Salin Artikel

Wayang Topeng Jatiduwur di Jombang, Kesenian yang Diduga Peninggalan Majapahit

Menurut cerita di desa tersebut, kesenian wayang topeng itu diperkenalkan Ki Purwo yang diteruskan oleh anak dan cucunya.

Diperkirakan, Ki Purwo memperkenalkan seni wayang topeng ke Desa Jatiduwur, Kabupaten Jombang, pada akhir abad 18 atau awal abad 19.

Saat ini, penerus Wayang Topeng Jatiduwur dari garis keturunan Ki Purwo sudah pada generasi ketujuh.

Ketua Paguyuban Wayang Topeng Jatiduwur, Sulastri Widianti menuturkan, perjalanan kesenian wayang topeng yang diwariskan Ki Purwo, tak lepas dari situasi pasang surut.

Meski demikian, eksistensinya terus terjaga dengan segala keterbatasan maupun keunikan seni budaya warisan Nusantara.

"Ini sudah berjalan turun-temurun, Insya Allah saya generasi ketujuh. Mbah Purwo yang bikin (wayang) topeng ini," ungkap Sulastri kepada Kompas.com, Sabtu (25/9/2021).

Sulastri adalah pegiat kesenian wayang topeng dari garis keturunan Ki Purwo, sosok yang memperkenalkan seni pewayangan dengan tari topeng ke Desa Jatiduwur.

Saat ini, keturunan langsung dari Ki Purwo itu menjabat sebagai Ketua Paguyuban Tri Purwo Budoyo, komunitas pegiat seni Wayang Topeng Jatiduwur.

Pertunjukan Wayang Topeng Jatiduwur merupakan perpaduan seni tari, drama, sastra, musik, dan seni rupa.

Kecuali dalang dan penabuh musik gamelan, para penari atau pemainnya mengenakan topeng sesuai karakter yang ditampilkan dalam cerita pewayangan.

Topeng Ratusan Tahun

Sulastri mengungkapkan, selain mewariskan bentuk seni yang indah dan mempesona, Ki Purwo juga meninggalkan 33 topeng.

Saat ini, usia tua topeng yang biasa ditampilkan dalam pementasan Wayang Topeng Jatiduwur tak bisa membohongi kondisi fisiknya.

Kondisi kayu sudah berwarna kecoklatan, serta cat pewarna topeng sudah mengelupas.

Sulastri menuturkan, 33 topeng peninggalan Ki Purwo tak lagi digunakan dalam setiap pementasan Wayang Topeng Jatiduwur.

Sekitar tahun 2000, sebagian besar pementasan Wayang Topeng Jatiduwur menggunakan topeng replika.

Adapun topeng peninggalan Ki Purwo, disimpan di dalam peti kayu dan hanya dikeluarkan dan dipentaskan pada waktu tertentu.

Pementasan dengan topeng asli biasanya dilakukan pada bulan Suro atau waktu khusus untuk memenuhi nazar.

"Setiap bulan Suro tanggal 1 sampai dengan tanggal 10, kami lakukan ritual mengeluarkan topeng dari kotak (penyimpanan)," kata Sulastri.

Topeng-topeng yang digunakan dalam pementasan Wayang Topeng Jatiduwur terbuat dari kayu yang dipahat sesuai karakter tokoh manusia.

Ciri khas topeng, antara lain memiliki ciri dagu lebih lancip, serta terdapat ornamen bergambar bunga matahari.

Sulastri mengaku tidak mengetahui persis pada masa kapan topeng-topeng itu dibuat.

Perkiraan usia topeng, dihitung berdasarkan masa hidup Ki Purwo yang membawa kesenian wayang topeng, akhir abad 18 atau awal abad 19.

Berdasarkan riwayat masa hidup Ki Purwo, topeng yang menjadi bagian penting dalam sejarah eksistensi Wayang Topeng Jatiduwur, diperkirakan berusia 280 hingga 300 tahun.

"Topeng-topeng itu peninggalan Mbah Purwo, (usia) topeng sudah sangat lama. Saya saja sudah keturunan ketujuh," ungkap Sulastri.

Interpretasi terhadap masa mulai eksisnya kesenian wayang topeng di Desa Jatiduwur, terus berkembang di kalangan budayawan dan sejarawan.

Beberapa petunjuk pada artefak topeng, gaya pedalangan, maupun karakter musik, serta cerita yang diangkat menjadi dasar menelusuri jejak kesejarahan wayang topeng Jatiduwur dengan Majapahit.

Topeng peninggalan Ki Purwo yang pada masa sebelumnya selalu digunakan dalam pementasan Wayang Topeng Jatiduwur, memiliki ciri khas unik.

Salah satunya, Topeng Jatiduwur memiliki ornamen di dahi bergambar kelopak bunga matahari.

Ornamen kelopak bunga matahari memiliki kemiripan bentuk dengan lambang Kerajaan Majapahit, Surya Majapahit.

Keunikan ornamen pada Topeng Jatiduwur itu membuat beberapa pemerhati seni-budaya dan sejarawan terus melakukan penelusuran jejak kesejarahannya dengan Majapahit.

Menilik pada ornamen yang mirip dengan simbol Surya Majapahit, kesenian Wayang Topeng Jatiduwur diduga sudah ada sejak masa Majapahit.

Menurut Setyo Yanuartuti, Dosen Pendidikan Seni Budaya Universitas Negeri Surabaya, bentuk ornamen itu tidak ditemukan pada topeng lain di Jawa Timur.

Topeng peninggalan Ki Purwo, terdapat ornamen kelopak bunga matahari yang memiliki kemiripan dengan Lambang Surya Majapahit.

"Tapi (Lambang Surya Majapahit) ini interpretasi, karena ada gambar-gambar seperti itu. Karena interpretasi, saya tidak berani menyatakan bahwa Topeng Jatiduwur itu Majapahit," kata Setyo kepada Kompas.com, Selasa (28/9/2021).

Keberadaan ornamen yang memiliki kemiripan dengan lambang Kerajaan Majapahit menjadi bahan penting untuk kajian dan penelitian sejarah eksistensi Wayang Topeng Jatiduwur.

Perempuan yang meraih gelar doktor di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta ini mengaku mendukung upaya berbagai pihak yang tengah menelusuri keterkaitan Wayang Topeng Jatiduwur dengan Majapahit.

Apalagi, lanjut Setio, selain keunikan pada ornamen topeng, seni pedalangan pada pementasan Wayang Topeng Jatiduwur memiliki karakter pewayangan Trowulan.

"Karakter musik dan pedalangannya mendekati karakter wayang "Cek Dong Trowulanan", arahnya kesana. Makanya, kenapa dikaitkan dengan Majapahit, salah satunya karena alasan ini," tutur dia.

Cerita Panji

Pementasan Wayang Topeng Jatiduwur memiliki dua lakon pakem atau cerita asli, Patah Kuda Narawangsa dan Wiruncana Murca.

Keduanya menampilkan dua tokoh utama, Panji Asmorobangun atau Raden Inu Kertapati dan Dewi Sekartaji, dengan latar belakang masa kerajaan Daha (Kediri) dan Jenggala.

Alur cerita dalam lakon Patah Kuda Narawangsa, menggambarkan cerita perjuangan dan pengembaraan Dewi Sekartaji, sebelum akhirnya bertemu dengan Panji Asmorobangun.

Adapun alur cerita dalam lakon Wiruncana Murca, menggambarkan kisah Panji untuk memenangkan hati Sekartaji.

Dalam perjalanan cerita kedua Lakon Pakem tersebut, terselip cerita konflik dan perseteruan antara tokoh utama dengan raja dan punggawa dari kerajaan seberang.

Menurut Nasrul Illah, Budayawan asal Jombang, cerita Panji menyebar luas ke wilayah nusantara hingga mancanegara pada masa Majapahit.

Cerita Panji tersebar luas melalui berbagai pertunjukan seni antara lain wayang topeng, seni tari maupun seni pahat dan lukis.

Luasnya wilayah dan pengaruh Majapahit kala itu, mendorong perkembangan cerita Panji hingga ke Madagaskar.

Eksistensinya diyakini sejak masa Majapahit karena memiliki dua lakon pakem yang mengisahkan tentang Panji.

Meski masih sebatas interpretasi, namun berdasarkan lakon cerita, karakter seni tari dan pedalangan, serta artefak yang ada, dia menduga kesenian wayang topeng yang kemudian populer di Desa Jatiduwur, memiliki keterkaitan dengan Majapahit.

"Kalau yang sudah diteliti, ada sejak abad ke-18 atau abad ke-19," ujar Nasrul Illah, saat berbincang dengan Kompas.com, Selasa (5/10/2021).

"Tetapi mungkin sudah ada sejak Majapahit, karena cerita Panji populer di masa Majapahit lewat berbagai macam kesenian, termasuk wayang topeng," lanjut dia.

Dian Sukarno, budayawan sekaligus penulis Buku Wayang Topeng Jatiduwur dalam Perspektif Sejarah mengungkapkan, menyimak dari jalan cerita dalam pewayangan, dia menduga kesenian tradisional itu lahir pada masa Majapahit.

Analisis Dian di antaranya mengacu pada kondisi candi peninggalan Majapahit yang rata-rata bercerita tentang sosok Panji.

Cerita Panji yang menyebar ke berbagai negara di seberang nusantara hingga Madagaskar, memperkuat analisisnya.

"Karena bercerita tentang Panji, diduga Wayang Topeng Jatiduwur itu peninggalan Majapahit. Majapahit waktu Hayam Wuruk pengaruhnya sangat luas dan cerita Panji akhirnya tersebar ke berbagai negara," kata Dian.

Pertunjukan Wayang

Wayang Topeng Jatiduwur telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada 2018.

Kesenian tradisional itu tumbuh dan berkembang lama di Desa Jatiduwur, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

Pagelaran kesenian tradisional berbentuk drama seni tradisional dengan dialog menggunakan Bahasa Jawa.

Ciri khas utamanya, seluruh pemain dan penari selama pementasan memakai topeng, kecuali dalang dan penabuh gamelan.

Pertunjukannya diawali dengan tampilnya seorang penari dengan wajah ditutupi topeng.

Tarian dari penari bertopeng dan berpakaian layaknya punggawa kerajaan itu dikenal sebagai tari klono.

Tari klono menjadi bagian penting dari rangkaian pementasan Wayang Topeng Jatiduwur, yang diperagakan di awal acara.

Selepas peragaan tari klono, dalang kemudian memainkan perannya, mengendalikan seluruh proses pementasan.

Gerakan, dialog, dan jalan cerita dalam pementasan Wayang Topeng Jatiduwur merupakan perpaduan berbagai unsur kesenian seperti tari, drama, sastra, musik, dan seni rupa.

Para penari dengan menggunakan topeng melakukan gerak sebagai ekspresi tokoh, mengikuti cerita dalang.

https://regional.kompas.com/read/2021/10/06/135255178/wayang-topeng-jatiduwur-di-jombang-kesenian-yang-diduga-peninggalan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke