Salin Artikel

Cerita Bidan di Perbatasan RI-Malaysia, Jadi Anak Angkat Dukun hingga Disidang secara Adat

Beragam kisah dan cerita menarik selalu mengiringi tugas pengabdian mereka. Salah satunya dialami oleh bidan di Puskesmas Binter, Kecamatan Lumbis Ogong, Nunukan, Kalimantan Utara.

Nirwana mengatakan, pengabdian di tapal batas memberi kesan mendalam yang tidak akan diperoleh jika bertugas di perkotaan.

"Pelayanan kita lebih terasa, dan perlakuan warga di pedesaan terpencil selalu menggugah nurani kita," ujarnya, Kamis (6/10/2022).

Puskesmas Binter berjarak 3 jam dari daerah ibu kota Kecamatan di Mansalong. Di daerah ini, warga dari sejumlah kecamatan Lumbis, antara lain, Lumbis Ogong, Lumbis Hulu, Lumbis Pansiangan, membeli segala macam kebutuhan rumah tangga.

Bidan yang bertugas sejak 2015 mengungkapkan untuk pergi ke Binter dan Mansalong memerlukan biaya carter perahu Rp 3 jutaan saat itu.

"Saya tinggal di perumahan tenaga kesehatan di depan Puskesmas. Biasanya kalau ada perlu, kami baru ke Mansalong. Entah untuk belanja bahan pangan seminggu, atau untuk keperluan mencari sinyal internet. Kami menumpang Long Boat masyarakat, dan membayar Rp 700.000,’’ tuturnya.

Nirwana yang saat itu berusia 25 tahun, cukup bersemangat. Apalagi, ia merupakan anak daerah, dan sangat suka traveling. Sebagai warga asli Nunukan, ia tidak kaget dengan kondisi Lumbis, dengan segala keterbatasannya.

"Meski saya asli Nunukan, banyak pengalaman baru yang diperoleh. Mungkin untuk teman teman yang dari luar Nunukan yang bertugas di Binter, ujiannya berat karena geografis Nunukan yang cukup terpencil. Tapi itu semua kita tepiskan dengan persaudaraan dan kekeluargaan yang tercipta di lingkungan kerja," kata Nirwana.

Jadi anak angkat dukun

Pola pikir warga pedalaman, dikatakan Nirwana, masih memegang teguh adat istiadat nenek moyang. Sehingga, warga lebih percaya dukun, ketimbang pengobatan medis modern.

Selain itu, warga juga menilai praktisi kesehatan seharusnya berusia tua dan beruban.

"Usia seperti kami yang muda-muda ini, tentu sulit mendapat kepercayaan mereka,’’katanya lagi.

Untuk meraih kepercayaan, para tenaga kesehatan di Puskesmas Binter, perlahan mengakrabkan diri dengan para dukun yang selama ini mengobati penyakit masyarakat. Pendekatan emosional yang memakan waktu tidak sebentar ini pun akhirnya mendapat respons positif.

Mereka kemudian diangkat sebagai anak dan keakrabanpun tercipta. Para bidan dan dukun, bersama-sama mengatasi warga yang sakit dan bersalin.

"Melihat bagaimana kami menangani pasien, dukun juga tidak protes. Diamnya dukun dianggap persetujuan, yang membuat masyarakat akhirnya percaya ke kita. Dan perlahan, mereka datang ke Puskesmas kalau mau berobat," lanjutnya.

Hadapi sidang adat

Meski mendapat kepercayaan masyarakat, ada kalanya kepercayaan memudar saat ada kejadian yang di luar perkiraan. Sekitar tahun 2016, ada masyarakat sakit keras dan mengharuskannya dirujuk ke Rumah Sakit di Kabupaten Malinau.

Namun karena kondisinya yang kritis dan harus menempuh jarak melalui jalur sungai dan darat, pasien tidak sanggup bertahan hingga akhirnya meninggal di rumah sakit Malinau.

"Karena kebetulan pasien memiliki nama di kampung tersebut, banyak yang salah paham ke kami. Mereka memandang seolah kematian pasien akibat kelalaian kami. Akhirnya masalahnya di bawa ke ranah adat. Kami sempat disidang adat,’’tuturnya.

Meski demikian, pengabdian dan pelayanan yang diberikan bidan dan tenaga kesehatan di Puskesmas Binter menjadi pertimbangan khusus dewan adat.

"Akhirnya, semua memaklumi kondisi tersebut, dan hubungan kami dengan masyarakat kembali harmonis," imbuhnya.

Kejadian dan peristiwa selama bertugas, menjadi memori dan pengalaman yang berharga bagi Nirwana.

Penuh kenangan

Kendala pengabdian di perbatasan juga cukup banyak dialaminya. Sulitnya mendapat sinyal,  menjadi cerita yang selalu diingatnya.

Untuk bisa berkomunikasi via panggilan video atau video call, ia bersama sejumlah temannya harus melintasi empat bukit menuju balai desa yang tersedia wifi.

"Jadi selesai tugas, biasanya habis maghrib, kami akan membawa senter untuk pergi ke Kantor Desa. Kita terobos ilalang di perbukitan, sering ular melintas di dekat kami. Tapi demi komunikasi dengan keluarga, kita nekat saja,’’katanya.

Pengalaman yang tak kalah menarik lainnya, adalah saat masyarakat sering memberinya daging babi. Di wilayah Lumbis dan sekitarnya, memperoleh buruan babi hutan lebih mudah ketimbang mendapat ayam.

Warga biasanya membagikan hasil buruan mereka. Warga tidak memahami bagi Muslim, memakan daging babi adalah hal dilarang.

Menurutnya, perlakuan masyarakat setempat sangat baik dan ramah. Mereka sangat menghargai petugas kesehatan dan selalu ingin berbagi. Apa yang dimakan, mereka juga ingin petugas puskesmas ikut menikmati. Warga juga sangat menjaga keamanan dan kenyamanan petugas kesehatan.

"Jadi dagingnya saya berikan ke teman yang nasrani. Saya minta tolong memberikan pemahaman larangan itu ke masyarakat. Saya juga akhirnya menggunakan jilbab untuk menegaskan identitas saya sebagai Muslimah. Jadi yang diberikan ke saya berganti sayur dan ikan, atau hasil buruan payau (kijang).’’kata Nirwana.

Saat ini, Nirwana sudah dimutasi ke Nunukan Kota. Segala perlakuan masyarakat pedalaman selalu menjadi hal yang dirindukannya.

‘’Orang bilang tugas di pedalaman adalah hal berat. Tapi kalau menikmati tugas dan berbaur dengan sekitar, tugas akan ringan dan pengabdian jauh lebih terasa,’’ pungkasnya. 

https://regional.kompas.com/read/2022/10/06/182541578/cerita-bidan-di-perbatasan-ri-malaysia-jadi-anak-angkat-dukun-hingga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke