Salin Artikel

Harga Rumput Laut di Nunukan Tembus Rp 24.000 Per Kg, Tertinggi Sejak 2008

Harga ini merupakan yang tertinggi sejak budidaya rumput laut mulai dilakukan di Nunukan pada 2008.

"Ini rekor sejak awal ada rumput laut di Nunukan sekitar 2008. Harga tertinggi kita terjadi pada sekitar 2018, sekitar Rp 22.500 per kilogram," ujar Ketua Asosiasi Petani Rumput Laut Mamolok Nunukan Kamaruddin saat dikonfirmasi, Selasa (28/12/2021).

Kenaikan harga yang terjadi sejak bulan Juli 2021, dipicu kurangnya produksi rumput laut di wilayah lain. Sehingga, permintaan rumput laut dari Nunukan meningkat.

Kabupaten Nunukan, dikatakan Kamaruddin, wilayah yang masuk zona non zoom atau tidak ada musim. Sehingga produksi rumput laut bisa intens dan bisa menghasilkan sampai 3.000 ton per bulan.

"Yang jadi catatan adalah kadar kekeringan kita yang masih tinggi, rata-rata kekeringan masih sekitar 40 persen, masih jauh dari target rata rata 37 persen," jelasnya.

Khusus di sentra rumput laut Mamolok Nunukan Selatan, produksi mencapai 500 ton sekali panen.

Hasil tersebut tentu akan membuat petani bisa mendapat uang sekitar Rp 1,5 miliar dengan harga rata rata Rp 20.000 per kilogram dalam sekali panen.

"Harga rumput laut sulit diprediksi. Kenaikan ini terjadi jelang Nataru dan biasanya tidak akan bertahan lama. Semua melihat harga dan kondisi ekonomi di negara pembeli seperti Korea, China dan negara Asia lainnya," kata Kamaruddin.

Perbaikan mutu menjadi PR Pemda Nunukan

Terpisah, Kepala Dinas Perdagangan Nunukan Dian Kusumanto mengaku cukup bersyukur dengan kenaikan harga rumput laut.

Para petani rumput laut Nunukan bisa dibilang meraup untung di tengah terpuruknya perekonomian akibat pandemi.

"Kenaikan terjadi dengan kemungkinan para buyer mencari barang untuk memenuhi kuota permintaan akhir tahun. Jadi ini situasional, tapi tak menutup kemungkinan tahun baru masih terjadi kekurangan stok dari daerah lain dan Nunukan menjadi daerah tujuan. Semoga akan bertahan lama harga tinggi ini," harapnya.

Dian mewanti-wanti agar para pedagang bisa mengontrol kualitas rumput laut, tidak semata hanya mementingkan kuantitas demi memenuhi kuota permintaan pasar.

Ketika hanya kuantitas yang diperhatikan, sementara kualitas masih belum bisa memenuhi standar nasional, harga tinggi tidak akan bertahan lama.

"Kalau petani diminta untuk quality control tentu susah, kita berharap pedagang bisa melakukan itu. mereka sortir produk yang mereka beli dan dipisahkan sesuai kadar kekeringannya. Itu bisa menjaga harga dan membuat persaingan buyer semakin sehat," kata Dian.


Dian juga tidak membantah, Kabupaten Nunukan termasuk wilayah penghasil rumput laut yang stabil.

Dalam sebulan produksi tidak pernah putus, dan selalu mencapai 2.500 sampai 3.000 ton.

Jumlah tersebut dikirim ke sejumlah daerah, seperti Surabaya di Jawa Timur, Makassar dan Pare Pare di Sulawesi Selatan.

"Kita juga melakukan ekspor ke Korea Selatan, tapi jumlahnya masih sangat sedikit. Hanya sekitar tiga kontainer seberat 60 ton. Tapi asumsi uang yang dihasilkan dari sentra rumput laut Nunukan berkisar antara Rp 50 miliar per bulan," kata Dian.

Dian yakin, para petani rumput laut Nunukan sebenarnya bisa mendongkrak harga dan menjadikannya stabil ketika mereka tidak terburu-buru menjual hasil panen.

Jika saja para petani mau bersabar dan menentukan kadar kekeringan mencapai 37 persen, harga rumput laut Nunukan bisa melambung.

"Catatan Pemerintah Daerah hanya pada kualitas. Tapi kendala itu tentu tidak mudah mengingat mereka butuh uang cepat dan persaingan antar buyer mengakibatkan standar mutu susah tercapai bagi petani. Mereka pilih menjual cepat dan menanam cepat, supaya putaran uang juga lebih cepat," kata Dian.

https://regional.kompas.com/read/2021/12/28/163222578/harga-rumput-laut-di-nunukan-tembus-rp-24000-per-kg-tertinggi-sejak-2008

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke