Salin Artikel

Ada Asa di Setiap Cangkir Kopi Racikan Anak-anak Sekolah Pinggir Hutan

BANYUMAS, KOMPAS.com - Hari menjelang siang, namun matahari belum menampakkan sinarnya.

Hawa dingin masih terasa melalui pori-pori telapak kaki yang bersentuhan dengan keramik ruang kelas.

Meski demikian, aktivitas puluhan anak-anak menghangatkan suasana di dalam ruang kelas itu.

Mereka merupakan siswa-siswi Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Pendidikan Kesetaraan Paket C Pakis.

Sekolah ini berada di pinggir hutan kaki Gunung Slamet, tepatnya di Dusun Pesawahan, Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Sekolah tersebut diperuntukkan bagi anak-anak kurang beruntung di pinggir hutan yang tidak dapat menjangkau sekolah di perkotaan karena keterbatasan ekonomi.

Memasuki tahun ajaran baru, sejak Senin (18/7/2022), mereka sedang mengikuti kegiatan masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS).

Berbeda dengan sekolah lainnya, MPLS di sini lebih banyak dilakukan di luar ruang.

Setelah pemberian materi di ruang kelas selama kurang lebih dua jam, mereka melanjutkan kegiatan mengenal lingkungan sekitar.

Hari itu, mereka akan memanen, mengolah, dan meracik kopi yang diambil dari kawasan hutan, tak jauh dari sekolah.

Heri (16), Udin (13), Rohim (14), Dandi (17), Fahdi (16), dan beberapa siswa lainnya mendapat tugas memanen kopi.

Mereka berjalan melalui jalan setapak di belakang sekolah menuju perekebunan kopi milik warga yang berada di ketinggian 600 mdpl.

Medan yang cukup terjal tak menyurutkan langkah mereka. Hanya butuh waktu 15 menit, pepohonan kopi mulai terlihat.

Satu per satu mereka mulai memilih dan memetik buah kopi robusta yang telah berwarna merah. Beberapa di antaranya harus dipanjat karena cukup tinggi.

"Sudah terbiasa kayak gini," kata Heri, siswa kelas XI ini sambil memanjat pohon kopi, Selasa (19/7/2022).

Tak ada rasa ketakutan di wajah Heri dan kawan-kawan, meski di sisi kanan pepohonan kopi itu merupakan jurang yang dalam.


Heri dan Udin mengaku tidak asing dengan aktivitas semacam itu. Mereka terbiasa membantu orangtuanya bekerja di kawasan hutan.

Berbeda halnya dengan Fahdi, siswa kelas X. Ia yang baru kali pertama masuk sekolah di hari itu heran melihat aktivitas teman-teman barunya.

"Saya baru pernah seperti ini," ucap Fahdi, yang rumahnya berjarak sekitar 8 kilometer dari sekolah.

Fahdi menjadi satu-satunya siswa yang berasal dari luar dusun tersebut.

Setelah matahari berada persis di atas kepala, mereka memutuskan kembali ke sekolah. Hari itu mereka mendapat setengah karung kecil buah kopi.

Di sisi lain, para siswi diminta membersihkan rumput liar di lahan tepi Telaga Kumpe.

Di lahan yang berada di seberang sekolah itu, belum lama ini ditanami sekitar 50 bibit pohon kopi robusta setinggi lutut orang dewasa.

Usai membersihkan lahan, para siswi diberi tugas mengemas kopi. Kopi tersebut merupakan olahan hasil panen sebelumnya.

Sedangkan, beberapa siswi lainnya juga mempraktikkan menyeduh kopi dengan metode V60.

Heri yang juga menjadi Ketua Panitia MPLS mengatakan, pada masa orientasi ini juga diisi dengan kegiatan lain.

"Ada pelatihan kepenulisan, hafalan surat-surat pendek dan lainnya," ujar Heri.

Salah satu relawan-sebutan untuk pengajar di Sekolah Pakis-Muis mengatakan, anak-anak diajari bagaimana teknik mengolah dan menyajikan kopi yang baik.

Sebab, di wilayah tersebut terdapat ratusan pohon kopi robusta produktif yang sebagain di antaranya milik wali murid, namun tidak terkelola dengan baik.

"Petani di sini belum paham bagaimana menyortir kopi, mengolah, mengemas dan menyajikannya dengan baik," kata Muis.

Koordinator Relawan Sekolah Pakis Isrodin mengatakan, pengolahan kopi merupakan bagian pembelajaran peserta didik untuk mengenali potensi di sekitarnya.

Metode pembelajaran di sekolah ini memang unik. Mereka tidak hanya belajar secara tekstual dari buku-buku ajar.

"Di Pakis ini kan lebih mengedepankan belajar mengenali potensi lingkungan di sekitarnya. Sekolah ini berada di desa hutan. Setelah diidentifikasi ternyata banyak wali murid yang punya tanaman kopi, tapi tidak terawat," tutur Kang Is, sapaannya.

Perlahan sejak 2018 para relawan mulai memberi edukasi melalui para siswanya.

"Ide ini adalah agar bagaimana produk kopi ini melibatkan semuanya, wali murid, relawan, dan anak-anak, ada kolaborasi di sini," kata Is.

Produk kopi yang diberi merek Igir Alas ini juga membuka mata para siswa bahwa sumber daya alam di sekitarnya memiliki nilai ekonomis tinggi.

"Kami melibatkan anak-anak agar tahu bahwa ada nilai ekonomis ketika kopi diolah dan disajikan dengan cara berbeda," ujar Is.

Ia mencontohkan, pemilik kebun kopi biasanya menjual buah kopi secara borongan dengan harga hanya Rp 2.000 per kilogram.


Apabila diolah menjadi biji kopi kering, paling tinggi djual dengan harga Rp 20.000 per kilogram.

Namun, setelah diolah dan dikemas dengan baik, kopi tersebut bisa dijual dengan harga Rp 38.000 per kemasan isi 250 gram.

Keuntungan dari penjualan kopi tersebut, kata Is, akan dikelola siswa untuk mendukung operasional sekolah.

Sebab, pendidikan di sekolah tersebut gratis. Orangtua hanya membayar biaya pendaftaran dengan hasil bumi sebagai penanda menitipkan anaknya untuk menuntut ilmu.

"Hasilnya untuk menopang proses pendidikan di sini, karena di sekolah ini tidak dipungut biaya apapun. Ke depan ini jadi salah satu unit usaha yang diharapkan bisa menopang," kata Is.

Proses tersebut sekaligus membentuk jiwa kewirausahaan dan kemandirian para siswa untuk bekal di kehidupannya.

Untuk diketahui, Sekolah Pakis didirikan oleh para pegiat Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Argowilis yang peduli terhadap pendidikan anak-anak pinggir hutan pada 2013 silam.

Saat itu, banyak lulusan SD yang tidak melanjutkan pendidikan karena keterbatasan ekonomi. Selain itu, banyak perempuan yang akhirnya menikah pada usia dini.

https://regional.kompas.com/read/2022/07/20/094356578/ada-asa-di-setiap-cangkir-kopi-racikan-anak-anak-sekolah-pinggir-hutan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke