Salin Artikel

Perjuangan Pak Guru Andi Rumrar, Mengajar Anak-anak Suku Wano di Pedalaman Papua

Andi bersama rekannya, Paska Mirino, merupakan salah satu pahlawan pendidikan bagi anak-anak di pedalaman Provinsi Papua itu.

Lewat Yayasan Pendidikan Harapan Papua, Andi mulai membuka sekolah di Kampung Mokondoma pada Juli 2019. Sekolah pertama di Kampung Mokondoma itu diberi nama Lentera Harapan Papua.

"Ini merupakan sekolah pertama di suku itu dan untuk menjangkau beberapa suku-suku di sekitarnya, bahkan ada orangtua yang rela jalan satu minggu untuk sekolahkan anaknya di sekolah yang kami dirikan," kata Pak Guru Wano, sapaan akrab yang diberikan masyarakat setempat kepada Andi.

Kampung Mokondoma berada di salah satu wilayah terpencil Kabupaten Puncak Jaya. Tak ada transportasi darat menuju Kampung Mokondoma.

Wilayah itu bisa dijangkau menggunakan transportasi udara, tetapi penerbangan menuju Mokondomo hanya tiga atau enam bulan sekali.

Pesawat yang bisa mendarat di Bandara Kondudumo hanya helikopter dan pesawat kecil milik MAAF dan YAJASI. Pilot yang bisa mendaratkan pesawat di Bandara Kondudumo juga terbatas, hanya tiga sampai empat orang.

Bandara Kondudumo berada di ketinggian 7.000 kaki di atas permukaan laut. Selain itu, terdapat sebuah gunung yang menjulang tinggi di dekat bandara sehingga membuat pendaratan begitu sulit.

Sebelum membuka sekolah di Mokondoma, Andi yang merupakan lulusan Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta 2017 itu mengajar selama dua tahun di Sekolah Lentera Harapan Mamit di Kabupaten Tolikara.

Andi menceritakan, sebelumnya sudah ada misionaris yang menerjemahkan Alkitab di Mokondoma. Namun, misionaris itu tak bisa menyentuh ranah pendidikan dan sekolah, padahal anak-anak butuh pendidikan.

Misionaris itu akhirnya meminta Yayasan Pendidikan Harapan Papua untuk membuka sekolah di kampung tersebut.

Mengajar dengan penerjemah

Kampung Mokondoma merupakan salah satu wilayah yang terisolasi. Warga sekitar masih sulit berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, Andi harus menggunakan penerjemah untuk mengajar anak-anak di kampung itu.

Hal itu menjadi beban tersendiri untuk mengajar anak-anak di Kampung Mokondoma. Apalagi, sekolah yang dibukanya merupakan yang pertama di wilayah itu.

Awalnya, Andi mulai mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak-anak di Kampung Mokondoma. Dua warga lokal yang sudah fasih berbahasa Indonesia, Jeni dan Liku, membantu Andi menerjemahkan bahasa Indonesia ke bahasa daerah.

Menurutnya, ada tiga siswa kelas dua sekolah dasar (SD) yang sudah bisa berbahasa Indonesia. Dari tiga orang itu, ada satu siswa yang sudah fasih dan menjadi penerjemah di kelas.


Buka tiga kelas, miliki 50 siswa

Terdapat 50 siswa yang menuntut ilmu di Sekolah Pelita Harapan Mokondoma, Para siswa itu berasal dari Mokondoma dan kampung di sekitarnya.

Bahkan, ada siswa yang datang dari kampung terjauh untuk menyekolahkan anak mereka di Mokondoma.

Selama setahun ini, 50 siswa itu dibagi dalam tiga kelas, taman kanak-kanak sebanyak 19 siswa, kelas satu SD sebanyak 19 siswa, dan kelas II SD diisi 12 siswa.

Andi tak sendirian mengajar tiga kelas itu. Ia dibantu dua guru yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT).

Andi yang merupakan kepala sekolah juga ikut mengajar seperti biasa. Aktivitas belajar mengajar dimulai dari Senin hingga Jumat. Anak-anak di kampung itu diajarkan tentang huruf, angka, dan pelajaran untuk mengembangkan kepribadian siswa.

"Tong ajarkan dong pertama kali kenal huruf. Itu semua pohon-pohon dong ukir dengan huruf-huruf. Belum ada buku," ucap Pak Guru yang berasal dari Kampung Sor, Distrik Yawosi, Biak Utara ini.

Siswa itu menyambung pensil dengan kayu lalu mengikatnya agar tetap bisa dipakai menulis.

Pensil yang digunakan para siswa memang dihemat. Pensil yang diberikan kepada setiap siswa akan digunakan selama beberapa bulan ke depan karena butuh waktu lama untuk membeli logistik di luar kampung.

Salah satu siswa bernama Tim, kata Andi, terpaksa menyambung pensil itu agar tetap panjang. Pensil itu diberikan Andi sekitar tujuh bulan lalu.


Saat membagikan pensil, Andi berpesan agar siswa berhemat karena butuh waktu lama membeli peralatan tulis ke kota.

Penerbangan menuju Mokondoma pun terbatas, bisa tiga sampai enam bulan sekali.

Saat Andi meminta para siswa mengeluarkan buku dan pensil, ia melihat Tim mengeluarkan pensil yang disambung.

"Tim mengeluarkan pensil telah diikat dengan lapisan kayu-kayu kecil agar tetap panjang dan bisa digunakan," kata Andi.

Andi mengakui, skill itu tak dimiliki para siswa yang tinggal di perkotaan. Para siswa di Sekolah Pelita Harapan Mokondoma, kata Andi, selalu bersyukur saat mendapat pemberian dari guru, seperti pensil itu.

"Saya akan simpan pensil ini, untuk mengingat perjuangan kalian di suku ini," ucapnya sambil menunjukkan video pembuatan pensil yang dilakukan oleh salah satu siswa tersebut.

Meski sekolah yang dibukanya berada di bawah naungan Yayasan Pelita Harapan Papua, Andi berharap pemerintah daerah memberikan bantuan demi pendidikan anak-anak di pedalaman Papua.

"Saya berharap, pemerintah daerah, melalui dinas terkait bisa memberikan perhatian terhadap sekolah di Mokondoma yang sudah setahun lebih kita buka ini," kata Andi.

https://regional.kompas.com/read/2022/11/12/200000078/perjuangan-pak-guru-andi-rumrar-mengajar-anak-anak-suku-wano-di-pedalaman

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke