Salin Artikel

Kekerasan Seksual dan Inses di Bengkulu Mengkhawatirkan, Ini Kata Sosiolog

BENGKULU, KOMPAS.com - Ketua Pengadilan Negeri (PN) Bengkulu, Jon Sarman Siragih beberapa waktu lalu mengaku prihatin dengan tingginya perkara asusila serta pencabulan yang ia temukan selama menjadi hakim di Bengkulu.

"Saya merasa prihatin tingginya kasus narkotika dan asusila di Bengkulu. Saya rasa ini harus menjadi perhatian bersama," kata Jon Sarman Saragih, Rabu (23/3/2022).

Beberapa tahun terakhir, media pun banyak memberitakan kasus kekerasan seksual dialami perempuan dan anak di Bengkulu. Banyak juga kasus suami membunuh istri, pemerkosaan anak, pencabulan anak, hingga inses.

Berkaitan dengan fenomena ini, sosiolog Universitas Bengkulu Titiek Kartika memandang kasus kekerasan berbasis ketidakadilan gender dan kekerasan seksual masih dipandang sebagai persoalan moralitas, yang berkaitan dengan kesusilaan, dan nilai-nilai sosial, seperti kehormatan, sebagai kejahatan terhadap keluarga dan masyarakat.

"Kami, para penggerak yang memperjuangkan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta seksual memasukkan tindakan kekerasan itu sebagai pelanggaran hak," kata Titiek kepada Kompas.com, Rabu (30/2/2022).

Dia menjelaskan, kekerasan adalah suatu bentuk pelanggaran terhadap integritas tubuh dan bukan hanya soal moralitas.

"Karena moral, maka pemaknaannya adalah rasa malu bagi keluarga dan korban. Keluarga dan korban bahkan mendapat penghakiman atas pengungkapan kejahatan seksual yang dialaminya," sambungnya.

Dampak dari cara pandang itu, kata Titiek, juga menyebabkan penegakkan hukum sering tidak memberikan jalan keluar bagi korban, terutama keadilan dan pemulihan.

"Ekspos publik, justru membuka pada deskripsi kejahatan nya, dan bukan tanggung jawab menjamin keadilan dan pemulihan korban," ungkapnya.

Ia menekankan konteks perkosaan adalah suatu konspirasi politik patriarki, di mana memposisikan tubuh perempuan sebagai obyek, milik dari predator.

Titiek mengutip sebuah jurnal, ini adalah cara penguasaan terhadap atas tubuh perempuan dalam budaya patriarki.

"Apalagi untuk kasus-kasus seperti inses, yang juga banyak terjadi di Bengkulu memberi sinyal amat darurat, karena lokasi kejahatannya di dalam keluarga dan berdampak luar biasa terhadap korban," ungkap dia.

Studi: perkawinan muda dan perceraian berkontribusi kasus kekerasan seksual

Studi tentang pelaku menunjukkan bahwa ada mitos dan rasionalisasi terhadap kekerasan seksual.

Misalnya pelaku mencari dalih bahwa korbanlah yang bertindak salah dan memancing, sehingga dia “sah” diperlakukan paksa.

Ternyata pelaku juga sering menggunakan argumentasi bahwa seksualitas korban sebagai pembenaran atas tindakan kekerasan seksual.

"Ada perihal lain yang perlu dicermati, ternyata pembiaran keluarga terhadap kekerasan seksual membentuk kultur yang berbahaya, dimana kekerasan seksual dianggap hal yang lumrah. Studi inses di Bengkulu memperlihatkan bahwa latar belakang perkawinan muda dan perceraian muda punya kontribusi terhadap munculnya kasus-kasus kekerasan seksual," katanya.

Akar persoalan menurutnya adalah budaya tentang penguasaan atas tubuh perempuan dan tidak mengakui tubuh perempuan sebagai tubuh yang integratif.

Ia mengusulkan pemerintah harus membuat kebijakan berupa edukasi tentang penghormatan hak asasi perempuan kepada masyarakat penting, dan program-program inovatif dan kampanye dengan keluaran mengubah dominasi maskulinitas dan eksploitasi perempuan sangatlah dibutuhkan.

Pada masyarakat yang lebih egaliter (setara), kasus kekerasan seksual cenderung lebih rendah.

https://regional.kompas.com/read/2022/03/30/134543478/kekerasan-seksual-dan-inses-di-bengkulu-mengkhawatirkan-ini-kata-sosiolog

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke