Salin Artikel

Kisah Para Pelestari Maleo, Burung Endemik Sulawesi yang Terancam Punah

MOLIBAGU, KOMPAS.com - Ribuan orang menyemarakkan Peringatan Hari Maleo sedunia di Pantai Sondana, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Sulawesi Utara, Jumat  (19/11/2021).

Hari Maleo diperingati setiap tanggal 21 November untuk mengenang pelepasliaran pertama di bentang alam Taman Nasional Bogani Nani Wartabone pada 20 tahun lalu.

Saat itu dimulainya upaya perlindungan terus-menerus yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan Wildlife Conservation Society (WCS) sebuah lembaga konservasi internasional.

WCS di Indonesia bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KSDAE – KLHK).

Mereka menampilkan tarian dan nyanyian tradisional mengajak para pihak untuk melestarikan burung maleo (Macrocephalon maleo) dan habitatnya.

Perayaan ini melibatkan Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Wildlife Conservation Society (WCS), dan puluhan pemerintah desa.

Di Bolaang Mongondow Selatan, burung endemik Sulawesi ini dapat ditemukan di Batumanangis dan Tanjung Binerean. Keduanya berada di luar kawasan konservasi.

"Kisah burung maleo ada sejak leluhur kita, ukuran burung tidak lebih dari ayam kampung namun memiliki telur yang besar, setara 6-7 telur ayam," kata Bupati Bolaang Mongondow Selatan Iskandar Kamaru.

Iskandar Kamaru mengungkapkan rasa bangganya karena di daerahnya menjadi rumah bagi burung unik ini, yang lebih menggembirakan lagi juga ada kelompok petani yang menjaga pelestarian maleo dan lokasi penelurannya.

Petani pelestari maleo

Di lokasi peneluran yang bernama Batumanangis di Desa Molibagu dikelola kelompok tani gula aren Modaga no swangge, arti nama ini adalah mari menjaga maleo.

Sejak 2018 para petani ini sudah melepasliarkan 298 ekor anakan ke alam dari 363 butir telur yang dipindahkan ke hatchery, kawasan ini memiliki luas 2 hektar.

Tempat lain di Bolaang Mongondow Selatan yang juga menjadi tempat peneluran adalah Tanjung Binerean.

Lokasi yang memiliki luas 0,9 ha ini lebih dulu dikelola sejak tahun 2008, di lokasi yang tidak terlalu luas ini sudah melepasliarkan 563 ekor anak maleo dari 1324 butir telur yang dipindahkan ke hatchery.

“Awalnya di Batumanangis ini adalah jalur petani ke kebun, kami sering menemukan pecahan cangkang telur maleo sisa dimangsa biawak,” kata Basri Lamasese (47), petani gula aren asal Dusun Bolangaso Desa Molibagu.

Setelah lama melihat telur maleo yang gagal menetas akibat dimangsa biawak, Basri Lamasese terketuk hatinya untuk menolong burung ini bisa selamat hingga terbang ke hutan Kembali, ia kemudian mengunjungi beberapa petani pemilik lahan di sekitar.

Setelah melalui pembicaraan, para petani ini bersepakat untuk melindungi tempat bertelur maleo.

Bahkan para petani ini mengihlaskan sebagian lahan yang menjadi tempat peneluran maleo untuk tidak digarap, mereka membiarkan lokasi ini.

"Awalnya kami mendapatkan 6 butir telur, lalu dipindahkan ke hatchery darurat agar terlindung dari pemangsa seperti biawak, namun sayangnya gagal akibat tanah mengeras akibat hujan. Sebanyak 6 ekor anakan maleo yang baru mebetas tidak mampu menembus kerasnya tanah. Burung malang ini mati di tengah jalan sebelum mencapai permukaan tanah,” ungkap Basri Lamasese mengenang perjuangan awal pelestarian maleo.

Panas bumi

Di habitatnya, sebelum burung maleo bertelur ia akan menggali tanah hingga kedalaman 60-80 sentimeter.

Setelah meletakkan telur dan memastikan tidak ada predator di sekitarnya, sepasang maleo ini akan menimbun telurnya. Kaki-kakinya yang besar dan kokoh dengan cepat mengembalikan tanah seperti sedia kala.

Bahkan jika mereka kurang yakin dengan keselamatan telunya, mereka akan membuat lubang yang mirip untuk mengelabui predator agar tidak menemukan telurnya.

Setelah proses ini berakhir sepasang maleo akan menyerahkan telur kepada panas bumi untuk mengeraminya.

Setelah melewati 60-70 hari telur maleo akan menetas, anakan maleo kecil ini memecahkan cangkang di dalam tanah, ia berusaha sekuat tenaga untuk muncul ke permukaan tanah.

Kakinya yang kokoh mencakari tanah agar dia mampu menembus permukaan, selama proses ini lapisan lemak yang menyelimuti bulu halusnya juga akan terlepas.

Tahap ini merupakan masa kritis bagi bayi burung maleo.

Perjuangan mencakari tanah ini tidak mudah bagi maleo yang baru keluar dari cangkangnya, proses keluar dari dalam tanah untuk menghirup udara permukaan ini tidak mudah, bisa saja ada akar pohon yang menghalanginya, atau tanah yang tadinya gembur berubah jadi keras, bertemu kawanan semut pemangsa, atau bahkan terendam banjir.

Risiko ini menghantui setiap anakan maleo yang baru menetas.

“Dibutuhkan 48 jam bagi anakan maleo yang baru menetas untuk muncul di permukaan tanah,” kata Alfon Patandung, staf Wildlife Conservation Society (WCS).

Setelah berhasil mencapai permukaan tanah, maleo kecil ini tidak serta merta bisa selamat. Ular, elang, biawak, bahkan burung gagak siap menerkamnya kapan saja.

Para predator ini sudah hafal kapan berada di lokasi peneluran untuk mendapatkan mangsa terbaiknya.

Anak maleo merupakan burung yang mandiri, tidak ada perlindungan dari induknya sebagaimana jenis-jenis burung lainnya. Mereka diciptakan harus berjuang sendiri sejak menetas di dalam tanah.

“Selain maleo, ternyata di kebun ada juga burung gosong yang bertelur, kami menemukan 34 butir telur,” tutur Basri Lamasese.

Burung gosong (Megapodius cumingii) merupakan keluarga burung berkaki besar (megapodiidae) seperti halnya maleo. Keluarga burung ini menggunakan kakinya yang kuat untuk menggali tanah saat bertelur.

Basri Lamasese berharap ia dan petani anggota Modaga no swangge bisa terus melanjutkan upaya pelestariannya, mengembangkan kemitraan dengan lembaga lainnya agar bisa saling belajar.

“Kami perlu mendapatkan dukungan para pihak bersama-sama melestarikan maleo, semua harus bertanggung jawab dan saling memberi semangat,” ujar Basri Lamasese.

Diakuinya, merawat maleo di luar kawasan konservasi banyak tantangannya, termasuk melakukan edukasi kepada masyarakat sekitar.

Ia juga menceritakan tidak sepanjang waktu mendapatkan telur maleo, ada kalanya pada masa tertentu burung ini menurun kunjungan bertelurnya di Batumanangis.

Basri mengaku pernah mencari tahu penyebab turunnya kunjungan maleo di tempatnya, ia mencari tahu apakah kawasan hutan di sekitarnya mengalami perubahan atau tidak, demikian juga kebun-kebun warga di sekitar. Namun ia belum menemukan jawabannya.

Basri dan anggota Modaga no swangge tetap bersemangat untuk menjaga lahan peneluran maleo sambil terus mencari air aren untuk diolah menjadi gula secara tradisional.

Setiap hari ia membawa peralatannya, menaiki tangga bambu untuk menyapa tangkai bunga aren yang terus meneteskan nira.

Dari atas pohon aren ini tak jarang disapa maleo dengan suara khasnya, saat itu ia tersenyum bahagia. Ia berharap maleo tetap lestari meskipun dalam keterancaman.

https://regional.kompas.com/read/2021/11/20/080000578/kisah-para-pelestari-maleo-burung-endemik-sulawesi-yang-terancam-punah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke