Salin Artikel

Perjuangan Anak Eks TKI demi Sekolah, Kerja Jadi Pengikat Rumput Laut dan Tak Pernah Jajan

Kedua bocah asal Nusa Tenggara Timur yang merupakan anak eks TKI Malaysia ini sekarang sama-sama duduk di kelas 1 SDN 08 Sei Bilal, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.

Mereka terlihat sangat pemalu dan pendiam saat ditemui di rumahnya yang ada di tengah kebun wilayah Kampung Timur Nunukan.

"Saya nungguin om dari pagi, jadinya tidak berangkat kerja," kata keduanya dengan suara pelan dan malu-malu ketika Kompas.com berkunjung ke rumahnya, Jumat (13/11/2021).

Dua bocah ini terlihat kompak dalam segala hal. Jika yang satu menjawab, maka satunya juga akan menjawab. Sebaliknya, bila yang satu diam, maka lainnya juga ikut diam.

Sejak mengikuti pelajaran mengenal huruf dan membaca yang diajarkan oleh komunitas Wahana Pendidikan Perbatasan (WPP) Nunukan semasa pandemi Covid-19, keduanya bertekad untuk bisa bersekolah.

Mereka bahkan mencari sendiri uang untuk biaya sekolah dan semua kebutuhannya.

"Kami kerja ikut bapa dan mama di (tempat budidaya) rumput laut, itulah uang kami kumpul untuk sekolah," kata Noben pelan.

Noben, si adik, terlihat lebih mudah berinteraksi dengan orang yang baru dikenal ketimbang Reon, sang kakak.

Dalam hal kecepatan bekerja, Reon juga masih kalah dengan Noben.

"Aku sehari bisa ikat sampai tujuh tali, kalau abang paling sedikit saja karena dia main saja di (tempat) kerja," tutur Noben sambil menyikut abangnya yang hanya ditanggapi senyum dan menundukkan kepala malu.


Tidak pernah jajan

Noben dan Reon lebih banyak menghabiskan waktunya di mess tempat budidaya rumput laut.

Setiap pulang sekolah, kedua bocah ini, biasanya langsung berjalan kaki lumayan jauh menuju daerah pemukiman nelayan di pesisir Tanjung.

Orangtuanya sudah menyiapkan baju ganti dan ransum untuk makan siang sebelum menjalani aktivitas mengikat bibit rumput laut.

Anastasia, ibu dari keduanya, menuturkan kemauan sekolah anaknya bukan atas dasar paksaan, melainkan karena keinginan mereka sendiri demi menggapai cita-cita.

"Tidak ada anak-anakku mau keluarkan uangnya untuk jajan itu. Semua dia kasih masuk tabungan. Sering kami kasih uang kalau hasil mengikat banyak, masing-masing Rp 10.000, tetap saja mereka kasih masuk tabungan. Untuk kebutuhan sekolah, itu saja mereka selalu bilang," tuturnya.

Sejauh ini, baik Reon ataupun Noben selalu membeli barang kebutuhan mereka dengan uang hasil keringat mereka sendiri.

Entah itu ponsel Android untuk ikut pelajaran daring dan sepeda bekas untuk mereka bermain bersama anak-anak sebayanya.

"Ndak ada pokoknya mereka minta jajan. Wajar sih karena pagi mereka jalan ke sekolah sudah makan. Pulang sekolah pergi mabettang (mengikat bibit rumput laut) sampai petang. Waktu habis di tempat rumput laut saja memang," lanjut Anastasia.

Ulet dan kreatif

Meski tidak pernah menikmati waktu bermain layaknya anak anak seumurannya, Reon dan Noben justru asik dan sangat menikmati pekerjaan mereka.

Keduanya selalu kompak mengerjakan semua hal, termasuk berinisiatif mencari penghasilan tambahan.

Leonardus sebagai ayah kedua bocah tersebut juga mengaku cukup bangga dengan keuletan anak anaknya.

Mereka tidak pernah disuruh melakukan sesuatu pekerjaan, tapi selalu bisa menghasilkan uang yang cukup banyak untuk anak seusianya.

"Dari Mabettang saja kalau digabungkan itu bisa dapat sekitar 12 tali sehari. Satu tali seharga Rp 9000, belum lagi mereka bantu masukkan rumput laut kering siap jual ke dalam karung, mereka biasa dikasih upah sampai Rp 70.000 itu. Dalam sehari bisa dapat sekitar Rp 170.000," kata Leonardus.

Seakan tidak pernah kehabisan akal, si bocah kembali berinisiatif mengumpulkan uang lebih banyak.

Saat mereka melihat banyak rumput laut basah yang baru dipanen berjatuhan ke bawah lantai panggung penjemuran, mereka seakan tanggap dengan peluang tersebut.

Keduanya berinisiatif turun ke bawah panggung lantai penjemuran saat ombak surut, dan mengumpulkannya sedikit demi sedikit.

Hasilnya, mereka jemur sendiri dan meminta orangtuanya menjualkan rumput laut kering yang mereka jemur tersebut.

"Terakhir kali mereka jual rumput kering itu dikasih Rp 600.000 oleh pengepul. Ulet mereka, rajin memang, kalau digabung penghasilan sebulannya lumayan memang," imbuhnya.

Ingin menjadi pintar demi membalas kebaikan orang tua

Saat ditanya mengapa keduanya begitu tidak kenal lelah dalam bekerja, keduanya hanya terdiam dan menunduk semakin dalam.


Noben si kecil melirik sesekali pada ibu dan bapaknya disusul tatapan lekat Reon pada kedua orangtua mereka.

Dengan suara lirih dan hampir tak terdengar, keduanya mengatakan ingin membalas kebaikan orangtuanya yang sudah susah payah membesarkannya.

"Mau bantu orangtua supaya tidak capek mereka," jawabnya.

Meski selalu kompak, dalam hal cita-cita, keduanya berbeda pilihan, Reon ingin menjadi guru, sementara si kecil Noben ingin menjadi polisi.

Air mata mereka hampir jatuh, ketika lagi lagi ditanya, apakah mereka menyesal tinggal di rumah kecil di tengah kebun dan tidak pernah jajan ataupun bermain layaknya anak anak sebayanya.

"Tidak ada (tidak menyesal), kami mau simpan uang saja biar tidak minta sama bapak ibu. Kami mau sekolah terus," kata mereka.

Keluarga Leonardus dan Anastasia, merupakan keluarga eks TKI Malaysia yang sudah tinggal di Nunukan sejak 2016.

Mereka tidak pulang kampung dan memilih tinggal di kebun orang dan merawatnya.

Meraka pun diizinkan membangun tempat tinggal kecil sebagai tempat berteduh sekeluarga.

Tatapan bocah bocah polos tersebut terlihat berbinar saat ditanya apakah mereka ingin memberikan rumah untuk orangtuanya dengan tabungannya.

Keduanya langsung mengangkat kepalanya dan menunjukkan senyum termanis sembari menjawab.

"Mau om," kata mereka kompak dan tersenyum cerah.

https://regional.kompas.com/read/2021/11/12/190426678/perjuangan-anak-eks-tki-demi-sekolah-kerja-jadi-pengikat-rumput-laut-dan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke