Salin Artikel

Potret Nelayan di Kampung Poumako Mimika, Terpaksa Jual Ikan Harga Murah hingga Perjuangkan Masa Depan Anak

Mayoritas nelayan adalah warga asli Suku Kamoro yang mendiami pesisir pantai bagian barat hingga bagian timur Mimika.

Secara bergantian, sejumlah nelayan tampak serius melakukan bongkar muat ikan dari perahu motor mereka.

Sedangkan para pemborong ikan sudah menanti menggunakan mobil pikap di pinggir Pelabuhan Poumako.

Tak jauh dari Pelabuhan Poumako, terlihat para ibu-ibu Suku Kamoro dan Asmat, sedang menjual ikan di samping kanan jalan.

Ada yang menjual di atas para-para yang tersedia. Sebagian lainnya menjual di pinggir jalan aspal, beralas karung bekas.

Rumah warga Poumako kebanyakan terbuat dari kayu dan beratap seng.

Mayoritas rumah berada di samping aliran Sungai Poumako hingga ke arah lautan.

Mereka harus melewati jembatan penyeberangan untuk sampai ke tempat tinggal masing-masing.

Mayoritas kehidupan warga Poumako adalah sebagai nelayan. Melaut menjadi mata pencarian mereka sehari-hari.

Salah satu nelayan asli Suku Kamoro bernama AliJohn Takei bersama keluarganya, secara bergantian mengangkut ikan dengan keranjang dari perahu motornya.

Pekerjaan sebagai nelayan sudah dilakoni oleh Alijohn sejak tahun 2000.

Kepada penadah ikan yang telah menanti di pinggir Pelabuhan Poumako, ikan-ikan itu dijual kiloan.

Sebagian ikan dijual oleh istrinya di pinggir Pelabuhan Poumako.

“Hampir setiap hari sebagai nelayan dan hasil tangkapan ikan dijual dengan melihat situasi. Ada yang dijual kepada penadah per kilo dan sebagian dijual oleh ibu,” ungkapnya kepada Kompas.com di Pelabuhan Poumako, Distrik Timika Timur, Kabupaten Mimika, Papua, Rabu (6/4/2022).

Menurut Alijohn, mereka menangkap berbagai jenis ikan dengan perahu motor.

Ikan hasil tangkapan, yaitu ikan bulanak, ikan mubara, ikan duri, ikan kakap, ikan bandeng, dan lainnya.

Alijohn mengatakan, para nelayan biasanya melaut pada malam hari dan pulang membawa tangkapan pagi hari.

“Tangkapan ikan ini tergantung cuaca di laut dan tergantung air laut. Kalau airnya bagus kami bisa tangkap ikan sampai 2 boks penuh. Kalau air tidak baik, kami bisa dapat setengah boks saja,” tuturnya.

Dia biasanya mendapatkan penghasilan kotor sebesar Rp 1.000.000 jika tangkapan banyak.

Namun, setelah dikurangi biaya membeli bensin, beras, dan kebutuhan sehari-hari di rumah, biasanya hanya tersisa Rp 300.000.

“Sementara saya di Kampung Ayuka, sehingga kalau ke pantai pergi dan pulang mencari ikan harus menghabiskan bensin sekitar 25 liter. Harga bensin kalau di beli di agen dengan harga Rp 200.000. Kalau dibeli melalui pengecer, maka harganya bisa mencapai Rp 250.000,” ucap pria asli Suku Kamoro dari Kokonau ini.

Padahal, ikan yang dibawa oleh nelayan ini merupakan ikan segar yang baru saja ditangkap langsung dari laut.

Sayangnya, para nelayan biasanya harus menjual ikan dengan harga yang murah kepada pemborong lantaran ikan yang dijual per ekor di Pelabuhan Poumako tidak habis.

Alijohn mengharapkan adanya koperasi yang dibentuk pemerintah daerah, sehingga para nelayan tak lagi menjual ikan ke pemborong dengan harga pas-pasan.

“Perlu ada koperasi yang disediakan pemerintah daerah, sehingga kami bisa menjual ikan dengan harga yang memadai melalui koperasi yang disediakan pemerintah,” harapnya.

Menurutnya, selama ini para nelayan tak bisa menjual ikan ke kota lantaran kendala akses transportasi dari Pelabuhan Poumako ke Kota Mimika.

Selain itu, sewa kendaraan seperti mobil pikap membutuhkan biaya sekitar Rp 300.000 sampai Rp 500.000.

Biaya sewa kendaraan, kata Alijohn, cukup mahal bagi para nelayan yang sehari-hari menjual ikan di Pelabuhan Poumako.

Para nelayan itu berharap ada perhatian dari pemerintah Mimika terkait hal tersebut.

“Selama ini kalau kami mau jual ikan ke kota harus sewa kendaraan. Kami harus patungan dari setiap nelayan. Saya harap hal ini bisa diperhatikan Pemda Mimika, sehingga ada kendaraan yang bisa membawa para nelayan untuk menjual ikan di daerah perkotaan,” ucapnya.

Paulina terlihat menjual ikan kapas dan tambelo di atas para-para.

Aktivitas menjual ikan di Pelabuhan Paumako merupakan hal yang sehari-hari dilakukan oleh Paulina.

Dia rela berjualan setiap sore hingga malam hari lantaran membiayai kuliah anaknya yang saat ini sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi.

“Saya berjualan ikan di sini untuk membiayai pendidikan anak saya yang sedang kuliah di Jayapura. Ini merupakan anak saya yang bungsu,” ungkapnya kepada Kompas.com.

Sehari-hari, Paulina bersama suaminya Paulus Moperyau mencari ikan di laut.

Suami istri ini selalu membagi tugas. Paulina biasanya mencari tambelo di pohon bakau yang sudah lapuk, sedangkan suaminya Paulus yang mencari ikan di laut.

“Bapak cari ikan di laut. Kalau saya cari tambelo di pohon bakau,” ucapnya.

Paulina dan suaminya rela datang dan tinggal di Kampung Poumako dari Kokonau lantaran ingin menyambung hidup demi masa depan sang anak.

“Kami asli Kokonau, tapi kami ke Poumako untuk menjadi nelayan dan bisa menjual ikan. Hasil dari penjualan ikan dan tambelo ini kami kirim ke anak untuk kuliah di Jayapura,” katanya.

Selama ini Paulina lebih memilih menjual ikan sendiri daripada menjual dengan sistem kiloan kepada pihak pemborong. Baginya menjual sendiri lebih menguntungkan.

https://regional.kompas.com/read/2022/04/07/130000078/potret-nelayan-di-kampung-poumako-mimika-terpaksa-jual-ikan-harga-murah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke