Salin Artikel

Hasil Panen Desa Terisolasi di Perbatasan RI-Malaysia untuk Setahun Hilang Tersapu Banjir

Kejadian yang terbaru, hasil panen untuk persiapan setahun ke depan bagi masyarakat sekitar, musnah disapu banjir.

Terisolasinya Wa’Yagung dari desa lain di perbatasan RI – Malaysia ini, menjadi kendala dalam penanganan dan penanggulangan bencana oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Nunukan.

Kepala Seksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Kabupaten Nunukan Mulyadi mengatakan, membersihkan longsoran yang menimbun lahan persawahan dan badan jalan secara manual dengan kerja bakti.

Sejumlah tanggul dari karung yang diisi tanah dipasang di lereng bukit. 

Karung-karung berisi tanah itu juga digunakan menahan longsoran ke sumber air bersih dan lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).

"BPBD juga melakukan perbaikan PLTA serta pemasangan pipa air bersih dari sumber mata air lain untuk memenuhi kebutuhan dasar warga Wa’Yagung," ujarnya saat dikonfirmasi, Selasa (15/3/2022).

BPBD Nunukan mencatat, kalkulasi kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh banjir dan longsor di Wa’Yagung mencapai Rp 13. 984.450.000.

Hitungan ini berasal dari sektor infrastruktur seperti kerusakan berat akses jalan, jaringan irigasi, saluran air dan sanitasi, juga subsector lain dengan asumsi kerugian sekitar Rp 13.178.100.000.

Lalu sektor ekonomi, berupa 13 lahan sawah dengan total luasan sekitar 8.300 meter kubik dari total luasan sawah 13,46 hektar yang rusak akibat tertimbun longsor bebatuan.


Selain itu, terdata hasil panen masyarakat hilang terbawa arus banjir dan longsor. Nilai kerusakan dan kerugian di sektor ini sekitar Rp 806.350.000.

"Kita hanya bisa melakukan penanganan secara manual karena tidak memungkinkan alat berat masuk melihat kondisi geografis. Kita prihatin juga karena kebutuhan masyarakat sangat bergantung pada sawah," katanya.

Desa Wa’Yagung merupakan sebuah pedesaan terpencil di tengah hutan Krayan, berjarak sekitar 16 kilometer dari pusat Kecamatan Krayan Timur.

Pelaksana tugas Camat Krayan Timur Permia menuturkan, akses jalan menuju Wa’Yagung masih berupa tanah lembek berlumpur, sehingga jalanan tersebut dikenal dengan jalan kerbau.

Untuk masuk ke pedesaan yang dihuni oleh 36 kepala keluarga tersebut, harus dengan berjalan kaki selama 8 jam.

"Kalau mau lebih cepat, bisa mengambil jalan pintas lewat hutan lebat, tapi tantangannya banyak sekali lintah sebesar jempol orang dewasa menempel di daun daun hutan. Meski lebih hemat dua jam perjalanan, badan akan dipenuhi lintah setelah sampai di pedesaan," tuturnya.

Permia menuturkan, sejak cuaca penghujan, air sungai meluap dan berakibat longsor yang menimbun sejumlah infrastruktur jalan, maupun persawahan yang merupakan sumber penghasilan warga setempat.

Selain itu, sumber air bersih dan PLTA di Wa’Yagung, terkena dampaknya. Sumber air menjadi sangat keruh, dan PLTA sempat mengalami kerusakan parah akibat musibah tersebut.

"Kita bergotong-royong melakukan perbaikan dan untuk PLTA saat ini sudah mulai normal. Meski dayanya tidak besar, namun bisa menerangi Wa’Yagung dengan jumlah jiwa yang sedikit. Kalau hujan, listrik bisa menyala siang malam, kalau kemarau, hanya malam saja menyalanya," katanya lagi.

Musibah banjir disusul longsoran bukit di Wa’Yagung belakangan, memang diakui menjadi pukulan berat bagi masyarakat yang masih mengalami keterisoliran ini.

Apalagi, hasil panen gabah yang disimpan dalam lumbung untuk persiapan setahun ke depan, hanyut diterjang banjir.


Kondisi tersebut diperparah dengan harga bahan kebutuhan yang sangat mahal di wilayah ini.

Harga harga Sembako dan kebutuhan lain, akan menjadi hampir dua kali lipat dari harga normal setelah sampai Wa’Yagung.

Permia mengatakan, persoalan harga terkait masalah jarak dan cara pengangkutan yang tidak biasa.

"Jadi barang barang Sembako dan lainnya didatangkan dari Long Bawan yang merupakan pusat kota Krayan. Dari sana, bisa dibawa menggunakan mobil menuju perbatasan Wa’Yagung, lalu harus diangkut menggunakan kerbau. Kita harus jalan kaki setidaknya delapan jam menuju Wa’Yagung, kadang malah harus bermalam di hutan," lanjutnya.

Salah satu contohnya adalah harga gula pasir yang dibanderol Rp 32.000 per kilogram, akan dijual dengan harga lebih dari Rp 50.000.

"Ada juga yang mengambil barang dagangan dengan dipikul jalan kaki. Itu yang membuat harganya dijual jauh lebih mahal. Biasanya harganya bertambah Rp 20.000 dari harga normal di Krayan," kata Permia.

Kendati hasil panen musnah diterjang banjir, masyarakat Wa’Yagung tidak merasa panik ataupun bingung.

Keseharian mereka yang sebagai petani dan pekebun, memiliki sejumlah tanaman pangan, seperti ubi, juga banyak jenis buah-buahan.

"Kalau masalah makan, di Wa’Yagung tidak bingung. Justru yang bingung itu menjual hasil kebun. Masyarakat banyak memanen buah durian, mata kucing (kelengkeng) dan jenis buah lain, tapi karena kendala akses, tidak bisa keluar dari Wa’Yagung," sesalnya.

https://regional.kompas.com/read/2022/03/15/192502978/hasil-panen-desa-terisolasi-di-perbatasan-ri-malaysia-untuk-setahun-hilang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke