Salin Artikel

Kisah Penambang Timah Selam, ke Dasar Laut demi Cari Nafkah, Derita Gangguan Pendengaran

Dia disambut istri dan anaknya di depan pintu pondok.

Hari itu ada sekitar 6 kilogram pasir timah yang bisa dibawanya pulang. Pasir timah yang masih basah itu tersimpan dalam sebuah mangkok plastik.

"Alhamdulillah. Hari ini dapat enam kilogram," kata Joko Tingkir kepada Kompas.com, Minggu (31/7/2022).

Pasir timah basah dijual pada pedagang pengumpul senilai Rp 130.000 per kilogram.

Jika penambang mendapatkan 6 kilogram, maka uang hasil penjualan sebesar Rp 780.000 per hari.

Selain Joko Tingkor, ada tiga pekerja lainnya di ponton tambang yang sama.

Uang dibagi penambang setelah dikeluarkan biaya bahan bakar solar dan operasional Rp 360.000. Artinya tersisa Rp 420.000 yang kemudian dibagi empat oleh penambang.

Jika ponton tambang milik pihak lain, maka uang Rp 420.000 dibagi 50 persen untuk pemilik ponton dan 50 persen sisanya dibagi untuk empat penambang.

Tidak jarang, para penambang hanya membawa pulang uang Rp 30.000 hingga Rp 50.000 setelah bekerja seharian.

Bekerja di tengah laut dengan rakit ponton sederhana, para penambang harus berhadapan dengan ombak besar hingga serangan buaya.

Panas terik matahari hingga guyuran hujan lebat menjadi santapan sehari-hari.

Selain itu, para penambang juga kerap menderita gangguan fisik, seperti sakit pinggang, kesemutan hingga berkurangnya fungsi pendengaran.

Terkadang para penambang harus gigit jari, karena sama sekali tidak mendapatkan pasir timah.

Menurut Joko, profesi sebagai penambang selam telah dijalani selama hampir 10 tahun.

Tugas utamanya adalah menyelam di ke dalaman lima sampai enam meter. Penyelaman dilakukan di sekitar ponton tambang dengan durasi dua sampai tiga jam.

Agar bisa menyelam selama itu, sebuah selang kompresor disisipkan ke dalam masker kaca yang menutupi seluruh wajah para penambang.

Udara kemudian dipompa dari mesin diesel yang terpasang di atas ponton.

"Biasanya dalam sehari dua kali naik ke permukaan," ujar Joko.

Ayah empat anak asal Buton, Sulawesi Tenggara, itu mengaku sudah tidak memedulikan lagi kondisi fisiknya jika menyelam terlalu lama.


Bagi Joko yang terpenting adalah membawa pulang pasir timah dan mendapatkan uang untuk biaya hidup sehari-hari.

Sebagai seorang ayah, Joko berharap, anaknya bisa mengenyam pendidikan yang lebih baik.

Sehingga bisa melakoni pekerjaan yang tidak berisiko tinggi seperti sang ayah.

"Zaman sekarang mau kerja apa lagi. Mudah-mudahan anak-anak bisa lebih baik," ujar Joko.

Saat berada di dasar laut, kata Joko, Ia hanya mengandalkan insting, mengarahkan selang untuk menyedot pasir timah.

Ada kalanya ia harus menggunakan rompi pemberat agar tidak terombang-ambing.

Meskipun arus di bawah laut relatif lebih tenang dibandingkan permukaan.

"Kadang kita harus berjalan di dasar laut mengarahkan selang, jadi jangan sampai melayang naik ke permukaan," ujar Joko membeberkan alasan menggunakan rompi pemberat.

Penambang selam lainnya, Ali Pelaben (50) mengatakan, pekerjaan berisiko dengan taruhan nyawa tersebut terpaksa dilakoni karena tidak memiliki pekerjaan lain.

Ali mengaku telah berkeliling ke sejumlah daerah sebagai pekerja bangunan. Namun akhirnya terdampar di Bangka dan menikah. Ia kemudian melakoni pekerjaan sebagai penambang timah selam.

Beruntung, Ali memiliki ponton tambang sendiri. Sehingga Ia bisa mempekerjakan orang lain jika merasa cukup lelah.

"Kalau pekerja lagi kosong, saya sendiri masih turun menyelam. Mau bagaimana lagi karena ini pekerjaan kita," ujar Ali.


Dari penambangan timah selam, Ali mengaku bisa membiayai kehidupan sehari-hari.

Namun satu hal yang masih dinantikan hingga saat ini, kata Ali yakni memiliki momongan.

"Untuk anak belum. Saya sama istri masih menantikannya," ujar Ali.

Selama bekerja sebagai penambang selam, Ali mengaku tidak mengalami kendala berarti.

"Memang ada yang datang minta sumbangan pada penambang, biasanya dikasih satu genggam oleh masing-masing penambang," ujar Ali.

Ali berharap harga jual timah di tingkat penambang bisa merangkak naik. Kondisi ideal harga pasir timah, kata Ali adalah Rp 200.000 per kilogram.

Sebab untuk melakukan penambangan, pekerja harus mengeluarkan biaya bahan bakar dan bagi hasil untuk empat sampai lima pekerja.

Di samping itu, penambang kadang terpaksa behenti kerja dalam waktu cukup lama karena faktor cuaca.

"Kami harapkan dari hasil menambang bisa membiayai hidup dan menabung," ucap Ali.

Pelaku tambang lainnya, Nasri mengatakan, tambang selam ponton ampung relatif lebih ramah lingkungan.

"Area sedotan pasirnya relatif lebih kecil. Setelah pompa dimatikan, pasir kembali mengendap dan air laut kembali jernih," ujar dia.

Menurut Nasri, penambang ponton apung memang banyak yang belum mengantongi izin.

Untuk itu perlu bantuan pemerintah agar penambang mendapatkan akses perizinan sehingga pekerjaan mereka terlindungi dan jelas pemasukannya untuk negara.

"Ini harus dibantu pemerintah secara aktif kalau mau ada legalisasi. Apalagi timah mendukung perekonomian daerah," ucap dia. 

https://regional.kompas.com/read/2022/08/01/125721178/kisah-penambang-timah-selam-ke-dasar-laut-demi-cari-nafkah-derita-gangguan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke