Salin Artikel

Asal-usul dan Sejarah Tanjung Pinang, Pohon Pinang Petunjuk Pulang

KOMPAS.com - Tanjung Pinang adalah ibu kota Provinsi Kepulauan Riau.

Letak Tanjung Pinang tepatnya berada di Pulau Bintan.

Sejak menjadi ibu kota Provinsi Kepulauan Riau yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2002, Tanjung Pinang menjadi tujuan kedatangan penduduk dari daerah sekitar.

Letak Tanjung Pinang pada posisi silang perdagangan dan pelayaran dunia antara timur dan barat, yaitu antara Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan.

Tanjung Pinang berdekatan dengan Kota Batam sebagai kawasan perdagang bebas dan Singapura sebagai negara pusat perdagangan dunia.

Berikut ini asal-usul dan sejarah Tanjung Pinang.

Asal-usul dan Sejarah Tanjung Pinang

Asal-usul Tanjung Pinang

Ada beragam versi yang menjelaskan tentang asal-usul Tanjung Pinang.

Tanjung Pinang berasal dari kata tanjung yang banyak ditumbuhi pohon pinang, dalam bahasa latin Areca Catechu.

Konon pohon pinang ini sengaja di tanam di tepian semenanjung oleh sepasang suami istri, dengan maksud sebagai penanda tempat untuk memudahkan anaknya yang melaut untuk pulang.

Pohon pinang dipilih karena pohonnya dapat tumbuh hingga menjulang tinggi dan memiliki daya tumbuh yang kuat jika dibandingkan pohon lain.

Versi lain dari asal nama Tanjung Pinang, diambil dari posisi posisinya yang menjorok ke laut dan banyak tumbuh sejenis pohon pinang.

Pohon yang berada di Tanjung tersebut sebagai petunjuk bagi pelayar bahwa akan masuk ke Bintan Tanjung Pinang. Dimana lokasi tersebut merupakan pintu masuk ke Sungai Bintan, tempat kerajaan Banten yang berpusat di bukit.

Ada juga yang mengatakan bahwa Tanjung Pinang berasal dari nama Ai Nang (kemari, Cina) yang dianggap sebagai pusat pasar dagang yang ramai di sepanjang pesisir.

Sejarah Tanjung Pinang

Tanjung Pinang telah dikenal lama karena posisinya strategis dan sebagai pusat kebudayaan Melayu.

Keberadaan Tanjung Pinang makin dikenal pada masa Kerajaan Johor pada masa Sultan Abdul Jalil Syah.

Ia memerintahkan Laksamana Tun Abdul Jamil untuk membuka bandar perdagangan yang terletak di Pulau Bintan, tepatnya di Sungai Carang, Hulu Sungai Riau. Bandar itu dikenal dengan Bandar Riau.

Peranan Tanjung Pinang sangat penting sebagai kawasan penyangga serta pintu masuk Bandar Riau.

Pemerintah pada saat itu mampu menjadikan Bandar Riau sebagai bandar besar menyaingi bandar Malaka yang dikuasai Portugis dan akhirnya dikuasai Belanda.

Bandar Riau juga dikenal sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Johor-Riau.

Masa Kolonial

Keberadaan Tanjung Pinang makin diperhitungkan pada peristiwa Perang Riau pada tahun 1782-1784, antara Kerajaan Riau dan Belanda.

Pada masa itu Kerajaan Riau pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda Raja Haji Fisabilillah.

Perang Riau selama dua tahun dimenangkan pihak Kerajaan Melayu Riau yang ditandai dengan hancurnya kapal komado Belanda Malaka's Wal Faren. Akibatnya, Belanda terdesak muncur dari perairan Riau.

Selang beberapa bulan, Raja Haji menyerang Malaka sebagai basis pertahanan Belanda di Selat Malaka. Namun dalam peperangan tersebut, pasukan Riau mengalami kekalahan dan Raja Haji sebagai komando perang wafat.

Kemunduran Kerajaan Melayu Riau makin tampak dengan adanya Traktat London 1824, yaitu perjanjian pembagian wilayah kekuasaan di perairan Selat Malaka.

Dalam perjanjian Traktat London, wilayah Riau-Lingga berada di bawah kekuasaan Belanda, sedangkan Johor-Penang dan semenanjung dikuasai Inggris.

Peristiwa ini memisahkan keutuhan Riau-Johor-Pahang-Lingga, kemudian kerajaan ini dikenal dengan sebutan Kerajaan Riau-Lingga. Singapura yang saat itu berada di bawah kerajaan Riau ditukar ganti dengan Bengkulu yang saat itu berada di bawah kerajaan Inggris.

Setelah dikuasai Belanda, Tanjung Pinang menjadi pangkalan militer. Statusnya menjadi pusat pemerintahan dari Residence Riouw en Onderhoriheden.

Sejak Belanda menguasai Kerajaan Riau dan ikut campur tangan, Kerajaan Riau mengalami kemunduran dan puncaknya pada Perjanjian Belanda-Riau 1911.

Akibat perjanjian itu, Belanda menguasai seluruh wilayah Riau. Sementara, Sultan Riau hanya sebagai peminjam termasuk tambang timah Pulau Singkep. Hal ini yang ditentang Sultan Riau.

Hal itu berakhir pada pemecatan Sultan Riau oleh Belanda pada tahun 1912.

Sultan tidak mau menandatangani surat pemberhentian tersebut dan memilih pindah ke Singapura.

Sejak saat itu, Kesultanan Riau-Lingga berakhir dan disertai dihapusnya wilayah Riau Lingga dari peta Keresidenan Belanda.

Sementara, Tanjung Pinang tetap menjadi pusat Keresidenan Belada.

Masa Republik Indonesia

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Kepulauan Riau termasuk Tanjung Pinang masih diduduki oleh Belanda.

Beberapa kali Tanjung Pinang berubah status. Berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1957 dibentuk Provinsi Riau dengan ibu kota Tanjung Pinang.

Pada tahun 1960, ibu kota Provinsi Riau pindah ke Pekanbaru berdasarkan Undang-undang Nomor 61 Tahun 1958.

Pada Peraturan Pemerintah No 31 Tahun 1983, Tanjung Pinang ditetapkan sebagai Kota Administrasi, setelah itu menjadi Kabupaten Kepulauan Riau hingga tahun 2000.

Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2001 statusnya naik menjadi Kota Tanjung Pinang. Pada masa ini, pusat pemerintahan dipindahkan ke Senggarang (bagian utara kota).

Keputusan tersebut dibuat untuk mengimbangi kesenjangan pembangunan dan kepadatan penduduk yang selama ini terkonsentrasi di kota lama (bagian barat kota).

Kemudian berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 2002 tentang pembentukan Provinsi Kepulauan Riau, Tanjung Pinang ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Kepualuan Riau.

Sumber:

Citra Kota Tanjungpinang dalam Arsip, Arsip Nasional Republik Indonesia dan batam.tribunnews.com

https://regional.kompas.com/read/2022/06/25/214424878/asal-usul-dan-sejarah-tanjung-pinang-pohon-pinang-petunjuk-pulang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke