Salin Artikel

Sejarah Istana Djoen Eng di Salatiga, Dibangun Tahun 1921 dengan Biaya 3 Juta Gulden Belanda

Kedatangan orang China di Salatiga seiring dengan pergerakan mereka di Surakarta pada tahun 1740-1741.

Orang Cina memiliki peran penting dalam kegiatan ekonomi. Sejak Belanda menguasai Tanah Air, orang Cina dijadikan perantata dalam hubungan dagang dengan pribumi.

Seperti orang-orang Belanda, orang China pun membangun rumah dan gedung permanen.

Rumah tersebut berarsitektur berderet panjang seperti rumah kopel dan berada di kawasan Chinese Wijk. Kebanyakan rumah mereka juga digunakan untuk tempat usaha.

Salah satu rumah yang dibangun adalah Istana Djoen Eng di Salatiga.

Dibangun tahun 1921

Dikutip dari nationalgeographic.grid.id, Guntur Priyanto menulis tentang istana tersebut di projek akhir yang berjudul Perkembangan Fungsi Bangunan Istana Djoen Eng di Salatiga Pada Tahun 1921-1968.

Kala itu Kwik bersaudara yang terdiri dari Kwik Hong Biauw, Kwik Ing Djie, Kwik Djoen Eng, Kwik Ing Sien, dan Kwik Ing Hi datang ke Jawa. Mereka adalah pengimpor teh dari Taiwan.

Setelah tiba di Jawa, mereka terpisah dan menjalankan usaha mereka masing-masing. Lokasi mereka terpisah di Yogyakarta, Solo, dan Surabaya.

Mereka kemudian megembangkan bisnisnya ke Salatiga dan Semarang.

Salah satu Kwik bersaudara adalah Kwik Djoen Eng. Ia memiliki perusahaan eksport-impor hasil bumi dengan nama NV. Kwik Hoo Tong Handel Maatshappij yang didirikan pada tahun 1877 di Semarang.

Sekitar tahun 1920, perusahaannya telah berkembang menjadi salah satu firma Hindia Belanda yang terbesar, dan memiliki cabang di seluruh Indonesia maupun luar negeri seperti Cina, Taiwan, Eropa, dan Amerika.

Kwik Djoen Eng dapat dikatakan sebagai orang terkaya kedua setelah Oe Tiong Ham yang merupakan saudagar gula dari Semarang.

Di Salatiga, Kwik Djoen Eng membangun tempat tinggalnya di Kawasan Europeeshe Wijk.

Kompleksnya dibangun pada tahun 1921 dan selesai empat tahun kemudian. Bangunan tersebut diresmikan dengan menggelar pesta yang sangat meriah.

Menurut cerita, biaya total pembangunan kompleks itu sekitar 3 juta gulden Belanda.

Bahkan Kwik Djoen Eng juga sering melakukan perubahan dan penambahan pada desain awalnya supaya menjadi benar-benar sempurna.

Dalam wawancara yang dilakukan Guntur dengan Lanny pengurus Institut Roncalli menjelaskan bahwa, tiang pergola di taman dan semacam gardu yang berada di Istana Kwik Djoen Eng berwarna merah menyala dan kuning, sangat bercorak khas Cina.

Di istana tersebut juga terdapat kebun binatang mini, kolam, lapangan tenis, dan kebun kopi.

Pada induk bangunan terdapat 5 kubah yang menyerupai pagoda. Bagian kubah tengah tersebut melambangkan Kwik Djoen Eng selaku pemilik istana,

Sementara 4 kubah lain yang mengelilinginya adalah 4 putra kesayangannya, dan ornamen kubah melambangkan sebagai rahim ibu karena Djoen Eng sangat menghargai sosok seorang Ibu

Istana Djoen Eng memiliki interior yang sangat cantik dengan dinding-dinding yang dilapisi marmer, lantai yang beragam motif kaya akan warna, dan ornamen kaca yang menyerupai lukisan.

Pada buku yang ditulis oleh Eddy Supangkat, taman di Istana Djong Eng ini di sekeliling bangunan ditata hingga menjadi tempat rekreasi dengan corak khas Cina.

Karena krisis ekonomi yang melanda dunia pada tahun 1930-an, perusahaan Kwik Djoen Eng bangkrut dan terlilit hutang. Untuk melunasi hutangnya, seluruh kompleksnya yang berada di Salatiga disita oleh Javaache Bank.

Ada juga cerita yang menyebut Kwik Djoen Eng meninggal pada saat perjalanannya pulang ke kampung halamannya di Taiwan.

Pada 1940, gereja Katolik dari kongregasi Fratres Immaculate Conceptions atau FIC didesak oleh Uskup Semarang untuk membeli kompleks Djoen Eng yang ditawarkan oleh Javache Bank dengan harga rendah dan membiarkan bagunan tersebut kosong sementara.

Saat tentara Jepang masuk ke Salatiga, bangunan kosong tersebut dipinjam oleh Gubernemen Hindia Belanda untuk digunakan menjadi kamp interniran bangsa Belanda.

Tak hanya itu Gedung Djoen Eng sempat dijadikan markas polisi dan tentara Indonesia pada tahun 1945. Kemudian tahun 1946-1949 dijadikan tangsi tentara Belanda.

Pada bulan Mei tahun 1949, Bruder-bruder FIC mulai menempatinya.

Bagian belakang gedung digunakan untuk Sekolah Menengah Pertama atau SMP hingga tahun 1974 dan gedung utama digunakan untuk Bruderan dan asrama anak-anak SMP sampai tahun 1966.

Namun renovasi besar-besaran sempat ditunda lama karena keraguan para FIC tentang tujuan definitif rumah istimewa tersebut.

Beberapa ruangan hingga saat ini dibiarkan seperti aslinya yakni ruang makan, ruang rekreasi, interior gedung, tiang pergola di taman, gerdu yang masih bercorak Tionghoa berwarna merah menyala.

Kondisinya masih terawat dengan baik seperti pertama kalinya.

Institut Roncalli didirikan pada tahun 1968 dan mendapatkan tanggapan positif dari kalangan religius.

Tahun 1969-1970, gedung utama direnovasi. Menara pada atap dan kubahnya dibongkar, lantai dua dirubah radikal dan dijadikan kamar untuk peserta kursus.

Pemotongan kubah dilakukan karena pada saat itu terdapat anti Cina, sehingga menghilangkan unsur arsitektur Cina.

Kompleks tersebut menjadi lebih praktis dan tidak begitu mewah, namun bentuk dasar bangunan masuh seperti aslinya. Sejak saat itulah, kompleks ini mulai dikenal sebagai Institut Roncali.

Nama Roncalli sendiri berasal dari nama keluarga alm Paus Yohanes XXIII (1958-1965), dengan nama asli Angelo Guiseppe Roncali.

Paus Yohanes XXIII merupakan tohoh besar dalam Gerakan Vatikan II yang mengajak untuk mengadakan pembaharuan dalam kehidupan religious.

Kemudian dengan Institut Roncalli digunakan untuk melayani kebutuhan spiritual para rohaniawan dari seluruh tanah air.

Dengan gagasan dasar Institut Roncalli oleh Br. Joachim v.d Linden dan Br.Carlo Hillenaar FIC tahun 1968, Institut Roncalli dapat mebawa banyak manfaat bagi Gereja di Indonesia.

Seperti memberikan kesempatan kepada para religious Indonesia untuk menerima pembinaan lanjutan dalam jangka waktu yang panjang dalam suasana hening dan refleksif sesuai dengan tujuan Institut Roncalli yakni membantu para religious untuk menimba hidup kerohaniannya.

https://regional.kompas.com/read/2022/02/26/131000178/sejarah-istana-djoen-eng-di-salatiga-dibangun-tahun-1921-dengan-biaya-3

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke