Salin Artikel

Gema Kidung Natal Berbahasa Madura di Gereja Sumberpakem Jember

Setiap Natal, gema kidung berbahasa Madura menggema di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) cabang Slateng (Ledokombo-Jember) Desa Sumberpakem, Kecamatan Sumberjame, Kabupaten Jember, Jawa Timur.

Sumberpakem sendiri adalah salah satu wilayah di Kabupaten Jember yang banyak dihuni oleh masyarakat keturunan Madura.

Penyebaran Kristen di Tanah Jawa

Dikutip dari Indonesia.go.id, agama Kristen berkembang di di Tanah Jawa, walaupun ada perbedaan pandangan masalah budaya yang masuk di agama tersebut.

Kala itu, di masa penjajahan Belanda, ada dua tokoh agama Kristen yang berpengaruh di wilayah Jawa Timur yakni misionaris Belanda, Johanes Emde dan tokoh Kristen berdarah Rusia-pribumi, CL Collen.

Jika menjadi Kristen, Emde lebih merekomemdasikan meninggalkan sarung dan kebaya serta memakai atribut barat.

Hal berbeda yang dilakukan Collen. Ia mendukung kekristenan berakulturasi dengan budaya setempat seperti wayang kulit, kebaya dan blangkon. Serta mendarakan doa dan Pengakuan Imam Rasuli dengan bahasa Jawa.

Ternyata penyiaran Kristen yang dilakukan Collen lebih diterima oleh Nederlandsche Zendiling Genootschap (NZP), yang bekerja menyebarkan agama Kristen di Jawa.

Sekitar tahun 1850-an, umat Kristen di Tanah Jawa berkembang pesat.

Handoyomarno, dalam buku Benih Yang Tumbuh (1976), menulis bahwa Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) yang berpusat di Mojowarno (Jombang) punya sekitar 3.000 anggota. Jumlah yang sangat besar untuk masa itu.

Gereja di Jombang itu adalah contoh ada budaya lokal kental yang mewarnai iman dan tata ibadah gereja. Misalnya ada persembahan hasil bumi (unduh-unduh) dan memakai bahasa lokal sebagai bahasa pengantar ibadah.

Misi tersebut fokus pada komunitas Madura di Hindia Belanda.

Pekabaran Injil yang dilakukan oleh Pendeta Dr J.P. Esser di Madura gagal dan dia bergeser ke Bondowoso dan Sumberpakem (35 km dari Jember). Wilayah tersebut masuk dalam wilayah Tapal Kuda atau dulu masuk karesidenan Besuki.

Wilayah tersebut adalah perkebunan yang subur dan pemerintah kolonial Belanda menerapkan tanam paksa di kawasan tersebut.

Karena minimnya penggarap kebun, mereka mendatangkan pekerja dari Madura dan Blitar.

Sementara pekerja dari Madura banyak menetap di Besuki sebelah utara (Probolinggo, Situbondo, Bondowoso dan sebagian Jember).

Sedangkan pekerja suku Jawa banyak ditempatkan di Besuki wilayah selatan (Lumajang, sebagian Jember dan sebagian Banyuwangi).

Pekerjaan yang dilakukan Pendeta Ester sangat tidak mudah. Namun pada tahun 1882, baptis pertama berhasil dilakukan Pendeta Ester di Sumberpakem dan di Bondowoso dilakukan pada tahun 1886.

Pendeta Ester pun memulai pekerjaan menerjemahkan kitas suci umat Kristiani (Alkitab) ke bahasa Madura.

Saat penjajahan Jepang, kegiatan tersebut berhenti. Het Java Comiter pun menyerahkan pekerjaan mereka ke GKJW Mojowarno, Jombang.

Dua jemaat di Sumberjambe dan Bondowoso yang menggunakan bahasa Madura juga menjadi bagian dari mereka.

Meski gereja Jawa, bahasa Madura dipertahankan sebagai bahasa pengantar. Namun di Bondowoso akhirnya menghapus bahasa Madura dari tata ibadah mereka.

Sebaliknya GKJW pepathan (cabang) Slateng yang berlokasi di Ledokombo dan GKJW Sumberjambe masih mempertahankan bahasa Madura sebagai bahasa pengantar ibadah.

Dengan berjalannya waktu, penerjemahan Alkitab ke bahasa Madura yang dimulai oleh Pendeta Esser, baru benar-benar rampun pada tajun 1994.

Beberapa pendeta yang bertugas di sana berhasil mewarnai budaya Madura dengan ajaran Kristiani antara lain budaya konjengan (selamatan) bila ada warga yang meninggal dunia.

Dalam konjengan, biasanya ada budaya melepaskan ayam dan selamatan selama tujuh hari beturut-turut.

Namun, untuk warga kristiani, tidak lagi ada upacara pelepasan alam dan selamatan hanya dilakukan selama tiga kali yaitu hari pertama, hari ketiga dan hari ketujuh.

Penentuan hari itupun terkait kisah tentang Yesus Kristus.

Hari pertama menandakan kelahiran Yesus Kristus, sementara hari ketiga adalah hari dimana Yesus diangkat ke surga setelah meninggal dunia.

Hari ketujuh adalah simbol Tuhan menciptakan alam semesta selama tujuh hari.

Saat puncak yaitu hari ketujuh; menandakan kehidupan baru, sehingga tidak perlu kesedihan akibat kematian itu, karena ada kehidupan baru pada hari ketujuh.

Di Sumberpakem, pohon natal tak harus pohon cemara, tapi sering diganti dengan pohon kelapa atau pisang yang banyak di kebun mereka.

Bagi mereka kemeriahan Natal dan kuatnya iman kristen, bisa diwakili dengan pohon apapun, seperti kelapa dan pisang.

Masyarakat di sana sangat toleran dengan tidak adanya konflik antarumat beragama. Persahabatan antar pendeta dan kyai di wilayah tersebut juga sangat erat.

Ampon kaula ngartetresna panjenengan, paneka sengatore ajunan sampiyan (aku telah merasakan cinta dari-Mu, semua yang terjadi atas kehendak-Mu). Selamat hari Natal. Pada Salamet Sabhala Bengko Areja.

https://regional.kompas.com/read/2021/12/25/071500678/gema-kidung-natal-berbahasa-madura-di-gereja-sumberpakem-jember

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke