Salin Artikel

Pesona Masjid Walima Emas yang Berdiri di Bukit Kapur Tandus Gorontalo

Masjid ini berukuran 8x8 meter memiliki kubah utama dan 4 kubah pendamping yang lebih kecil. Uniknya, kubah ini mengadopsi bentuk walima atau usungan yang dipenuhi kue kolombengi. Kue ini merupakan produk khas masyarakat Gorontalo yang disajikan saat perayaan Maulid Nabi Muhammad.

Meskipun berada di puncak bukit kapur yang tandus yang miskin air, ternyata masjid ini berlimpah air bersih. Bahkan sebelumnya halaman masjid dibentuk kolam yang berisi air jernih yang memantulkan langit biru.

“Masjid ini disebut walima emas karena kubahnya menyerupai walima yang warnanya kuning keemasan,” kata Hasan Rahim (44), pemandu wisata Desa Bongo, Kamis (8/9/2022).

Berlimpahnya air masjid ini merupakan berkah tersendiri bagi pengunjung, air ini bisa dinikmati kesegaraanya saat mengambil air sembahyang atau berwudhu.

Air-air bersih ini dialirkan dari bak penampung air di ketinggian bukit yang disalurkan melalui pipa-pipa yang ditanam dalam tanah.

Pengelola masjid ini telah membuat tampungan air sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan pengunjung dan warga sekitar. Konsep ekowisata yang mengedepankan bekerlanjutan (sustainable) diterapkan dalam praktik wisata di desa kecil ini.

“Air hujan kami tampung di bagian atas, saat dibutuhkan kami alirkan pelan-pelan sehingga desa kami yang berada di perbukitan kapur ini tercukupi kebutuhan air bersihnya,” ujar Hasan Rahim.

Meskipun masjid ini jauh dari permukiman warga, namun tidak berarti masjid ini sepi, pelancong yang tiap hari datang meramaikan kawasan perbukitan tandus ini. Di masjid inilah titik pandang yang sangat tepat untuk menikmati birunya teluk Tomini dan perbukitan kapur di sekitarnya.

Angin laut yang penuh memiliki kelembaban jenuh segera melenakan saat pengunjung berada di ayunan semacam hammock yang dipasang di sisi masjid.


Sepanjang mata memandang yang ada hanya pesona keindahan bentang alam, mata akan dimanjakan oleh bentuk gunung Dunalihe yang membujur seperti raksasa tidur, tebing-tebingnya terlihat sangat terjal tersusun dari karang yang terangkat dari dasar samudera. Di sisi yang lebih landau, warga memanfatkan untuk tanaman kelapa atau tanaman musiman.

Masjid walima emas ini dibangun atas prakarsa seorang warga desa yang bernama Yosep Tahir Maruf (Yotama), banyak waktunya dihabiskan untuk merantau di luar daerah.

Sambil merantau ia sisihkan sumber dayanya untuk membangun desa Bongo. Waktu itu desa ini tidak ada yang melirik, akses susah, karena letaknya yang terpencil denga topografi bukit-bukit kapur, infrastruktur jalan pun masih sangat minim.

Salah satu keinginannya adalah membangun masjid di atas bukit kapur yang gersang, agak jauh dari permukiman warga.

“Saya pernah ditanya untuk apa membangun masjid di atas gunung yang jauh dari kampung, siapa yang akan shalat? Saya jawab yang shalat di sini adalah kambing dan jin,” kata Yosep Tahir Maruf sewaktu masih hidup beberapa waktu lalu.

Yosef Tahir Maruf adalah keturunan olongia (penguasa) Bubohu Bongo, semasa hidupnya ia membangun desanya dengan beragam cara, termasuk mempercantik tanah kelahirannya, menguatkan narasi perayaan Walima yang khas di desanya.

Dalam sebuah wawancara lama, Yosef Tahir Maruf menjelaskan pembangunan masjid ini diliputi keanehan.

Sebab untuk pertama kalinya puncak bukit kapur ini dibangun. Yosep mengaku tidak tahu siapa yang membersihkan puncak bukit ini, materialnya berjatuhan ke lereng dan mengenai kebun-kebun warga.

“Jika saya tidak suruh berhenti, saya bisa diamuk tetangga, kebun-kebunnya tertimba bongkahan batu kapur dari atas. Saat itu hujan sangat deras. Entah siapa yang mengoperasikan alat berat tersebut, manusia atau jin kah?” ujar Yosep.

Cerita pembangunan masjid ini memang penuh misteri, karena tidak banyak disaksikan orang. Namun kehadirannya seperti sebuah mimpi, di desa yang miskin tandus dan gersang ini tiba-tiba ada bangunan masjid menjulang di atas bukit.

Jangankan menuju puncak bukit, membawa alat berat melewati jalanan sempit dan terjal ini membutuhkan keterampilan tersendiri. Namun warga percaya Yosep Tahir Maruf mampu melakukannya karena dipercaya memiliki ilmu lebih.

Orang saat itu tidak terfikirkan akan berdiri masjid di puncak bukit ini. Namun faktanya masjid tidak hanya hadir di sini, namun juga mampu menarik banyak orang untuk menyinggahinya.

Dalam mimpi Yosep, di sekitar masjid ini akan dibangun pesantren alam, dan diajarkan cara bercocok tanam di atas bukit kapur yang tandus.

“Kalau hanya menanam di lahan subur, tak perlu manusia, tumbuhan akan tumbuh dan besar sendiri,” ujar Yosep.

Untuk itu ia membangun masjid walima emas ini sebagai pusat gerakan meningkatkan kemandirian untuk kesejahteraan masyarakat. Baginya, pengalaman hidup yang panjang memberikan hikmah tersendiri, energi ini yang disalurkan untuk membangun desanya.

Namun ide dan gagasan Yosep Tahir Maruf ini belum seluruhnya diwujudkan, ia sudah lebih dulu dipanggil Sang Pencipta pada 24 Juli 2019 pukul 00.25 Wita di RS Dunda Limboto.

Kini masjid peninggalan Yosep ini telah menjadi penanda desa, dari kejauhan di tengah Teluk Tomini para nelayan dan pelaut akan mudah menemukan titik ini sebagai tanda.

Sebaliknya, dari masjid ini bisa dipandang laut biru yang seperti tak bertepi, perahu-perahu nelayan pencari ikan terlihat bergoyang ditimang gelombang dan angin lembut.

Dari kejauhan juga terlihat daratan yang menjorok Tanjung Kramat, di ujung tanjung ini terdapat makam tua yang dikeramatkan warga, dari makam keramat inilah kemudian daerah ini dinamakan Tanjung Kramat.


“Dari ketinggian masjid ini juga terlihat Pantai Dulanga mungil yang eksotik, pantai ini pernah dikunjungi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Shalahuddin Uno setelah dari rumah almarhum Yosep Tahir Maruf,” ujar Aten warga Bongo.

Kawasan masjid walima emas ini tidak luas, namun di lokasi ini menyajikan spot-spot pemotretan yang indah. Di setiap sudut memiliki pesona tersendiri, keragaman suguhan keindahan inilah yang juga menjadi daya Tarik wisatanya, selain misteri pembangunannya.

Juga yang menarik adalah kehadiran burung kekep babi (Artamus leucorynchus) yang selalu terbang dan bertengger di kabel listrik masjid ini.

Kehadirannya menjadi bonus unik pengunjung masjid. Sesekali ia terbang di balik lereng, punggung kelabunya terlihat ada warna putih di bagian belakang, sangat anggun melintas saat diamati dari masjid walima emas ini.

“Setiap ke masjid ini, saya selalu ingin berlama-lama, menikmati angin, bukit, laut, lembah, dan ceritanya,” kata Ajeng Puyo, warga Kota Gorontalo.

Atraksi wisata buatan ini tetap memiliki daya tarik, bahkan saat ini mampu berdampingan dengan wisata alam di sekitarnya. Keramahtamahan warga desa juga sangat menunjang kehadiran wisatawan di tempat ini.

Pesona inilah yang juga mengantarkan desa Bongo meraih juara 2 kategori Desa Wisata Berkembang pada Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2021.

ADWI 2021 diikuti oleh 1.831 desa dari 34 provinsi. Penilaian ADWI meliputi tujuh kategori, yaitu penerapan cleanliness, health, safety, and environmental sustainability (CHSE), desa digital, suvenir, daya tarik wisata, konten kreatif, homestay, dan toilet.

Desa Bongo merupakan desa tua yang ada sejak lama, bahkan desa ini merupakan bekas peninggalan linula (pemerintah kerajaan kecil yang otonom) yang bernama Bubohu Bongo.

Sejak lama warga Desa Bongo dikenal dengan sikapnya yang mengedepankan relijiusitas, ini juga tercermin dalam perayaan Maulid Nabi Muhammad yang mereka sebut sebagai walima, atau perjamuan.

Warga yang datang pada perayaan walima akan disajikan kue-kue khas secara gratis, bahkan ada yang menyajikan makanan khas desa pesisir, masakan cumi, cakalang bakar, bubur tuna atau lainnya. Semua makanan berbasis hasil laut.

Untuk mencapai desa Bongo ini tidak sulit, perjalanan darat dari Kota Gorontalo bisa ditempuh dengan kendaraan roda 2 atau 4, melewati jalan beraspal.


Sebelum sampai di tujuan, wisatawan akan disuguhi pemandangan spektakuler. Di Celah Gorontalo pertemuan muara sungai Bone dan Bolengo, di sisi timur terdapat pelabuhan dengan mercusuar putih di atas bukit yang indah.

Di belakang mercusuar ini terdapat gunung Tamuyo Kiki, dan di sebelah baratnya berdiri gunung Hulapa Daa yang di atasnya Pemerintah Hindia Belanda pernah membangun “sein post” di ketinggian 250 m.

Sepanjang jalan sisi barat ini akan dimanjakan dengan pemandangan perbukitan di tepi Teluk Tomini, bukit-bukit karang bertumpuk menyajikan keindahan khas Gorontalo.

Pemandangan serupa juga dapat dinikmati saat masuk Kelurahan Tanjung Kramat, di tempat ini sudah terlihat Desa Bongo yang asri. Desa mungil di lembah sempit yang diapit bukit-bukit karang.

Perjalanan ini berjarak 12,7 km yang dapat ditempuh dengan waktu 30 menit. Jika ingin menikmati kuliner khas sate tuna atau tuna bakar Gorontalo yang terkenal lezatnya, ada sejumlah rumah makan di tepi jalan yang menyajikan menu ini.

Kalau hanya sanggala atau pisang goreng yang dimakan dengan dabu-dabu (sambal) sepanjang jalan menyajikannya, terutama di obyek wisata Tangga 2000.

https://regional.kompas.com/read/2022/09/08/113237278/pesona-masjid-walima-emas-yang-berdiri-di-bukit-kapur-tandus-gorontalo

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke