Salin Artikel

Lika-liku Upaya Menghapus Budaya Kekerasan terhadap Anak di Kampung Laut Cilacap

CILACAP, KOMPAS.com - Mahendra masih mengingat dengan jelas ketika kepalanya ditenggelamkan berulang kali oleh ayahnya ke dalam laut.

Penyebabnya, Mahendra yang kala itu baru berusia 7 tahun tak kunjung pulang ke rumah karena keasyikan berenang di laut.

Keseharian Mahendra bersama teman-temannya memang akrab dengan laut.

Tempat kelahirannya di Desa Ujunggagak, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, dikelilingi laut.

Perkampungan tersebut berdiri di atas tanah timbul akibat pendangkalan laut di Laguna Segara Anakan.

Mahendra mengenang, perlakuan serupa juga dialami teman sebayanya. Berbagai bentuk kekerasan fisik dialami anak-anak sebagai hukuman atas kesalahan yang dilakukan.

"Itu menjadi budaya, ketika anak disuruh orangtua tapi tidak mau, maka akan menerima ancaman, pukulan dan lainnya," tutur Mahendra saat peluncuran buku "Gotong Royong Memutus Rantai Kekerasan" karya Rebortus Sutriyono di Akademi Maritim Nasional (AMN) Cilacap, Selasa (19/10/2021).

Perlakuan ayah Mahendra terhadap dirinya rupanya menjadi trauma, meski telah sekian puluh tahun berlalu.

Kekerasan serupa juga masih terus terjadi terhadap anak-anak di kampung yang sebagian besar warganya menjadi nelayan. Tak hanya fisik, tapi juga kekerasan verbal.

Mahendra yang kini telah memiliki lima anak ini bertekad tidak akan menggunakan cara yang sama dalam mendidik anak-anaknya.

Bahkan, Mahendra kini juga terus menyuarakan penghapusan kekerasan terhadap anak-anak di desanya melalui lembaga Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM).

Ia bersama rekan-rekannya aktif memberikan pendidikan parenting di lingkungan rumah, pemerintahan hingga sekolah.

"Kekerasan terhadap anak tadinya luar biasa banyak, tapi setelah muncul lembaga ini berkurang drastis," kata pria yang menjadi Ketua PATBM sejak 2020 ini.

Pada tahun 2020, ia mencatat hanya ada 2 kasus kekerasan dan di tahun ini ada 1 kasus kekerasan.

"Ketika masih bisa dirembuk (dibicarakan) kami panggil pihak-pihak terkait, kami datangkan kepolisian dan TNI juga," ujar Mahendra.

Badriyati, salah seorang kader PATBM mengatakan, kekerasan yang selama ini terjadi karena minimnya literasi mengenai parenting.

"Di kampung rata-rata orangnya keras. Kebanyakan nelayan, karena capek marah-marah ke anak, bapaknya yang punya masalah anak yang jadi korban, ada masalah ekononi anak yang jadi korban," ungkap Badriyati.

Badriyati pun mengaku, ketika kecil mengalami hal yang sama seperti Mahendra.

"Sekarang jangan sampai anak saya merasakan hal yang sama," kata perempuan degan tiga anak dan seorang cucu ini.

Untuk itu, ia tergerak menjadi kader PATBM untuk "memerangi" kekerasan terhadap anak.

"Kami memberikan sosialisasi kepada warga tentang pengasuhan anak. Diberi pemahaman agar memakai tiga kalimat ajaib 'tolong, permisi, dan minta maaf' ketika berkomunikasi dengan anak," ujar Badriyati.

Menurut Badriyati, PATBM kini tidak hanya fokus menangani persoalan kekerasan, tapi juga menangani kenakalan remaja.

"Dulu sangat banyak, contoh mabuk-mabukan, berkelahi, seminggu bisa dua kalau apalagi kalau ada tontonan," kata Badriyati.

Ia juga mengkampanyekan pentingnya pendidikan bagi anak-anak untuk memajukan kampung halamannya dan mengejar ketertinggalan.

Untuk mengubah budaya kekerasan di Kampung laut itu tidak semudah membalik telapak tangan.

Pembentukan PATBM tersebut bermula dari keperihatinan Yayasan Sosial Bina Sejahtera (YSBS) atas fenomena kekerasan di Kampung Laut.

YSBS melalui unit kerja Mino Martani mulai masuk memberikan pendampingan kepada para ibu muda mengenai parenting di dua desa yaitu, Panikel dan Ujunggagak.

Perlahan mereka mulai menerapkan di keluarga dengan berkomitmen tidak mengulang apa yang dilakukan orangtua mereka semasa kecil.

"Tidak mudah mendampingi masyarakat Kampung Laut, akan tetapi di Desa Ujunggagak bisa terlihat hasilnya," kata pimpinan unit kerja Mino Martani Theresia Kariah.

Sementara itu, Direktur YSBS Cilacap Romo Carolus Burrows OMI berharap tidak ada lagi kekerasan yang dialami anak-anak di Kampung Laut.

"Dengan program ini memutuskan biar kekerasan selesai di generasi kami, jangan sampai generasi penerus mengalami itu. Ini sangat penting, jadi keluarga ramah anak, sekolah juga ramah anak, agama juga ramah anak dan dunia ramah anak," kata Carolus.

https://regional.kompas.com/read/2021/10/20/183000978/lika-liku-upaya-menghapus-budaya-kekerasan-terhadap-anak-di-kampung-laut

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke