Salin Artikel

Potret Pendidikan di Pedalaman Papua, Sekolah Sempat Tutup, Siswa Belajar Tanpa Seragam

JAYAPURA, KOMPAS.com - Kampung Atti, Distrik Minyamur, merupakan kampung di pedalaman Kabupaten Mappi, Papua. Di kampung itu hanya terdapat satu Sekolah Dasar (SD) yang sempat tutup dua tahun. Siswa di sekolah itu belajar dengan kondisi seadanya.

Kabupaten Mappi merupakan salah satu daerah yang terletak di Provinsi Papua bagian selatan. Sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan perairan dan rawa.

Letak antar kampung, kecamatan atau distrik di Mappi biasanya berjauhan, sehingga butuh waktu cukup panjang untuk berpindah dari satu kampung ke kampung lainnya.

Merupakan bagian pemekaran dari Kabupaten Merauke, dunia pendidikan di Mappi perlahan mulai berkembang, meski belum merata.

Seperti yang terlihat di Kampung Atti, Distrik Minyamur, yang letaknya masih sangat pelosok. Fasilitas pendidikan di kampung itu masih minim. Hanya terdapat satu Sekolah Dasar (SD) yang sempat tidak berjalan selama dua tahun.

Sekolah itu baru buka kembali pada tahun ajaran 2021-2022, setelah Pemerintah Kabupaten Mappi selasai membangun perumahan guru.

Akses sulit

Diana Da Costa, salah satu guru yang bertugas di SD Negeri Atti mengaku senang meski harus tinggal di pelosok. Menurutnya, siswa di sekolah itu memiliki minat belajar yang tinggi.

Diana yang merupakan guru tenaga kontrak mengakui bahwa keberadaan sekolah itu sulit diakses. Untuk menuju Kampung Atti, Diana harus menempuh perjalanan dua hari dari Distrik Keppi yang merupakan ibu kota Kabupaten Mappi.

Dari Pelabuhan Agham yang berada di Keppi, Diana bersama dua rekannya, Fransisca E Berre dan Oktobianus Halla, harus mencarter perahu motor seharga Rp 500.000 menuju Kampung Kaumi.

"Kita biasa dari Keppi itu sekaligus bawa bahan makanan dan keperluan sekolahnya anak-anak (siswa), jadi di Kampung Kaumi kita harus bermalam di rumah warga karena barang bawaannya banyak," ujar Diana saat dihubungi melalui sambungan telepon, Senin (6/6/2022).

Dari Kampung Kaumi, Diana lantas menuju Kampung Atti. Jarak tempuh yang dilalui membutuhkan waktu sekitar dua jam. Biasanya, Diana meminta warga atau siswa agar membantu memikul barang bawaannya.

"Itu biasanya kami panggil sampai 15 anak untuk bawa barang," kata Diana.

Sekolah tanpa seragam

Total, ada 80 siswa yang diajar oleh ketiga guru di SDN Atti, mulai dari kelas 1 hingga kelas 6.

Namun, kondisi para siswa dan sekolah tersebut cukup memprihatinkan. Para siswa tidak memiliki seragam dan sepatu, sedangkan beberapa kelas tidak terdapat fasilitas meja dan kursi.

"Mereka kalau sekolah pakai baju rumah tanpa sepatu," ungkap Diana.

Terdapat dua kelas yang tidak tersedia fasilitas meja dan kursi dan kini digunakan oleh para siswa kelas 3 dan 4.

Untuk kebutuhan alat tulis, terang Diana, ia dan rekan-rekannya membuka donasi dari banyak pihak untuk membantu aktivitas para siswa di SDN Atti.

Honor yang mereka terima tidak cukup untuk menanggung biaya untuk membeli alat tulis sehingga diperlukan bantuan dari pihak luar yang peduli atas perkembangan dunia pendidikan di Kampung Atti.

"Ini sudah satu tahun berjalan dan sampai sekarang kami masih buka donasi," ungkapnya.

Siswa tinggal di hutan

Dari 80 siswa yang kini sekolah di SDN Atti, terdapat lima orang anak yang tinggal di dalam hutan. Kelima anak tersebut setiap harinya harus berjalan kaki selama satu jam untuk menuju sekolah.

Salah satu dari siswa yang tinggal di hutan tersebut, dianggap Diana memiliki kemampuan akademis yang cukup bagus dan kini telah selesai mengikuti ujian.

Siswa tersebut, sambung Diana, harus melanjutkan jenjang pendidikannya di Distrik Keppi karena sekolah SMP terdekat hanya ada di lokasi tersebut.

Diana mengaku senang melihat semangat belajar para siswa yang semangat bersekolah meski SDN Atti sempat tidak beroperasi selama dua tahun.

Kondisi Kampung Atti

Respons masyarakat Kampung Atti atas kehadiran ketiga guru tersebut sangat baik. Bahkan, mereka sering diberi bahan makanan meskipun kondisi warga dinilainya tidak terlalu bagus.

Diana mengungkapkan, di Kampung Atti tidak terdapat jaringan telekomunikasi dan sama sekali tidak terdapat warung.

"Listrik mereka ada genset untuk semua rumah di sana, mereka beli genset dan BBM pakai uang dana desa," kata dia.

"Kalau di rumah guru sudah ada solar cell," sambung Diana.

https://regional.kompas.com/read/2022/06/07/054500778/potret-pendidikan-di-pedalaman-papua-sekolah-sempat-tutup-siswa-belajar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke