Salin Artikel

Kisah Para Pahlawan Pejuang Lingkungan Selamatkan Semarang dari Sampah, Pernah Disebut Orang Gila

Mengatasi persoalan pelik itu tentu saja tak dapat dibereskan sendirian. Perlu kerja sama dan kesadaran penuh semua pihak untuk mengambil langkah solutif.

Masyarakat pemerhati lingkungan dan dosen yang tergabung dalam LSM Bina Karta Lestari (Bintari) telah melakukan edukasi dan pendampingan pengelolaan sampah di tingkat kelurahan sejak 1986.

“Kalau sudah meluap ke mana-mana, kita baru sadar kalau masalah sampah mengganggu kita,” kata Drektur Eksekutif Bintari Amalia Wulandari kepada Kompas.com, Kamis (10/11/2022).

Ia mengungkapkan lika-liku puluhan tahun perjalanan menggerakkan ribuan warga untuk akhirnya sadar kondisi darurat sampah yang terjadi.

Dahulu, sebagian besar kerap mengesampingkan pengelolaan sampah dan tidak menjadi prioritas dalam hidup. Namun setelah Indonesia dinobatkan sebagai penghasil sampah terbesar kedua di dunia, mulai muncul kesadaran.

“Yang mengejutkan ternyata indeks perilaku ketidakpedulian lingkungan hidup masyarakat kita itu sampai 72 persen,” imbuhnya.

Umumnya, masyarakat tak peduli keberadaan sampah selama sampah itu tak berada di rumahnya atau lingkungan miliknya. Sehingga mudah membuang di sembarang tempat tak terkecuali sungai.

Kondisi luapan jumlah sampah bertambah buruh dengan terjadinya pandemi Covid-19. Masyarakat mudah memesan makanan dan paket secara daring. Ini menyebabkan penggunaan plastik naik 20 persen saat pandemi.

Mestinya, masyarakat menjalankan PP Nomor 97 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga dengan mengurangi dan mengelola sampah dari hulu.

Dalam kurun 2018-2020, Lia mendampingi 54 bank sampah di Kota Semarang. Lalu sampai saat ini bertambah 6 bank sampah dan 3 TPS 3R.

Ia memberi pilihan untuk menjalankan sistem pengelolaan yang sesuai dengan kondisi masyarakat di setiap wilayah.

“Yang sering kami temui, masyarakat akan membentuk bank sampah di tingkat RT atau RW. Karena kendalanya itu katanya, warga sini itu susah kalau diajak kaya gitu (memilah sampah),” terang Lia dengan tawa kecil.

Ia mendukung pilihan warga untuk memulai gerakan peduli sampah dari lingkup terkecil. Untuk kemudian dapat mendorong sampai tingkat kelurahan.

“Kami masuk ke banyak RT untuk sosialisasi, biasanya ndusel-ndusel (menumpang) di pertemuan RT, PKK atau dasawisma,” katanya.

Bila telah sepakat dan membentuk struktur kecil, maka para pengurus itu menentukan jadwal operasional waktu longgar yang memungkinkan masyarakat menyetorkan sampahnya ke bank sampah yang dibentuk.

“Yang mengedihkan itu biasanya pengurusnya ya itu itu terus, ya Bu RT ya pengurus PKK, ya pengurus FKK, merangkap semuanya,” imbuh Lia.

Sementara itu di Mijen, Semarang, Penggerak Bank Sampah Polaman Resik Sejahtera, Haryono langsung membentuk di tingkat kelurahan. Keresahannya pada sampah yang tidak terkelola di desanya mendorongnya untuk bertindak.

“Saya mendirikan bank sampah ini tahun 2019 lalu. Awalnya juga dikira ‘orang gila’,” ujar pria berusia 65 tahun itu.

Ia tak langsung disambut positif oleh masyarakat sekitar. Namun setelah memahami dan melihat hasilnya, kini ia mendapat dukungan.

Sejak 2019 hingga sekarang dari 723 KK warga Polaman, sejumlah 140 KK telah bergabung menjadi anggotanya dan rutin menyetorkan pilahan sampah rumah tangga setiap Sabtu.

“Ya pendapatan dari jual sampah kadang Rp 800.000, kadang juga Rp 1,2 juta. Jualnya juga hanya tiap Sabtu dan Minggu saja,” jelasnya.

Warga penyetor sampah yang telah dipilah dari rumah itu mendapat dibayar dengan uang tunai maupun tabungan sesuai keinginan masing-masing.

Pengurus kemudian menjual sampah yang terkumpul dari anggotanya ke pengepul dengan harga tawar tertinggi.

“Hasil dari penjualan juga dibagi. Tetapi biasanya tukang pilahnya yang mendapat bagian paling besar. Karena kan tidak mudah memilah sampah itu,” katanya.

Pihaknya kini merambah ke budidaya magot untuk mengurai sampah organik dan menjadi pakan ternak. Lalu peroduksi pupuk yang sudah banyak terjual.

Lebih lanjut, Lia mengungkapkan masalah yang sering dialami warga yang sudah berkomitmen membentuk bank sampah dan mulai memilah itu tidak adanya lahan untuk menyiman pilahan sampah.

Akhirnya warga berinisiatif menyepakati pengumpulan di satu hari dan langsung menjualnya ke pengepul di hari yang sama.

Tak hanya itu, Lia juga terus menggalakkan bahwa persoalan sampah bukan hanya tanggung jawab perempuan, tapi juga laki-laki. Bahkan anggota keluarga perlu diedukasi untuk memiliki kesadaran memilah sampah bersama-sama.

“Jadi sampah itu bukan melulu soal perempuan. Kalau biasanya yang milah sampah di rumah itu perempuan, nah bagaimana bapak-bapak ini kita libatkan. Di Polaman saja ini malah ada Pak Haryono yang jadi ketuanya,” tegas Lia.

Pasalnya 90 persen pengurus bank sampah yang didampingi kebanyakan dikelola oleh kaum perempuan. Secara tak langsung ini menunjukkan perempuan memiliki kepekaan lebih terhadap masalah sampah.

Ia berharap seterusnya lebih banyak masyarakat yang sadar dan terdorong untuk memilah sampahnya sendiri. Sedangkan anggota yang sudah ada tetap konsisten menyetor hasil pilahan ke bank sampah.

Bahkan di tingkat lebih serius, bank sampah dapat menjadi perusahaan dan didaftarkan secara hukum menjadi Badan Usaha Milik Desa (Bumdes).

“Kalau bank sampah berarti Bumdes berbadan hukum. Nah ini punya kekuatan lebih,” pungkasnya.

https://regional.kompas.com/read/2022/11/11/120507978/kisah-para-pahlawan-pejuang-lingkungan-selamatkan-semarang-dari-sampah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke