Salin Artikel

Cerita Guru Honorer di Pelosok NTB, Sudah 17 Tahun Mengabdi, Digaji Rp 83.000 Per Bulan

Para guru yang bekerja di pelosok itu menerima gaji bulanan yang jauh dari kata layak. Mereka kesulitan memenuhi kebutuhan hidup karena penghasilan yang kecil.

Padahal, guru honorer adalah tulang punggung pendidikan yang turut membantu mencerdaskan anak bangsa di daerah terpencil.

Sayangnya, masih banyak para pahlawan tanpa tanda jasa yang tak mendapatkan kehormatan dari sisi kesejahteraan.

Seperti yang dialami M Guntur, salah seorang guru asal Kecamatan Donggo.

Guntur adalah guru yang mengajar kelas I SD Negeri di Desa Kala. Pria berusia 55 tahun ini sudah lama mengabdi sebagai guru honorer.

Ia menceritakan sejak awal mengajar pada 2006 lalu, ia masih digaji Rp 83.000 sampai Rp 100.000 per bulan.

Guntur mengatakan, upah yang diterima sebagai guru honorer tergantung dari jumlah jam mengajar di sekolah tersebut. Mirisnya, Guntur tidak boleh mengajar lebih dari delapan jam dalam satu bulan.

Ia juga mengatakan, saat ini seluruh gajinya berasal dari dana BOS yang dibayarkan tiga bulan sekali. Dalam setiap triwulan itu, ia menerima upah kurang lebih Rp 250.000- Rp 300.000.

"Honor di sekolah saya itu tidak menentu. Awal saya masuk ngajar di SD Rp 300.000 per triwulan tapi sekarang jadi Rp 250.000. Kalau dihitung, rata-rata sebulannya cuma Rp 83.000," kata Guntur saat ditemui Kompas.com, Jumat (29/7/2022).

Ia mengaku, penghasilan yang diterima itu tidak cukup menutupi kebutuhan keluarga. Tak ayal, Guntur harus memutar otak untuk bertahan hidup.

Sampai akhirnya ia harus membuka usaha kecil-kecilan di rumah dengan modal seadannya. Ia bersama sang istri menjual berbagai macam barang, mulai dari kopi instan, mi, hingga minuman dingin.

"Gaji tidak seberapa, hanya cukup untuk beli beras 10 kilogram. Ya harus pintar-pintar cari tambahan dengan membuka kios kecil depan rumah," kata dia.


Meski sudah membuka kios kecil di rumah, pendapatannya juga tak cukup memenuhi kebutuhan istri dan anak.

Guntur pun memanfaatkan lahan jagung yang terletak tak jauh dari kampungnya. Di ladang itu, Guntur menanam jagung dengan masa panen enam bulan sekali.

Sesekali, Guntur juga menjadi buruh tani di kebun warga untuk menambah penghasilannya.

Bapak satu anak ini mau tidak mau harus tetap bertani dan menjadi buruh demi bertahan hidup untuk menafkahi keluarganya.

"Habis dari mana lagi, cuma dengan ini saya bisa memenuhi kebutuhan buat sehari-hari. Kalau hanya mengandalkan penghasilan sebagai guru honorer, tidak cukup," ujarnya.

Guntur mengaku terpaksa bekerja sampingan sebagai petani karena upah yang diterimanya dari sekolah tidak cukup menafkahi istri dan anak. Sehingga ia harus memanfaatkan tanah warisan dari orangtuanya untuk digarap.

Dia pun terpaksa membagi waktu antara mengajar dan menjalani pekerjaan sebagai petani.

"Walaupun tiap hari sibuk diladang tapi saya usahakan tidak mengganggu kerjaan jadi guru. Pada saat jam sekolah, saya harus ngajar mulai dari pukul 07.30 dan siangnya baru pulang ke rumah. Selepas itu, saya ke kebun jagung sampai sore. Hasilnya juga tidak seberapa, ya lumayan buat nambah-nambah," ujarnya.

Dari hasil kebun ini, Guntur bertahan tetap mengabdi di sekolah yang berjarak sekitar 200 meter dari rumahnya itu.

Tak terasa, sudah 17 tahun Guntur mengabdi sebagai guru honorer di SDN Mangge Kompo, Desa Kala, Kecamatan Donggo, Bima. Ia tetap bertahan meski bayarannya kecil.

Di sekolah yang berjarak sekitar 31 kilometer dari pusat Kabupaten Bima ini tercatat ada puluhan guru honorer yang mengajar.

Pahlawan tanpa tanda jasa ini rela mengabdikan diri dan tetap bekerja dengan penuh pengabdian meski belum mendapatkan kesejahteraan yang layak.


Meki begitu, gaji kecil tidak menjadi alasan bagi mereka untuk berhenti merajut mimpi anak pelosok Bima.

Guntur mengaku, berusaha semampu mungkin mengajar di sekolah tersebut dan berharap anak didiknya bisa membaca, menulis, dan berhitung.

"Kami di sini tidak berpikir soal besar atau kecilnya gaji, motivasi kami adalah pengabdian tulus demi masa depan anak-anak," tuturnya.

Kendati pendapatannya tak seberapa, guru honorer tua ini mengaku tetap menjalankan profesinya itu sampai saat ini.

Tahun lalu, Guntur sempat ingin mengikuti tes seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun, ia tak bisa mengikuti program pemerintah itu karena kesulitan mendaftar online. Hal itu jadi kenyataan pahit yang diterimanya di usia tua.

Kini, Guntur berharap pengabdian panjangnya dihargai. Setidaknya, minimal pemerintah mengangkatnya sebagai guru kontrak. 

"Kalau jadi PNS kayanya sulit, karena terganjal umur. Usia saya sekarang sudah 55 tahun, artinya tinggal lima tahun lagi pensiun. Saya harap dihargai jerih paya 17 tahun ngajar tanpa pamrih. Setidaknya dapat diangkat jadi guru kontrak daerah," jelasnya.

https://regional.kompas.com/read/2022/07/29/164910078/cerita-guru-honorer-di-pelosok-ntb-sudah-17-tahun-mengabdi-digaji-rp-83000

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke