kedungombo, dan Waduk Jatibarang, kami harap kota lainnya dapat mengikuti,” katanya.

Di samping memasang patok, pihaknya juga memiliki sumur pantau yang tersebar di banyak titik untuk monitoring kondisi air tanah di daerah tertentu.

“Untuk pengguna air tanah yang memiliki 5 sumur di area kurang dari 10 hektar atau pengambilan air tanah dengan debit lebih dari 50 liter per detik, maka kami wajibkan membangun 1 sumur pantau,” paparnya.

Kemudian pihaknya mengimbau pembangunan sumur resapan untuk memulihkan kondisi tanah yang telah diambil air muka tanahnya.

“Pengurangan pengambilan air tanah tidak dapat menghentikan land subsidence selama aktivitas manusia di atasnya masih berlangsung. Namun upaya ini bisa memperlambatnya,” pungkasnya.

https://regional.kompas.com/read/2022/12/13/221203978/pemprov-ungkap-penyebab-penurunan-muka-tanah-di-pesisir-jateng

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke