Salin Artikel

Legenda Asal-usul Sungai Brantas, Sang Bengawan yang Hidupi 17 Juta Warga di Sepanjang Alirannya

Dari bencana di Kota Batu, ada tujuh warga yang meninggal dunia dan 89 kepala keluarga yang terdampak.

Selain itu ada 35 rumah rusak, 33 rumah terendam lumpur, 7 mobil dan 73 motor rusak, 107 ekor ternak hanyut dan 10 kandang ternak rusak.

Air kendi Empu Baradha

Bagi masyarakat Jawa Timur, Sungai Brantas adalah berkah. Dari kaki Gunung Arjuna di Malang, sungai besar (bengawan) Brantas bersama 39 anak sungainya menggeliat dan membentang di 15 kabupaten di Jawa Timur.

Legenda Sungai Brantas tak bisa dilepaskan dari Kediri.

Dikutip dari Kompas.com, diceritakan di masa lalu, kawasan Kediri adalah sebuah kerajaan besar bernama Kerajaan Medang yang saat itu dipimpin oleh Prabu Airlangga.

Sang Prabu berasal dari Bali dan menjadi Raja Medang setelah menikahi seorang putri Raja medang.

Prabu Airlangga dikenal sebagai sosok yang religius.

Saat usianya sudah senja, ia memilih menjadi seorang pertapa. Ia pun menyerahkan tahta kerajaan kepada putri permaisuri yang berama Dyah Sangmawijaya.

Namun Dyah menolak karena juga memilih menjadi pertapa seperti ayahnya.

Prabu merasa bingung dan agar adil, ia meminta batuan Empu Baradha untuk membagi Kerajaan Medang menjadi dua bagian untuk kedua putranya.

Dengan kesaktiannya Empu Baradha pun terbang dengan membawa kendi yang berisi air. Ia kemudian menumpahkan air kendi itu dari angkasa persis di tengah-tengah Kerajaa Medang.

Ajaibnya, tanah yang terkena air dari kendi tersebut berubah menjadi sungai yang kini dikenal dengan Sungai Brantas.

Kerajaan Medang pun kini terbagi menjadi dua wilayah yang dibatasi Sungai Brantas.

Bagian sebelah timur diserahkan kepada Raden Jayengrana yang diberi nama Kerajaan Jenggala.

Sedangkan bagian barat sungai diberikan kepada Raden Jayanagara yang diberi nama Kerajaan Kadiri atau yang kini dikenal dengan nama Kediri.

Hal itu menujukkan bahwa Sungai Brantas memiliki sejarah yang sangat panjang baik secara sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan militer.

Bahkan Sungai Brantas menjadi saksi era kerajaan yang muncul silih berganti, mulai dari Kerajaan Mataram Mpu Sindok (akhir abad ke-9 Masehi) hingga masa akhir Kerajaan Majapahit di abad ke-16 Masehi.

Di masa Kerajaan Mapapahit, Sang Raja Hayam Wuruk mengeluarkan Prasasti Canggu (1358 Masehi). Prasasti tersebut menyebutkan hak-hak istimewa pada penjaga tempat penyebarangan di Sungai Brantas.

Saat ini Canggu berada di Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto yang terletak di sepanjang aliran Sungai Kalimas (cabang dari Sungai Brantas).

Di masa lalu, desa-desa di pinggir sungai (nitipradesa) yang menjadi lokasi panambangan adalah daerah perdikan sebagai imbalan atas kewajiban menyeberangkan penduduk dan pedagang secara cuma-cuma.

”Dengan cara itu, warga dilibatkan untuk menjaga fasilitas penyeberangan,” kata M Dwi Cahyono, arkeolog dari Universitas Negeri Malang, Selasa (15/3/2011).

Dalam prasasti tersebut tercatat ada 34 desa panambangan di Sungai Brantas dan 44 desa panambangan di Bengawan Solo.

Yakni titik-titik panambangan yang menjadi semacam pelabuhan transit bagi perahu-perahu yang berlayar dari Pelabuhan Ujung Galuh (Surabaya) ke ibu kota Majapahit.

Berdasarkan berita China dari Dinasti Ming (abad ke-14 Masehi), setiap kapal asing yang hendak menuju Majapahit pertama kali singgah di Pelabuhan Tuban, Gresik, lalu Surabaya, dan akhirnya ke Majapahit.

Dari Surabaya, jung (kapal) asing tidak bisa masuk ke pedalaman.

Mereka menggunakan perahu yang lebih kecil dan berlayar ke Canggu yang berjarak sekitar 40 kilometer. Canggu kala itu pelabuhan dengan pasar yang ramai dikunjungi para pedagang.

Sekitar tahun 1942, penduduk Desa Canggu menemukan perahu pecah dan dari cerita tutur, perahu tersebut adalah milik Dampu Awang yang pecah saat meninggalkan Pelabuhan Canggu.

Selain itu di Desa Canggu ditemukan makam tua di pemakaman Dusung Kedung Sumur.

Makam itu dipercaya milik Cheng Hwie atau Shang Hwie, saudagar asal China. Sisa-sisa makam tua itu masih bisa dikenali dengan melihat batu nisannya yang terbuat dari batu bata merah dengan tebal 6 sentimeter, lebar 20 sentimeter, dan panjang 30 sentimeter.

Pada 1960-an, di Kedung Sumur sempat muncul bangkai perahu kayu jati tengkurap saat seorang warga menggali tanah untuk tempat buangan sampah.

Sementara itu Dwi Cahyono, arkeolog dari Universitas Negeri Malang mengatakan Wisnuwardhana membangun pelabuhan di Canggu karena lokasinya berada di ujung percabangan Sungai Brantas sebelum pecah menjadi Sungai Kalimas dan Sungai Porong.

”Lokasinya strategis. Di situ mereka membangun benteng untuk menjaga pertahanan sekaligus untuk menarik cukai,” ujarnya.

Raja-raja sesudah Wisnuwardhana tinggal meneruskan kebijakan itu.

Puncaknya tentu terjadi pada masa Kerajaan Majapahit. Kala itu Canggu menjadi pelabuhan pedalaman yang ramai dikunjungi pedagang dari banyak bangsa.

Hal senada juga disampai Sejarawan Universitas Negeri Surabaya, Aminuddin Kasdi.

Ia mengatakan, kejayaan transportasi sungai itu menunjukkan pemahaman raja-raja pada era tersebut terhadap pentingnya laut dan sungai.

Memiliki panjang aliran 1.400 kilometer dengan 39 anak sungai menjadikan Brantas sebagai nadi kehidupan. Air yang mengalir memenuhi bendungan dan waduk. Dari situlah beragam kebutuhan, di antaranya irigasi pertanian, tercukupi.

Dikutip dari Kompas.id, dari data Perum Jasa Tirta I, penduduk Daerah Aliran Sungai Brantas mencapai 17 juta orang. Sebagian dari mereka menggantungkan hidup dari Brantas, mulai dari hulu, bagian tengah, sampai hilir di Surabaya dan Sidoarjo.

Data 2012, air Brantas pun menghidupi 345.000 hektar lahan.

Brantas juga menjadi sumber energi bagi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) yang turut menyuplai pasokan listrik pada sistem pembangkitan Jawa-Bali.

Ada belasan PLTA dan PLTMH di sepanjang daerah aliran, antara lain PLTA Lodoyo, PLTA Karangkates, PLTA Kesamben, dan PLTA Jatimlerek.

Di hilir, sejak dulu Brantas diandalkan sebagai sumber air bersih masyarakat baik yang dikelola oleh perusahaan daerah air minum (PDAM) maupun secara swakelola.

Di daerah hilir, penggunanya antara lain PDAM Surya Sembada Surabaya, PDAM Delta Tirta Sidoarjo, PDAM Kota Mojokerto, Kabupaten Mojokerto, dan Gresik. Daerah tersebut tidak memiliki sumber air pegunungan untuk menyuplai kebutuhan rumah tangga dan dunia usaha termasuk industri.

Manajer Tata Usaha dan Humas PDAM Surya Sembada Surabaya Diah Ayu Anggraeni mengatakan, jumlah pelanggannya saat ini mencapai 588.000 pelanggan.

Mayoritas pelanggan rumah tangga dengan komposisi 70-80 persen dan hanya sebagian kecil yang berasal dari dunia usaha termasuk industri.

Dengan asumsi setiap pelanggan rumah tangga memiliki empat anggota keluarga, total 2,3 juta jiwa menggantungkan kebutuhan air bersihnya pada PDAM Surabaya.

Jumlah pelanggan ini terus bertumbuh setiap tahun seiring pertumbuhan jumlah penduduk dengan tingkat konsumsi air domestik atau rumah tangga 28,30 meter kubik per bulan per pelanggan.

”Dari data tahun 2008-2010 yang dipantau sampai dua tahun terakhir menunjukkan, saat kemarau tutupan lahan hanya sekitar seperlima,” kata Direktur Umum Perum Jasa Tirta Raymond Valiant Ruritan.

Sisanya berubah menjadi permukiman, lahan terbuka, dan lainnya.

Kondisi ini tentu berpengaruh terhadap daerah tangkapan air. Penyerapan air ke dalam tanah menjadi tidak optimal. Akibatnya, pengendapan dan banjir muncul.

Seperti banjir bandang yang terjadi di Kota Batu pada Kamis (4/11/2021) akibat dari luapan Sungai Brantas.

Hal tersebut dijelaskan Pakar Kebencanaan UGM, Prof. Suratman. Ia mengatakan banjir bandang yang melanda Kota Batu, Malang, Jawa Timur menunjukkan adanya gangguan ekosistem di wilayah tersebut.

"Banjir ini sebagai peringatan ekosistem yang terganggu oleh manusia," kata dia melansir laman UGM, Sabtu (6/11/2021).

Banjir terjadi karena adanya desakan penggunaan lahan untuk pertanian maupun pemukiman.

Pengaruh tekanan penduduk dalam penggunaan lahan tidak lagi sesuai dengan daya dukung lingkungan dan kemampuan lahan.

"Perlu dilihat kalau sebagai daerah resapan air, kawasan lindung semestinya banyak pohon-pohonnya. Jadi, harus mengendalikan keterbukaan lahan dan ada konservasi," ungkap dia.

Sementara dari sisi sistem tanah, sebut Suratman, kawasan Kota Batu memiliki lanskap yang rentan terjadi banjir.

Itu karena banyak wilayahnya yang berupa lereng-lereng dan perbukitan. Selain itu, banyak kawasan dengan kemiringan di atas 40 derajat dengan ketebalan tanah yang cukup tebal yang bisa memicu banjir.

Selain itu, Kota Batu yang memiliki suhu dingin dan lembab mengaktifkan pelapukan massa batuan tanah. Sehingga saat hujan deras, banjir membawa material seperti lumpur dan sampah.

"Dari material vulkanik suburnya luar biasa. Secara ekonomi ini menggiurkan, tetapi secara risiko bencana mengkhawatirkan," tegas Guru Besar Fakultas Geografi UGM in

https://regional.kompas.com/read/2021/11/07/070700178/legenda-asal-usul-sungai-brantas-sang-bengawan-yang-hidupi-17-juta-warga-di

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke