Salin Artikel

Merajut Asa dari Klayas, Kampung Cantik di Kepala Burung Papua yang Nyaris Terlupakan

SORONG, KOMPAS.com- “Kalau bukan Mama-mama Papua siapa lagi? Kalau tidak sekarang, kapan lagi?” kata Yully Kamumpat dengan berapi-api.

Yully, perempuan 60-an tahun ini, dengan energik memimpin sekitar 60 siswa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Tulip di Kampung Klayas, Distrik Seget, Kabupaten Sorong, Papua Barat menyanyikan berbagai lagu sambil bertepuk tangan.

Anak-anak itu sehat, berani, dan ceria meski tempat mereka belajar sangat sederhana. Bangunan PAUD yang berlantai semen dan beratap seng itu masih menempati ruangan Posyandu Tulip.

Tak ada mainan atau alat peraga seperti yang biasanya dimiliki PAUD pada umumnya.

Namun, semangat yang dipunya anak-anak itu mengalahkan segala keterbatasan yang ada.

Suara lantang, tepuk tangan gemuruh, dan senyuman tak lepas dari wajah bocah-bocah itu.

Dari balik jendela, mata Emma Monggaprouw berkaca-kaca menyaksikan anak-anak itu tampil berani.

Emma tak menyangka, anak-anak itu adalah anak-anak yang sama, yang dua tahun lalu tak tersentuh pendidikan.

“Waktu Covid-19 itu, anak-anak tidak ada kegiatan, paling hanya bermain atau ikut orangtuanya ke hutan cari sayur atau sagu, ” kata Emma, kader Posyandu Tulip.


Wajah Klayas kini berbeda dengan Klayas bertahun-tahun lalu. Sebelumnya, sebagai kampung yang masuk kategori 3T alias Terdepan, Tertinggal, dan Terpencil, tak banyak yang bisa dilakukan warga Klayas untuk memperbaiki hidupnya.

Terletak sekitar 90 kilometer dari Sorong atau satu jam perjalanan dengan menggunakan speed boat, Klayas awalnya tertinggal dalam segala hal.

Tak ada air bersih yang mengalir di kampung itu. Sebuah ironi, karena menurut Kepala Kampung Klayas Wempi Katumlas, nama kampung itu diambil dari kla yang berarti air dan sebuah kali bernama Kayas.

Bukan hanya air yang tak ada, sekolah pun tak lagi beroperasi karena guru-guru tak mau mengajar. Di kampung tak ada pasar, apalagi pusat pertumbuhan ekonomi. Klayas ibarat tak tersentuh pembangunan.

Kaum pria pergi ke hutan mencari sagu dan sayuran untuk dimakan hari itu. Sagu mereka ambil dan oleh dengan cara tradisional, menggunakan air seadanya yang tersedia di hutan.

Sementara, kaum ibu di rumah mengurus anak yang setiap tahun jumlahnya semakin banyak. Penduduk Klayas tak banyak yang ikut program Keluarga Berencana.

Menurut Emma, setiap rumah rata-rata memiliki lebih dari 5 anak. Bahkan, ada yang sampai punya 13 anak.

Di sana, sangat jamak jika gadis-gadis usia 16 tahun sudah menikah dan memiliki lebih dari satu anak.

Di kampung Klayas juga tak ada puskesmas. Apabila ada warga yang sakit, mereka terpaksa membawanya ke Distrik Seget dan itu tidak mudah. Warga harus mengupayakan perahu dan itu butuh waktu.

Setitik asa

Harapan mulai muncul saat di Kampung Klayas dibentuk Dewan Air. Lembaga sosial lokal ini dibentuk dan difasilitasi oleh PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Refinery Unit VII Kasim sejak 2021.


Sumur sumber air bersih dan tangki penampungan air milik Petrogas. Agar air bisa dinikmati warga, PT KPI mendukung penyediaan air ke masyarakat melalui pipa pengontrol dan instalasi saluran air ke rumah.

Distribusi air dipercayakan kepada 10 pemuda anggota Dewan Air. Mereka mendapat pelatihan instalasi air, pengaturan pendistribusian, sekaligus perawatan saluran air.

“Dulu kekurangan air. Kami sering ambil dari hujan atau kolam, tetapi sekarang tidak perlu tunggu hujan, tinggal buka keran, airnya sudah keluar,” ujar Nimbrot, Penggerak Program Klayas Bersih sekaligus Ketua Dewan Air.

Menurut Nimbrot, 75 keran sudah terpasang di desa seluas 4 hektare ini.
“Kami mau tambah lagi, harapannya semua bisa terpakai air ini,” ujar Nimbrot lagi.

"Air merupakan kebutuhan mendasar yang menjadi isu di Kampung Klayas. Program Klayas Bersih tidak hanya membantu menyalurkan air ke masyarakat, namun juga membentuk kelembagaan masyarakat yakni Dewan Air yang diberikan pelatihan instalasi saluran air, pengaturan pendistribusian, serta perawatan saluran air,"jelas Direktur Operasi PT KPI Didik Bahagia.

Perubahan besar


Dimulai dari air bersih, perubahan besar mulai terlihat di kampung dengan 86 kepala keluarga Ketersediaan air bersih membuat masyarakat hidup lebih bersih dan sehat. Ekonomi juga meningkat lewat sentra pengolahan sagu dan pasar rakyat.

Mulai tahun 2019, masyarakat Klayas tak sekadar memanfaatkan sagu yang tumbuh di hutan, namun mulai membibitkan sagu.

Sagu diolah dengan air bersih yang berlimpah, limbahnya dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Lalu, ampasnya digunakan sebagai media tumbuh jamur.

Sagu yang awalnya hanya dijual tanpa diolah, kini dibuat menjadi sagu kering khas Papua Barat.

Pupuk organik hasil limbah sagu laku dijual hingga Kota Sorong, demikian juga jamur.

“Ini yang namanya ekonomi sirkuler, tidak terbuang begitu saja,” ujar Didik lagi.

Pendidikan dan Kesehatan

Air bersih ada, ekonomi mulai membaik, pendidikan dan kesehatan di Klayas pun lebih baik.

Sektor Pendidikan dan kesehatan di Klayas selama ini tertinggal. Lokasi kampung yang sulit diakses membuat warga, khususnya anak-anak Klayas, kesulitan memperoleh hak mereka yang paling mendasar itu.

Seperti halnya PAUD, satu-satunya sekolah dasar (SD) di Klayas, yakni SD YPK juga tutup selama 2 tahun. Sekolah itu sebenarnya memiliki guru, namun sebagian tidak tinggal di situ sehingga jarang hadir di sekolah.

Program pendidikan di Klayas diawali dengan dibukanya kembali SD YPK Klayas. Awalnya, sekolah itu hanya dibuka seminggu 3 kali selama 2 jam. Pengajarnya pun pekerja PT KPI Kilang Kasim.

Untunglah kini ada Ledrik Walim dan Fransiska, dua relawan yang mau mengajar di Kampung Klayas. Ledrik, pemuda asli Klayas itu terpanggil untuk mengajar di kampungnya.

Banyak tantangan yang dihadapi Ledrik, mulai dari mengajak anak-anak sekolah hingga menanamkan ilmu dan budi pekerti pada generasi penerus bangsa itu.

Ledrik berkisah, awalnya murid-muridnya menolak sekolah, dengan alasan membantu orangtua ke hutan.

“Saya bujuk, nanti sekolah dulu baru ke hutan,” ujarnya.

Itu sebabnya, Ledrik tak terlalu memaksakan anak-anak itu berpenampilan rapi di kelas. Sebagian besar murid malah enggan pakai sepatu.

“Yang penting bukan penampilannya toh, tapi otaknya,” ujar Ledrik lagi.

Lulus SD, anak-anak Kampung Klayas ini harus melanjutkan ke Distrik Seget, karena di Klayas tak ada SMP. Selama ini, mereka terpaksa jalan kaki 6 jam pulang pergi atau menginap di rumah saudara.

Tahun 2022, PT KPI RU Kasim menyediakan kapal sekolah, sehingga anak-anak bisa bersekolah dengan nyaman dan aman karena jarak tempuh yang lebih singkat.

“Selama ini, anak-anak terpaksa tinggal dengan saudara atau keluarga di Seget. Sekarang lebih nyaman karena ada perahu untuk sekolah,” kata Area Manager Communication, Relation dan CSR Kilang Kasim, Dodi Yapsenang.

Menurut Dodi, PT KPI juga memberikan fasilitas perahu sebagai Puskesmas Keliling. Perahu itu digunakan Benny Kumune (28) dan Lusita Lane, perawat kesehatan yang bertugas di Puskesmas Distrik Seget, Sorong, Papua Barat, untuk berkeliling ke 9 kampung.

Benny dan Lusita berkeliling mulai tanggal 19 hingga akhir bulan. Fokus kegiatan puskesmas keliling selain memberikan layanan kesehatan, juga memberikan imunisasi rutin, pemeriksaan kesehatan dan penyuluhan gizi ibu hamil, menyusui dan balita.

"Biasanya kami bertugas dari tanggal 19 hingga akhir bulan, keliling kampung. Karena warga terkendala transportasi untuk mengakses Pusksesmas. Jika ditempuh jalan darat cukup memakan waktu 4 sampai 6 jam. Apabila musim hujan akan lebih lama, jalan berlumpur membuat kendaraan yang melintas akan terjebak. Tetapi, setelah ada perahu dari Pertamina Kilang Kasim, mobilitas kami lebih mudah dan waktu lebih efisien,"kata Benny.

Menurut Ima, tim gizi Puskesmas Distrik Seget, di Kampung Klayas tercatat sekitar 63 balita. 15 diantaranya perlu perhatian khusus, karena masuk dalam kategori gizi kurang dan dan gizi buruk.

"Kami terbantu adanya Posyandu Tulip dengan ibu kader aktif. Mereka menjadi perpanjangan tangan kami yang rutin mengedukasi masyarakat agar balita diberikan asupan gizi kaya protein selama masa pertumbuhan emasnya sejak lahir hingga 1000 hari,"kata Ima.

Upaya tersebut terus digiatkan, meski tidak mudah dan perlu waktu. Karena edukasi kesehatan ke penduduk asli suku Mooi, lebih mudah dilakukan oleh orang-orang asli yang memahami budaya, tradisi dan kepercayaan.

"Tidak bisa kita langsung paksa-paksa makan ikan, makan telur, sayur dan menu sehat lainnya. Karena masih banyak mitos warga yang harus kita ubah perlahan-lahan. Misalnya mitos makan ikan membuat anak-anak cacingan,"jelas Ima.

 Intangible value

Pengamat Manajemen Lingkungan Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof Dr Martha Fani Cahyandito menilai modal yang dimiliki oleh warga Klayas merupakan intangible value yang luar biasa.

Fani melihat, kemajuan di Klayas sangat baik. Masyarakat, terutama anak-anak, semangatnya terlihat, komunikasinya lancar, lebih percaya diri, dan sopan. 

"Yang seperti ini aset yang luar biasa. Mereka berani tampil, percaya diri. Kita lihat nanti. Bukan tidak mungkin mereka akan sukses," ujar Fani.

https://regional.kompas.com/read/2022/11/10/234841978/merajut-asa-dari-klayas-kampung-cantik-di-kepala-burung-papua-yang-nyaris

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke