Salin Artikel

Ramai Klaim Ranjang Covid-19 (1)

Ketika anaknya menyodorkan kaus hitam dan abu-abu untuk dipakaikan, dia memilih yang berwarna abu-abu.

Kaus abu-abu itu pemberian anaknya beberapa waktu lalu. “Yang hitam untuk besok,” ujar lelaki tersebut, Sabtu (4/7/2021).

Namun, Tuhan punya kehendak lain. S meninggal pagi-pagi dengan mengenakan kaus abu-abu.

“Bapak meninggal tanggal 5 Juli 2021, pukul 09.00 Wita,” kata anaknya, YR, yang tinggal di Karang Sukun, Kota Mataram, Selasa (21/9/2021).

S, dalam catatan Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Barat (NTB), adalah pasien Covid-19 nomor 1381 dan pasien ke-68 yang meninggal di Nusa Tenggara Barat.

Selesai menguburkan bapaknya, YR mengaku mulai plong. Lega.

Ia mengatakan sudah bisa menerima kenyataan bapaknya meninggal karena Covid-19, sehingga pemakamannya dilakukan dengan protokol ketat.

Demi memastikan bapaknya dikuburkan dengan sebaik-baiknya, ia mengeluarkan Rp 700.000 untuk petugas pemakaman.

Ongkos di kuburan lainnya adalah uang terima kasih untuk orang-orang di sekitar pemakaman yang telah bersedia ikut melepas bapaknya.

Karena dalam keyakinannya,untuk melepas jenazah di pemakaman, paling tidak harus ada 30 orang.

“Pemakaman bapak gagah. Pas di hatiku. Itu penghormatanku,” ujarnya.

Ketika mengurus surat kematian ayahnya, dia bercerita, sempat syok.

“Hasil swab siapa yang disulap untuk dijadikan hasil tes swab bapak saya, sehingga bapak jadi positif Covid-19,” ujarnya.

Pertanyaan ini terus mengganggunya hingga ramai diperbincangkan oleh warga.

Ketika itu, banyak warga di NTB yang curiga anggota keluarganya di-covid-kan.

Meski hingga kini Ombudsman wilayah NTB, yang bertugas menerima pengaduan warga soal pelayanan publik, belum menerima satu pun pengaduan tentang soal ini.

Namun, kasus ambil paksa jenazah Covid-19 dari RS karena kecurigaan, marak di seantero NTB.

Warga curiga, RS meng-covid-kan pasien demi mendapatkan klaim atas biaya penanganan Covid-19.

Mengacu data BPJS tahun 2021 hasil wawancara dengan pihak BPJS Mataram, anggaran pemerintah untuk penanganan wabah ini tak sedikit.

Tahun ini saja, negara telah mengeluarkan biaya klaim Rp 60,7 triliun lebih.

Di NTB sendiri jumlahnya mencapai Rp 660 miliar lebih hingga Juli 2021 ini.

Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) NTB, dr. Lalu Herman Mahapurtra membantah tudingan itu.

“Saya memastikan di NTB itu tidak ada pasien yang dicovidkan. (Kalau ada) saya sebagai ketua PERSI akan tegas dan ada sanksi atas tindakan itu. Kalau di daerah lain saya tidak tahu,” ujarnya, Senin (30/11/2021).

Kepala Dinas Kesehatan NTB, dr. Lalu Hamzi Fikri menyampaikan hal serupa.

Kepada Kompas.com, pada Selasa (23/11/2021), ia mengulanginya lagi.

“Bukan tenaga kesehatannya yang menyatakan positif. Yang menyatakan pasien positif atau negatif adalah hasil laboraturium atau PCR,” ujarnya.

Menurut Fikri, harus ada pembuktian jika masyarakat merasa curiga.

Kompas.com menemui sejumlah keluarga pasien Covid-19, melacak riwayat sakit Covid-nya, termasuk perawatan di rumah sakit.

Kompas.com juga melakukan konfirmasi ke pusat kesehatan dan sejumlah pejabat.

Cerita pasien nomor 1381

S (81), yang penggalan ceritanya sudah disampaikan di atas, adalah pasien Covid-19 ke-1381 di NTB dan pasien ke-68 yang meninggal.

Menurut Dinas Kesehatan NTB dan Satgas Covid-19, S meninggal dengan status positif covid-19 dan memiliki penyakit komorbid.

Tapi, ketika keluarga mengurus surat keterangan penyebab kematian ke RS Harapan Keluarga (HK), tempat dia dirawat terakhir kali, muncul kehebohan.

“Waktu itu kami mengurus surat karena Dinas Sosial Kota Mataram meminta kami memenuhi persyaratan melengkapi seluruh dokumen kematian termasuk hasil laboraturium swab, untuk mendapatkan bantuan kematian pasien covid sebesar Rp 15 juta rupiah,” ujarnya.

Petugas rumah sakit menunjukkan rekam medik atas nama S, justru non-reaktif.

“Sayangnya suami saya yang melihat langsung data itu tidak mendokumentasikannya menggunakan handphone-nya. Petugas kala itu juga tidak bisa mengeluarkan data sebelum ada izin dari pimpinan rumah sakit,” ujar YR, anak sulung di keluarga itu.

Keesokan harinya, YR datang sendiri ke rumah sakit.

“Tapi saat saya meminta dokumen keterangan rekam medik, semua data telah berubah. Petugas yang melayani suami saya sehari sebelumnya telah dipindahkan entah ke mana,” ungkapnya.

Ia pun mengingat-ingat peristiwa sebelumnya. Di RSUD Kota Mataram, tempat bapaknya dibawa setelah meninggal di RS HK, petugas hanya mengatakan bapaknya positif Covid-19.

Petugas tak memberinya surat keterangan soal ini. Ketika ia memintanya, pihak rumah sakit mengatakan belum bisa mengeluarkan karena hari Minggu, sementara jenazah harus segera dimakamkan.

Waktu itu, hampir semua hasil swab yang keluar membutuhkan waktu sepekan hingga dua pekan lamanya. Namun untuk kasus ayahnya, hasil tes swab positif Covid-19 keluar dalam waktu satu hari.

Rasa penasarannya mendorong ia mencari info ke RSUD Mataram.

“Kepala humasnya menelpon saya dan menyatakan bapak saya positif corona,” ujarnya.

“Saya langsung mengatakan padanya hasil swab siapa yang di-delete dan digantikan dengan bapak saya. Bapak saya itu meninggal tanggal 5 Juli 2021, pukul 09.00 Wita. Pukul 10.00 Wita baru di-swab, dan pukul 14.00 Wita hasilnya sudah keluar,” lanjut dia.

Dalam penelusuran Kompas.com, data RS HK juga berbeda dengan data Dinas Kesehatan NTB untuk pasien nomor 1381 ini.

Dalam data yang dikeluarkan laboratorium, dengan nomor lab 200700240, hasil swab dikeluarkan tanggal 5 Juli 2020, waktu pengerjaan pukul 12:08:50 dan selesai pukul 17:20:57.

Sementara data hasil laboraturium yang dikeluarkan RSUD Kota Mataram, tanggal 5 Juli 2020, proses pengerjaan swab pukul 13:55:40 dan selesai pukul 14:44:42, kurang dari 1 jam.

Namun, dalam Data Dinas Kesehatan provinsi NTB tertulis, pasien nomor 1381 masuk ke Rumah Sakit Harapan Kelurga (RS HK) pada Jum’at tanggal 3 Juli 2021 dan langsung menjalani swab I.

Kemudian kembali menjalani swab II (post mortem), Minggu 5 Juli 2020 dan hasilnya keluar bersamaan pada hari Senin (6 Juli 2020) dengan hasil positif.

Sedangkan mengenai bantuan sosial yang menjadi sebab dia mengurus surat kematian sang ayah, tidak ada tindak lanjutnya.

“Tidak ada kabarnya hingga saat ini,” ujarnya singkat.

Ketika didatangi pada Kamis (4/11/2021), Humas Rumah Sakit HK, dr. Ni Putu Indra Dewi menyanggupi untuk menjelaskan pada Jumat (5/11/2021), sekitar pukul 10.00.

Ia juga meminta supaya jurnalis mengirim pertanyaan secara tertulis agar pihaknya bisa menyiapkan data yang dibutuhkan.

Namun pertemuan dijadwalkan ulang, dengan janji RS HK akan menjawab semua pertanyaan yang telah diajukan secara tertulis, termasuk soal kecurigaan keluarga pasien yang merasa ada kejanggalan pada data data rumah sakit.

Lalu, pada Selasa (16/11/2021), Dewi menyampaikan bahwa pihak pelayanan medis belum memberi jawaban atas pertanyaan yang diajukan.

Pihak rumah sakit HK hanya memberikan keterangan soal rata-rata jumlah pasien yang dirawat selama pandemi, yakni 20-25 orang sehari.

“Tak ada kendala dalam proses klaim pasien Covid-19. Klaim berjalan dan terproses dengan baik. Kalau nilai klaim no comment, ini rahasia rumah sakit,” jawabnya melalui pesan WhatsApp, Selasa (23/11/2021).

Adapun pertanyaan keluarga pasien soal kejanggalkan hasil PCR, pihak rumah sakit juga tidak memberi jawaban.

“Itu adalah rahasia pasien dan rumah sakit akan menjaga sebagi hak pasien. Hal demikian tidak dapat kami release kepada publik,“ ungkapnya.

Mereka adalah warga Kecamatan Gunung Sari, Lombok Barat, yang tidak terima kematian tetangganya, MS (50), disebutkan akibat Covid-19.

MS adalah pasien Covid-19 nomor 1422 di NTB.

M (30), anak pertama MS, mengungkapkan, ibunya masuk RSUD Mataram karena tersenggol dumptruck, lalu keluar dari RS sebagai korban meninggal akibat Covid-19 yang ke-75.

Bahkan dokumen hasil tes PCR yang menyatakan ibunya positif Covid-19 belum pernah diterimanya.

M bercerita, ibunya kecelakaan ketika sedang mengemas barang di Pasar Gunung Sari, Lombok Barat.

Saat itu sebuah truk lewat, menyenggol keranjangnya, dan membuat MS tersungkur.

Dua hari setelah kecelakaan itu, MS mengeluhkan pinggangnya sakit hingga sulit bernapas.

Tak mau terjadi hal yang lebih buruk, keluarga membawa MS ke Laboraturium Catur Warga.

Dia di-rontgen dan di-USG, setelah itu dibawa ke Rumah Sakit Metro Medika Rembiga, Kota Mataram.

MS tidak diperkenankan langsung dirawat inap, karena harus menjani tes Covid-19 dulu.

Namun M menolak. "Karena ibu saya tidak menunjukkan gejala Covid-19 sama sekali, karena dia memang kecelakaan dan sesak karena sakit di pinggangnya, " kata M.

“Suhu tubuhnya juga 36°C,” lanjut dia.

Karena M tetap menolak, pihak RS meminta surat penolakan menjalani rapid tes dan swab.

Pihak RS juga memperbolehkan MS dibawa pulang, sembari diberikan obat penghilang rasa nyeri.

Lalu, kata M, pihak RS berubah pikiran dan menerima ibunya menjalani rawat inap.

Sejak Rabu hingga Kamis malam (2 Juli 2020) ibunya dirawat di Klinik Metro Medika.

Akan tetapi kondisi ibunya tak membaik. Tim medis di Metro Medika menyerah dan minta agar MS dirujuk ke RSUD Kota Mataram.

M dan keluarga sepakat merujuk MS ke RSUD Kota Mataram.

Di RSUD, MS mendapatkan perawatan di zona hijau. Di sana ia diberi infus dan satu kali obat tablet.

Setelah ada tempat di zona merah, MS dipindah. Di zona merah ia mendapat oksigen yang cukup.

Petugas RSUD Kota Mataram kemudian datang untuk melakukan tes swab pada MS, M keberatan.

Ia juga curiga ketika melihat hasil rapid tes dari Klinik Metro Medika dengan hasil non reaktif.

M merasa tidak pernah ada rapid test terhadap ibunya selama dirawat di Klinik Metro Medika.

Namun M terpaksa mengizinkan swab pada MS dan hasilnya dijanjikan keluar dalam 3- 4 hari.

MS kemudian dipindah ke ruang isolasi pada Sabtu malam (4/7/2020) pukul 22.00 Wita.

Di ruang isolasi, MS hanya ditemani SA, tanpa didampingi M. SA adalah bapaknya.

Pada Minggu, M menanyakan kondisi sang ibu dan ternyata tak ada masalah.

Tapi Senin sore (6/7/2020) MS meninggal dunia dan dinyatakan positif Covid-19.

Keluarga sontak tak terima.

“Beberapa saat setelah meninggal dunia hasil swab ibu saya positif Covid-19, padahal tim medis awalnya mengatakan paling lambat 3-4 hari, kok bisa kurang dari dua hari sudah ada hasilnya, itu yang buat saya yakin ibu saya tidak positif Covid-19," kata M.

“Pihak RSUD Kota Mataram tetap bersikeras menyebut ibu saya positif covid, tapi dokumen atau bukti surat yang menunjukkan itu tidak diberikan sampai sekarang," lanjut dia.

Dari penelusuran Kompas.com, data Dinas Kesehatan provinsi NTB yang dirilis secara terbuka menyebutkan MS, pasien ke-1.422 berstatus pasien dalan pengawasan (PDP) Covid-19.

Dari swab yang dilakukan pada 2 Juli 2020 dan hasilnya keluar tanggal 7 Juli 2020, ia dinyatakan positif Covid-19.

Lantaran kasus pengambilan paksa jenazah itu, M dan beberapa keluarganya diperiksa sebagai saksi oleh aparat kepolisian.

Bahkan M sempat diminta menyampaikan permohonan maaf dan direkam dalam video oleh anggota Polsek Gunung Sari.

M masih yakin MS meninggal bukan karena covid-19.
Proses pemulasaran hingga pemakaman jenazah pasien MS dilakukan tanpa protokol covid-19 sedikit pun, meskipun puluhan apparat kepolisian Polres Lombok Barat dan Polres Kota Mataram berjaga di lokasi pemakaman.

Direktur RSUD Kota Mataram, ketika itu dr. Lalu Herman Mahaputra, mengatakan pihaknya telah bekerja sesuai prosedur penanganan Covid-19, termasuk saat menangani pasien MS.

Dokumen hasil swab MS yang positif covid-19, ujarnya, telah diserahkan RSUD Kota Mataram kepada tim penyidik Polres Kota Mataram, karena adanya kejadian penjemputan paksa jenazah MS ke RSUD Kota Mataram.

"Dokumen hasil swab MS bisa diminta keluarga ke aparat kepolisian," kata Herman.

Keluarga tak terima S dinyatakan meninggal karena Covid-19, karena hanya beberapa jam berada di ruang isolasi.

“Dia sama sekali tidak menunjukkan gejala covid-19, karena pingsan di rumah dan hanya tiga jam di rawat di ruang isolasi. (Lalu) meninggal dan dibilang covid,” kata H, mertua S kepada Kompas.com.

“Sampai hari ini, saya belum menerima hasil PCR nya apakah menantu saya positif Covid-19 atau negatif,” ungkapnya.

Tiga hari sebelumnya, kata H, menantunya hanya merasa tak enak badan, sakit di bagian pinggang, dan masih bisa ke rumah sakit sendiri.

“Dia bahkan jalan sendiri waktu periksa di Rumah Sakit Universitas Mataram (Unram),” tuturnya.

Di RS Unram, dokter mendiagnosisnya mengalami gagal ginjal dan infeksi saluran kencing.

Pasien disarankan dibawa ke RSUD Kota Mataram untuk melakukan pemeriksaan lengkap, mengingat pasien harus menjalani cuci darah.

Namun, keluarga memilih S menjalani rawat jalan karena khawatir diisolasi akibat Covid-19.

“Tiba tiba menantu saya pingsan setelah dua hari dirawat di rumah. Kami bawa ke RSUD Kota Mataram 11 siang, dan akan menjalani cuci darah keesokan harinya.

Namun malamnya dibawa ke ruang isolasi dan 3 jam setelah itu meninggal,” tutur H.

Keluarga keberatan karena belum juga ada kepastian tentang status Covid-19-nya, jenazah sudah dibungkus plastik dan dimasukkan dalam peti.

Keluarga bersama puluhan warga Pondok Perasi mengambil paksa jenazah. H membawa peti jenazah menantunya mengunakan motor roda tiga.

“Di rumah kami buka peti. Wajahnya luka karena plastik dan ia masih mengenakan pampers yang dipakainya sebelum ke rumah sakit. Itu menyakiti hati kami sebagai keluarga. Kami buka semua, kami mandikan, dan semua keluarga mencium jenazahnya, lalu kami makamkan,” kata H.

H menyesalkan karena tidak ada tim atau perwakilan dokter yang menjelaskan kepada keluarga tentang status pasien, tidak ada surat keterangan, atau dokumen yang menjelaskan status almarhum.

Saat dilacak, pasien atasa nama S tidak masuk dalam daftar pasien meninggal covid-19.

Pelacakan dimulai dari nomer pasien 653 hingga 1255 pasien selama Juni 2020.

https://regional.kompas.com/read/2021/12/13/143631478/ramai-klaim-ranjang-covid-19-1

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke