Salin Artikel

Kisah Pengidap Thalasemia di Majalaya, Kesulitan Dapatkan Donor Sampai Didiskriminasi

Rasa syukur itu bukan tanpa alasan, pasalnya Cucu mengatakan, pengidap thalasemia seperti dirinya di Majalaya, Kabupaten Bandung, bukan hanya kesulitan mendapatkan darah beserta fasilitasnya, namun juga harus mengalami diskriminasi.

Cucu bercerita, saat itu usianya baru genap menginjak 10 tahun. Dokter di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) memvonis dirinya mengidap thalasemia, saat itu pula perjalanan berat harus ia mulai.

"Kalau dulu kan gak tau ini thalasemia, dokter bilangnya ini anemia. Karena dulu kan di RS Majalaya belum mempuni lah penanganan nya, dari sana di arahkan ke RSUD Hasan Sadikin, cuma karena di sana biaya mahal dan kendaraan juga akhirnya memutuskan di RS Majalaya saja, berapapun biayanya orang tua siap karena kan deket," kata Cucu ditemui di lokasi donor darah di Majalaya, Sabtu (26/2/2022).

Tidak sampai disitu, Cucu yang membutuhkan transfusi golongan darah A ini harus merasakan tekanan sosial. Tidak hanya dari tetangga atau masyarakat umum, bahkan lingkaran terkecilnya pun, keluarga, menempatkan Cucu di posisi marjinal.

Padahal, kata Cucu, thalasemia itu tidak menularkan lewat udara melainkan melalui genetika.

"Ada banyak, bahkan saudara sendiri. Sampai bilang kalau minum jangan satu mulut, memang penyakit ini menular tapi bukan lewat udara atau apa, thalasemia kan menularnya dari gen," katanya.

Sebetulnya, kebutuhan darah bagi Cucu bisa saja terpenuhi, andai saja lingkaran keluarganya yang memungkinkan memiliki golongan darah yang sama mau menjadi donor aktif.

Namun sayang, harapan itu harus gugur terhalang oleh telinga yang tiba-tiba tertutup ketika mendengar Cucu divonis thalasemia.

Ditambah sejak dulu sampai hari ini, di Majalaya Kabupaten Bandung, belum di bangun Unit Transfusi Darah (UTD). Padahal, UTD adalah simpul dari harapan para pengidap thalasemia.

"Saya butuh golongan darah A, kasarnya kalau mau gampang kan ada keluarga yang paling tidak golongan darahnya sama, tapi tetap saja semua tutup kuping," ucap Cucu.

"Saya sekarang yang donor suami, ayah, sama suami kaka. Ya, lingkaran paling kecil saya juga banyak yang tutup kuping, ada yang gak mau tau," tambahnya.

Masa depan pengidap thalasemia pun masih dihantui ketidakpastian. Ketika akan merajut pernikahan, rasa khawatir menurunkan penyakit yang sama terus membayangi mereka.

Hal itu dialami oleh Cucu. Ia mengatakan sempat khawatir mewarisi hal yang sama. Keraguan dan rasa waswas membuatnya takut. Sampai-sampai sang ibu meminta mereka untuk menunda untuk memiliki momongan.

"Kalau pas nikah gak ada kendala apapun, orangtua ngikut aja yang penting katanya saya bahagia. Merasa takut iya, mamah yang bilang jangan dulu punya anak, tunda aja dulu nanti beberapa tahun lagi aja," jelasnya.

Meski pil pahit harus ia telan karena harus kehilangan anak pertamanya di usia kandungan 10 minggu. Kesedihan itu ditebus Tuhan, atas Karunia-Nya, tak lama Cucu diberikan kepercayaan kembali untuk memiliki anak.

"Tapi gak tau Allah SWT berkehendak lain, akhirnya saya dikasih (positif hamil) tapi keguguran di kandungan usia 10 minggu. Sempat down, tapi tapi sekali lagi bukan kehendak saya. Saya hamil lagi yang kedua," tuturnya.

Ketika melahirkan anak kedua, satu hal yang terpikirkan oleh Cucu, yakni thalasemia. Ia langsung meminta dokter di RSHS untuk memeriksa sang anak.

Wajar saja Cucu ketakutan, sebab ia tak mau sang anak harus mengalami apa yang sudah ia rasakan sebagai pengidap thalasemia.

"Sempat khawatir menularkan thalasemia, makanya saya waktu ngelahirin yang ke dua kan di RSHS yang pertama ke pikir itu minta tolong ke dokter buat cek, dan alhamdulilah dan anak ini negatif thalasemia," jelas Cucu

"Kenapa saya takut, karena saya tahu bagaimana perjuangan seseorang dengan penyakit thalasemia. Anak saya sekarang dua tahun dua bulan," sambungnya.

Sudah jauh lebih baik

Saat ini keluarga pengidap thalasemia termasuk Cucu bisa merasa lebih baik dengan adanya Persaudaraan Donor Darah Majalaya (PDDM).

Setidaknya, meski belum ada UTD di wilayah Majalaya. Paling tidak stok darah untuk thalasemia bisa teratasi tiap bulannya.

"Sejak Covid-19, kita sudah bolak-balik ke Bandung, tiap 3 minggu sekali kita harus cari donor, cari relawan sendiri dan itu gak ada di keluarga atau tetangga juga harus mengeluarkan biaya," kata Cucu

"PDDM kan menggelar terus acara donasi darah di wilayah Majalaya, alhamdulilah stok darah buat kita bisa terbantu," ujarnya.

Selain itu, Cucu tak merasa sendiri lagi. Tiap kali PDDM menggelar acara keluarga, pengidap thalasemia yang notebene adalah anggota kerap berkumpul dan saling bertukar informasi juga saling menguatkan.

Pun dengan kondisi di RS Majalaya yang kian hari kian berkembang. Cucu menyebut, di sana sudah disediakan ruang untuk pengidap thalasemia dan sudah ada perawat khusus thalasemia.

"Sekarang gak merasa sendiri, karena banyak temen. Kalau dulu kan kita di satukan sama orang sakit yang lain, yang jantung atau yang lainnya. Sekarang kita di sini mah punya ruangan khusus, sudah ada perawatnya sendiri. Gak kaya dulu kita harus datang jam berapa pulang jam berapa, karena gak ada penanganan khusus, sekarang mah enggak gitu," pungkasnya.

https://regional.kompas.com/read/2022/02/27/063100078/kisah-pengidap-thalasemia-di-majalaya-kesulitan-dapatkan-donor-sampai

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke