Salin Artikel

Kelor yang Mengubah Nasib Eduardus...

Bermodal semangat untuk maju, Eduardus yang merupakan lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) pun mulai menggeluti usaha di perantauan. Dia menjadi tukang ojek dan penjual ikan. 

Waktu terus berjalan, Eduardus merasa ada tuntutan untuk mencari penghasilan lebih setelah menikah dan dikaruniai seorang putri. 

Eduardus terus mencari usaha yang bisa menyejahterakan keluarga. Hingga akhirnya pada 2018, dia mengenal usaha daun kelor.

Pada tahun itu, Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat mencanangkan penanaman kelor di seluruh desa di NTT. Dari situ, Eduardus, melihat peluang. 

"Akhirnya saya coba pelajari bagaimana caranya pengolahan kelor ini. Maka dapatlah channel YouTube dari guru besar saya pak Dedi Krisnadi dari Dapur Kelor," kata Eduardus kepada Kompas.com, Selasa (6/9/2022).

Dari chanel YouTube tersebut, Eduardus mulai belajar membuat serbuk kelor dalam skala kecil. Lantas, serbuk kelor buatannya dijual. Tanpa disangka-sangka, ternyata laku. 

"Mungkin juga ada yang beli karena kasihan. Saya terus berjalan tapi dengan satu keyakinan suatu saat akan jadi besar," katanya.

"Ini bukan pengakuan Indonesia atau daerah tapi pengakuan dunia dan telah melewati ribuan kali studi banding terkait kelor untuk penanganan stunting. Dengan pemahaman itu membuat saya tetap konsisten," jelasnya.

Eduardus dengan keyakinannya, menawarkan produk serbuk kelornya ke Kelurahan Malumbi di Sumba Timur.

Eduardus pun mempersentasikan olahan kelor buatannya. Presentasinya mendapat sambutan yang ia tidak pernah duga. Gayung pun bersambut. Dari presentasinya itu ia mulai mendapatkan omzet yang terus berkembang.

Pihak kelurahan Malumbi membeli produknya senilai Rp 5 juta. Nilai uang yang besar bagi Eduardus yang baru banting stir dari tukang ojek dan papalele ikan.

"Istri saya bilang ini peluang. Akhirnya dari satu kelurahan itu saya coba tawarkan ke kelurahan lain. Yang uniknya tidak diundang tapi saya akan hadir. Acara apa pun itu saya akan hadir meski tidak diundang untuk menawarkan olahan kelor yang saya punya,"ujar dia.

"Tapi saya punya persoalan untuk menunjang proses produksi. Kalau bahan baku banyak karena Sumba Timur di tempat tinggal saya letaknya dekat pantai apalagi habitatnya 0 sampai dengan 5000 MDPL Jadi banyak sekali kelor," sambung Eduardus.

Titik balik usaha kelor Eduardus adalah ketika ia mengikuti kegiatan Balai POM terkait usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Saat itu, Ketua Dekranasda NTT Julie Sutrisno Laiskodat hadir sebagai Pemateri. Acara tersebut juga jadi perjumpaan awal Eduardus dengan Julie yang merupakan istri Gubernur NTT.

Di acara itu, dia mendapatkan nomor kontak Julie. Selepas acara, Eduardus langsung mengirim pesan WA kepada Julie. Dalam pesan itu, dia bilang butuh pendampingan agar usahanya maju.

"Saya ingat persis jawaban bunda waktu itu. Nanti ada orang Bunda yang namanya Kiky yang akan yang akan hubungi pak Edi (Eduardus) kata Bunda ketika membalas WA. Sejak dari situ saya bilang wah berarti saya tidak sendiri yang main kelor," ujarnya.

Selang beberapa hari, Kiky menghubungi Eduardus. Semenjak itu ia mendapat pendampingan dari Dekranasda NTT melalui Dapur Kelor. 

"Saya dapat bantuan dari Dekranasda NTT 1 unit mesin pengering dan mesin spinner 1 unit, 1 unit mesin penepung dan 1 unit mesin pengemasan. Bantuan itu membuat saya lebih semangat lagi dalam bekerja terkait kelor," kata Eduardus.

Eduardus pun mendirikan perusahaan dengan nama PT Kelor Marada.

Penanganan Stunting

Eduardus terus mengembangkan usahanya. Apalagi ada program Pemprov NTT untuk menurunkan angka stunting.

Ia sudah membaca peluang itu dengan masuk ke setiap pelosok desa untuk menawarkan kelor sebagai salah satu upaya penanganan stunting.

"Apalagi pada musim penghujan, saya lihat di desa desa orang suka makan mie dengan nasi. Padahal kan sama-sama karbohidrat. Nasi ketemu nasi lalu apa gizinya. Sehingga saya punya niat untuk perjuangkan ini ke desa desa,"jelasnya.

Ia mulai turun ke setiap desa untuk presentasi. Ia mengungkapkan banyak tanggapan beragam soal presentasinya itu. Ada yang percaya ada yang tidak.

Eduardus kemudian fokus untuk meyakinkan kelompok-kelompok yang percaya dengan manfaat kelor dalam penanganan stunting.

Dari kegigihan dalam melakukan presentasi ia mendapat respons positif dari beberapa desa.

"Saya melihat peluang itu ada di desa karena ada dana pemberdayaan kurang lebih 30 persen dari total dana desa dan tahun depan itu sudah naik 40 persen setiap desa," kata Eduardus.

Usaha kelor, kata Eduardus, mengubah nasibnya. Kini dia bisa lebih tenang soal ekonomi rumah tangga. 

Ia tak lagi gunda gulana karena pemasukan yang seret. Juga tak lagi berteduh di bawah tempat tinggal yang seadanya dan sempit.

"Saya dulu ojek dan susah. Sudah 17 kali berusaha namun gagal terus. Saya sempat hampir menyerah sampai saya lihat langit. Tuhan kenapa saya begini terus. Saya sudah merantau dengan modal baju di badan apalagi saya ambil istri orang Sumba," katanya

"Tapi ingat pepatah Tiongkok kalau tujuh kali jatuh harus bangun delapan kali. Ini saya sudah terlanjur merantau dan harus berjuang. Dan Tuhan mempertemukan saya dengan Kelor. Dan Tuhan memberkati saya,"kata Eduardus.

Omzet usaha kelornya kini mencapai ratusan juta Rupiah.

Dari rumah bebak ukuran 5X7 meter persegi kini Eduardus sudah bangun rumah permanen ukuran 7X9 meter persegi dan rumah produksi kelor berukuran 16X4 meter persegi.

"Puji Tuhan, beberapa waktu kemarin saya baru beli mobil. Itu semua hasil dari kelor," kata Eduardus.

Eduardus mengaku tidak pernah membayangkan bisa berada pada titik ini. Tanaman yang dulu dipersepsikan sebagai sayuran biasa dan pagar pembatas kebun, kini telah mengantarkan Eduardus hidup berkecukupan.

Selain dirinya, kelor juga mengubah hidup kelompok tani di sekitarnya.

Menurutnya, ada pengusaha kelor yang memiliki omzet hingga Rp 8 juta per bulan. Bahkan bisa membuka lapangan pekerjaan buat pengangguran dalam ekosistem budidaya dan pengelohan kelor.

Eduardus mengatakan, Gubernur NTT dan istri menjadi pihak yang ikut mengubah ekonominya. Mereka, kata dia, berjasa meningkatkan derajatnya.   

"Tanpa mereka saat ini mungkin saya masih tukang ojek. Dan Pak Dedi sebagai bapak yang sudah membimbing saya di jalan ini. Kalau bukan karena channel YouTube nya saya masih ojek juga," ujarnya terharu.

Direktur PT Moringa Wira Nusa sekaligus Founder Dapur Kelor, Dedi Krisnadi mengatakan, kisah sukses Eduardus juga sudah dialami oleh beberapa UMKM yang bergerak di bidang kelor.

Dia menjelaskan lebih lanjut banyak UMKM yang sudah membuka pasar ke luar NTT bahkan keluar negeri dan memiliki omzet hingga ratusan juta Rupiah.

"Mereka yang mendapat manfaat dari tanaman kelor adalah mereka yang sejak awal ikut arahan Gubernur NTT. Saat ini produksi Kelor dari 3,2 ton per bulan sudah naik ke 7,2 ton per September ini,"ujar dia.

PT Kelor Marada yang digawangi oleh Eduardus merupakan binaan Dapur Kelor bersama 36 sentra Pengelolaan kelor lainnya dibawa Korem Wirasakti 161 Kupang dan 14 UMKM dibawa binaan Dekranasda NTT.

"Jadi Dapur Kelor ini sebenarnya Binaan Dekranasda NTT dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi NTT. Kami diamanatkan untuk membina UMKM-UMKM lainnya. Kami melatih lagi. Sehingga tidak disadari bahwa ketika kami dibina oleh Dekranasda NTT dan Disperindag, kami membina lagi UMKM lainnya," kata Dedi.

https://regional.kompas.com/read/2022/09/06/163105778/kelor-yang-mengubah-nasib-eduardus

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke