Salin Artikel

UU Pemindahan Ibu Kota Kalsel Dinilai Rawan Digugat ke MK

Rancangan Undang-undang (RUU) pemindahan Ibu Kota Kalsel itu telah disahkan DPR RI beberapa waktu lalu.

Namun beberapa kalangan di Kalsel menilai regulasi itu sangat rentan digugat ke Mahkamah Konstitusi (Kalsel).

Salah satu yang menilai hal tersebut datang dari M Pazri selaku Presdir Borneo Law Firm dan juga sebagai pemerhati kebijakan publik.

Pazri sepakat keberadaan UU Nomor 25 Tahun 1956 jo UU Nomor 21 Tahun 1958 tentang Penetapan UU Darurat Nomor 10 Tahun 1957 menjadi dasar pembentukan Daerah Swantara (Provinsi) Tingkat I Kalsel harus direvisi.

Sebelumnya, tiga provinsi itu menjadi satu di bawah satu Provinsi Kalimantan hingga pada 23 Mei 1957, Provinsi Kalsel pun dipecah menjadi Provinsi Kalsel dan Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) dengan dasar terbitnya UU Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang  Pembentukan Daerah Provinsi Kalteng.

"Sebab secara yuridis, dasar pembentukan Provinsi Kalsel dinilai telah kedaluwarsa (out of date) karena dibentuk menggunakan UUDS Tahun 1950 sehingga muatannya dianggap tak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan terkini," ujar Pazri dalam keterangan resminya yang diterima, Senin (21/2/2022).

Namun, setelah mencermati dan membaca UU Provinsi Kalsel yang baru disahkan pada 15 Februari 2022, Pazri menilai banyak menuai polimek.

Seperti Pasal 4 Ibu Kota Provinsi Kalsel berkedudukan di Kota Banjarbaru.

Menurutnya, dalam UU Kalsel yang baru disahkan terkesan tidak mengakomodasi landasan filosofis, landasan sosiologis, landasan yuridis, kebutuhan Kalsel sangat tidak lengkap serta ke depan akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

"UU yang baru disahkan hanya delapan Pasal dan terdiri dari Bab I Ketentuan Umum, Bab II Cakupan wilayah,ibu kota dan karakteristik dan Bab III ketentuan Penutup," jelasnya.


Pazri juga mempertanyakan posisi tawar Pemprov Kalsel dan DPRD Kalsel pada saat proses pembetukan UU tersebut seperti apa kajian teoritik dan praktik empirik dan masukannya.

"Apakah sudah diakomodasi juga masukan masing-masing kabupaten/kota dan sejauh mana partisipasi masyarakat? UU Kalsel sangat prinsip dan sangat serius," ucapnya.

Selain itu, Pazri juga merasa khawatir pembentuk undang-undang hanya berpikir bahwa membentuk undang-undang merupakan kewenangannya saja tanpa memikirkan keinginan masyarakat sebenarnya.

Padahal seharusnya rakyat juga memiliki hak untuk mengetahui proses legislasi yang berlangsung di DPR RI.

"Sehingga kesimpulan saya UU Prov Kalsel yang baru sahkan harus dikaji lebih mendalam, perlu di uji publik, karena saya menganggap rentan UU Kalsel tersebut digugat ke MK, di uji dengan ketentuan Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22D ayat (2) UUD 1945," tegasnya.

Dasar untuk menggugat UU Provinsi Kalsel bisa melalui judicial review di MK.

Dasarnya adalah Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. MK berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Dan Pasal 9  ayat 1 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berbunyi dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka, pengujiannya dilakukan oleh MK.

"Seharusnya perlu diingat dalam membuat Perundang Undangan yang baik berdasarkan Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, harus memperhatikan dan memuat asas, kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan," pungkasnya.

Berikut catatan kritis Pazri dalam setiap Bab dan Pasal UU Provinsi Kalsel :

-Bab Ketentuan Umum tidak menguraikan secara lengkap istilah-istilah.

-Asas dan tujuan dalam Undang-Undang tidak ada.

-Posisi, batas, pembangunan wilayah dan tujuan provinsi tidak jelas secara detail menyebutkan lintang, derajat serta batas-batas ketika sengketa batas antar provinsi akan jadi masalah baru.

-Karaketristik Provinsi Kalsel masih belum jelas karena tidak melihat kearifan lokal, nilai budaya sebenarnya.

-Kewenangan dan Pembagian Urusan Pemerintah Provnisi dalam UU tidak ada.

-Perencanaan pembanguan tidak ada, padahal pindah ibukota dari Banjarmasin ke Banjarbaru.

-Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP) tidak dimuat.

-Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKP) tidak ada.

-Pola dan pembangunan Provinsi Kalsel tidak ada.

-Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kabupaten/ Kota tidak ada.

-Pedoman penyusunan dokumen pembangunan tidak ada.

-Pedoman Pendekatan Pembangunan tidak ada.

-Bidang Prioritas tidak ada.

-Pembangunan Perekonomian dan Industri tidak ada.

-Sistem Pemerintah berbasis elektronik tidak ada padahal seharusnya sejalan dan berkesesuaian dengan rencana Pemerintah Pusat.

-Pendanaan,pendapatan dan alokasi dana perimbangan tidak ada.

-Bab Partisipasi Masyarakat tidak ada.

https://regional.kompas.com/read/2022/02/21/154700278/uu-pemindahan-ibu-kota-kalsel-dinilai-rawan-digugat-ke-mk

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke