Salin Artikel

Kekhawatiran di Balik Sertifikasi Tanah Desa oleh Keraton Yogyakarta (2)

Keinginan mereka untuk mensertifikatkan tanah-tanah desanya ‘dihentikan’ pada 2017 oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Di sisi lain, sertifikat tanah-tanah desa yang sudah terbit sebelum 2017 ditarik.

Jika kemudian diketahui kelahiran tanah-tanah desa tersebut atas dasar asal usul hak anggaduh dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Puro Pakualam, maka sertifikatnya akan diubah.

Dengan berbekal Petunjuk Teknis (juknis) Nomor 4/Juknis-HK.02.01/X/2019 tentang Penatausahaan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten di Wilayah Provinsi DIY dari Menteri ATR/Kepala BPN Pusat tertanggal 29 Oktober 2019, tanah desa dengan yang semula statusnya adalah hak pakai di atas tanah negara, lalu diubah menjadi status hak pakai di atas tanah milik kasultanan atau kadipaten.

Kabid Penetapan Hak dan Pendaftaran Kanwil BPN DIY, Anna Prihaniawati tak mengelak, BPN di daerah dimungkinkan sempat tidak melayani pendaftaran tanah desa mulai 2017.

Lantaran tengah terjadi kekosongan aturan teknis terkait layanan pendaftaran tanah desa dan penyesuaian hak atas tanah desa menjadi milik kasultanan atau kadipaten.

BPN tidak ingin salah langkah dalam melakukan sertifikasi tanah desa setelah terbit UU Keistimewaan pada 2012 dan Perdais Pertanahan pada 2017.

“Kalau desa daftar (sertifikasi tanah desa), sedangkan tanah desa itu tanah kasultanan, nanti kami dimarahi Sultan. Sudah ada UU Keistimewaan dan perdais, kok BPN mendaftarkan tanah desa. Jadi kami menunggu payung hukumnya,” jelas Anna ketika diwawancara di ruang kerjanya, Kamis (17/6/2021).

Pihak Kanwil BPN DIY menindaklanjuti amanat UU Keistimewaan dan Perdais Pertanahan melalui diskusi dengan ahli pertanahan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan menyusun naskah akademik.

Kanwil BPN DIY berkonsultasi juga dengan kasultanan dan kadipaten, serta praktisi hukum di DIY.

Anna pun tidak menampik pengajuan permohonan payung hukum dari BPN Kanwil DIY kepada Kementerian ATR/BPN Pusat juga atas dorongan Pemda DIY.

“Kami bareng-bareng minta petunjuk Pak Menteri, khusus pengaturan untuk tanah di DIY. Pusat yang menentukan payung hukum itu berupa Permen (peraturan menteri), SE (surat edaran), atau juknis,” jelas Anna.

Pemda DIY melalui Dispertaru DIY memberi pertimbangan kepada Kanwil BPN DIY agar kementerian menerbitkan peraturan menteri untuk mengatur penatausahaan tanah kasultanan dan kadipaten di DIY.

Seiring berjalannya waktu pembahasan, Permen dianggap kurang cocok dikeluarkan karena produk kebijakaan tersebut untuk mengatur tanah desa di seluruh wilayah Indonesia, bukan hanya DIY.

Juga muncul pertimbangan penerbitan Permen akan butuh waktu lama.

“Saya bayangkan, Permen butuh waktu lama (untuk bisa sampai terbit). Lalu kami bersurat ke pusat. Turunnya juknis,” jelas Kabid Penatausahaan dan Pengendalian Pertanahan Dispertaru DIY, Agus Triono Junaedi saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (21/5/2021).

Aturan hukum sertifikasi tanah desa di DIY baru tersedia pada 29 Oktober 2019.

Aturan dari Menteri ATR/Kepala BPN Pusat, Sofyan A. Djalil itu dalam bentuk Petunjuk Teknis (juknis) Nomor 4/Juknis-HK.02.01/X/2019 tentang Penatausahaan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten di Wilayah Provinsi DIY.

Juknis pun, menurut Anna, sebenarnya bukan pilihan pertama terkait dasar mekanisme pelaksanaan program sertifikasi tanah desa dan penyesuaian sertifikat tanah desa menjadi milik kasultanan dan kadipaten.

Salah satu mekanisme yang ditawarkan Kanwil BPN DIY terkait program itu adalah kasultanan dan kadipaten mengajukan permohonan pengakuan hak tanah kepada negara.

Tawaran itu berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Namun kasultanan menolak melakukan permohonan itu.

“Idealnya, pemerintah desa melepaskan haknya dulu menjadi tanah negara, baru dimohon menjadi tanah kasultanan dan kadipaten. Mekanisme ini memang butuh waktu agak lama. Kasultanan dan kadipaten tidak mau memohon kepada negara karena itu tanah mereka,” terang Anna.

Sementara itu, mekanisme berdasarkan juknis adalah melakukan pendaftaran tanah dan menerbitkan sertifikat hak milik atas nama kasultanan dan kadipaten untuk tanah desa yang belum terdaftar atau belum bersertifikat.

Bisa juga diterbitkan sertifikat hak pakai selama digunakan atas nama pemerintah desa di atas tanah hak milik atas nama kasultanan atau kadipaten.

Syarat pendaftaran tanah berupa keharusan melampirkan akta pemberian hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak milik atau serat kekancingan.

Serat kekancingan merupakan surat keputusan tentang pemberian hak atas tanah dari kasultanan atau kadipaten kepada pihak ketiga yang diberikan dalam jangka waktu tertentu.

Sedangkan mekanisme penyesuaian sertifikasi pada tanah desa yang telah terdaftar atau sudah bersertifikat dilakukan dengan ketentuan berbeda.

Sertifikat tanah desa lama tidak akan diganti dengan sertifikat baru untuk memperjelas kepemilikan tanah desa merupakan milik kasultanan atau kadipaten.

Melainkan di dalam buku tanah dan sertifikat lama hanya akan dibubuhi catatan pada kolom “sebab perubahan” berupa “Hak Guna Bangunan/Hak Pakai Nomor…, Desa/Kalurahan…, berada di atas Tanah Milik Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau Kadipaten Pakualaman”.

Catatan tersebut dapat menggunakan stempel, cap, atau tera yang ditandatangani Kepala BPN kabupaten/kota.

Ditjen (PHPT) Kementerian ATR/BPN Suyus Windayana memandang kementerian sementara cukup hanya menerbitkan juknis.

Aturan teknis itu dipilih diterbitkan ketimbang Permen atas hasil konsultasi dengan biro hukum.

“Kalau perlu ada Permen yang baru, kami siapkan. Kebetulan yang sudah diatur (juknis), tinggal implementasinya,” ungkap Suyus.

Ada pencoretan sertifikat tanah desa

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dispertaru DIY pada 2020, ada 150 sertifikat tanah desa di DIY yang telah mengalami penyesuaian sebagai tanah desa di atas hak milik kasultanan atau kadipaten.

Masing-masing 50 sertifikat di Gunungkidul, Sleman, dan Bantul. Pada 2021, Dispertaru DIY telah menargetkan penyesuaian kembali untuk 2.090 sertifikat dan pada 2022 sebanyak 7.727 sertifikat.

Salah satu contoh sertifikat tanah desa yang telah dilakukan penyesuaian adalah tanah Desa Sidoluhur, Kapanewon Godean, Kabupaten Sleman.

Sepengetahuan Kasi Pemerintahan Desa Sidoluhur, Adi Arya, desanya dijadikan percontohan karena pemdesnya dianggap tertib administrasi pertanahan oleh Dispertaru Sleman.

Pemdes masih menyimpan segala dokumen terkait legalitas tanah desa, temasuk sudah menerbitkan peraturan desa (perdes) tentang pemanfaatan tanah desa sebagai syarat penyesuaian sertifikat tanah desa.

“Kami hanya mengikuti apa yang menjadi arahan dari Dispertaru kabupaten, mengikuti setiap aturannya,” kata Arya saat diwawancarai di ruang kerjanya, Selasa (25/5/2021).

Dia menyebutkan, tak ada perbedaan proses pengelolaan tanah desa setelah dilakukan penyesuaian sertifikat.

Dia optimistis, pemdes dan perangkatnya masih mempunyai hak pengelolaan tanah desa.

Tidak seperti yang pernah dikhawatirkan sebelumnya, yaitu diambil alih kasultanan setelah dilakukan penyesuaian sertifikat.

“Kalau ada pertanyaan apakah tanah desa akan ditarik oleh keraton? Kami sekarang coba tenang-tenang saja. Wong ini hak pakainya tetap di desa,” tutur dia.

Namun pihak pemdes belum juga melihat buku sertifikat yang telah diperbaharui tersebut hingga akhir Mei 2021 lalu. Dia tak tahu alasannya.

“Jadi, saya tidak tahu secara pasti apa yang disesuaikan dalam sertifikat tanah desa,” kata Arya.

Sedangkan sertifikat lama tanah desa sebelum penyesuaian yang disimpan di pemdes hanya berupa fotokopi.

Dia menduga sejak awal pemdes dianggap tidak sepenuhnya mengusai tanah desa, melainkan hanya memakainya.

“Ini aslinya dikumpulkan di (dispertaru) kabupaten sejak dibuat dari 2003. Kami hanya memakai (punya) fotokopi,” kata Arya sambil menunjukkan fotokopi sertifikat hak pakai Nomor 18 Desa Sidoluhur yang merupakan sertifikat lama tanah desanya.

Sekilas tak ada yang aneh dengan fotokopi sertifikat tanah Desa Sidoluhur yang ditunjukkan Arya.

Seusai diperhatikan, ternyata ada pencoretan frase “negara bekas” di kolom penunjuk yang secara lengkap tertulis “xxx xxx. Tanah Negara bekas hak adat persil xxx xxx”.

Pencoretan itu dilakukan dengan menggunakan pulpen sehingga cukup mengaburkan kata “negara bekas”. Sementara di depan kata “tanah”, ada gambar seperti paraf.

“Saya enggak tahu-menahu soal cerita di balik pencoretan itu. Tapi kalau dilihat bentuknya, saya yakin pencoretan sudah dilakukan pada dokumen asli sertifikat,” kata Arya.

Dalam sertifikat asli hak pakai Nomor 18 yang disimpan Dispertaru Sleman, tulisan “negara bekas” juga telah dicoret.

Yuli menyatakan tidak tahu-menahu terkait pencoretan itu. Dia melimpahkan kasus pencoretan itu kepada BPN Sleman dan Dispertaru DIY.

“Saya tidak tahu alasannya (pencoretan). Coba nanti kami konfirmasi ke BPN. Kami juga sudah ngomong-ngomong dengan provinsi. Sebaiknya tanya ke Dispertaru DIY karena itu di luar kewenangan kabupaten,” kata Yuli.

Kepala BPN Sleman Bintarwan Widiasto saat dikonfirmasi tentang dugaan praktik pencoretan sertifikat tanah desa di Sleman mengaku tidak mengetahui.

“Itu saya tidak tahu siapa yang coret, sertifikatnya di sana (Dispertaru Sleman) dicoret, saya tidak mengerti kenapa bisa demikian,” kata Bintarwan ditemui di tempat kerjanya, Kamis (24/6/2021).

Bintarwan mencoba menunjukkan arsip buku tanah (yang juga berisi arsip sertifikat tanah) terkait tanah Desa Sidoluhur yang dimaksud. Ternyata pada sertifikat tersebut tidak ada pencoretan kata “tanah negara”.

Dia mengatakan dalam buku tanah untuk bidang tanah desa lainnya juga tidak ada pencoretan.

“Data asli kami tidak dicoret. Hampir semua sertifikat tidak ada coretan,” ujarnya.

Bintarwan menjamin pencoretan data dalam kolom petunjuk di sertifikat tanah Desa Sidoluhur yang disimpan Dispertaru Sleman tidak akan berpengaruh apa-apa.

Lagi pula, menurut Bintarwan, hak pengelolaan tanah desa oleh pemdes tak akan berubah setelah dilakukan pencoretan kata-kata di dalam kolom petunjuk sertifikat.

“Mau dicoret bagaimana pun, sertifikat yang dipegang badan hukum atau perorangan di luar, BPN Sleman hanya akan mengacu pada arsip buku tanah yang disimpan di Kantor BPN,” kata Bintarwan.

Dia juga mengklaim program pencatatan perubahan sertifikat tak akan memengaruhi hak pakai desa atas tanah tersebut.

Dia memaknai program tersebut hanya memiliki tujuan untuk tertib administrasi dan pengamanan aset kasultanan atau kadipaten.

“Jangan sampai ada tukar-menukar, jual beli, dan sebagainya yang tidak termonitor pihak kasultanan atau kadipaten,” kata Bintarwan.

Saat diminta tanggapan, Direktur Pengukuran dan Pemetaan Kadastral Kementerian ATR/BPN Tri Wibisono menyebutkan, pencoretan kata “negara bekas” dalam sertifikat tanah desa Sidoluhur bisa jadi dilakukan oleh tim inventarisasi tanah kasultanan dan kadipaten.

Tapi dia tidak bisa memastikan hal itu. Dia juga mengamini pernyataan Raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat Sultan Hamengku Buwono X yang mengklaim tidak ada tanah negara di DIY.

Tri menambahkan, kecuali tanah itu diberikan kepada masyarakat, kemudian masyarakat melepaskannya menjadi tanah negara.

“Kami perlu identifikasi dulu kenapa kata “negara bekas” dicoret. Bisa jadi ada tim inventarisasi (memandang) asal usulnya (tanah desa) merupakan tanah kasultanan sehingga dicoret dan disesuaikan. Itu mungkin bisa disampaikan (dicoret) agar jelas,” tutur Tri yang juga mantan Kepala Kanwil BPN DIY.

Kemunduran dan cacat prosedur

Pengamat pertanahan, Ahmad Nashih Lutfhi, menilai program pendaftaran tanah desa dan penyesuaian hak atas tanah desa menjadi milik kasultanan atau kadipaten adalah wujud kemunduran yang terjadi di DIY.

Mengingat tanah adat telah diberikan kepada pemdes dengan pemberlakuan UUPA secara penuh di DIY berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1984, tapi kini seakan diambil kembali oleh kasultanan saat ini.

“Kalau saya menyebut ini arus balik, dari status tanah adat diberikan kepada pemerintah desa pada reorganisasi agraria, sekarang diakui lagi sebagai tanah adat,” kata Lutfi saat diwawancarai secara daring, Selasa (15/6/2021).

Lutfi juga menyebut program pendaftaran tanah desa dan penyesuaian hak atas tanah desa menjadi milik kasultanan atau kadipaten juga sebagai sebuah anomali.

Pada satu sisi, dalam sertifikat tanah desa tidak diungkap secara eksplisit pemegang hak milik tanah hanya menjadi kasultanan atau kadipaten.

Tapi di sisi lain, hak tanah desa tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah desa.

“Kalau dalam kontruksi hukum normatif ini anomali. Pemerintah juga tidak sepenuhnya memiliki kewenangan itu karena hak pakainya di atas tanah milik kasultanan,” kata pengajar di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta itu.


Lutfi menyampaikan, proses sertifikasi tanah desa menjadi milik kasultanan mengubah sekaligus bertentangan dengan konstruksi hukum yang telah diatur dalam UUPA.

Lagi pula, menurut dia, penggunaan petunjuk teknis yang dikeluarkan Menteri ATR/BPN sebagai dasar hukum untuk sertifikasi tanah desa menjadi milik kasultanan tidaklah cukup.

“Hal ini tidak sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria,” kata Lutfi.

Lutfi menganggap, sertifikat tanah desa terbaru yang menjadi milik kasultanan atau kadipaten yang akan dikeluarkan BPN tidak pernah diakui oleh UUPA maupun Peraturan Menteri ATR Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

“Ini menggunakan dua konsep yang digabung. Alasnya menggunakan tanah kasultanan, tapi ketika diberikan hak pakainya menggunakan hukum formal UUPA. Ini anomali dan standar ganda (hukum pertanahan). Ini membingungkan kami semua,” jelas dia.

Kekhawatiran desa atas program sertifikasi ulang tanah desa di DIY itu pun lumrah terjadi. Mengingat Perdais Pertanahan baru mengatur peralihan status tanah desa, tetapi tak mengatur konsekuensinya.

“Yang jadi pertanyaan kan kalau (tanah desa) sudah disertifikatkan (jadi milik kasultanan dan kadipaten), apa konsekuensinya?” tutur Luthfi.

Namun Luthfi meyakini, para pejabat pemerintahan sebenarnya paham konsekuensi lanjut dari sertifikasi ulang tanah desa.

Salah satunya, kewenangan negara terhadap hak pemerintah desa atas tanah desa semakin terkikis.

“Keuntungannya semua teraglomerasi untuk kepentingan Sultan dan Pakualaman,” imbuh dia.

Senada, Guru Besar Tata Negara Fakultas Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Ni'matul Huda, menilai dasar hukum petunjuk teknis dan Pergub Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tanah Desa untuk proses sertifikasi tidak tepat.

Sebab, petunjuk teknis berkaitan dengan prosedur saja dan legalitasnya tidak diakui dalam aturan hukum.

“Mengubah (status) tanah desa tidak boleh pakai juknis. Sertifikasi tanah desa atas nama kasultanan cacat prosedur,” kata Ni’matul saat diwawancarai secara daring, Senin (14/6/2021).

Semestinya, menurut dia, ada aturan lebih tinggi, seperti peraturan daerah atau pun peraturan menteri yang dibuat dan digunakan dengan catatan tidak bertentangan dengan aturan hukum pertanahan.

“Menyakitkannya tuh status tanah kasultanan, tapi kok diaturnya pakai pergub. Kalau mau digugat kan gugat gubernur, bukan Sultan. Padahal tanah SG kan diklaim milik Sultan, bukan gubernur. Tanahnya kan bukan tanah pemda,” sebut Ni’matul.

Anggota tim hukum Keraton Yogyakarta Achiel Suyanto mempersilakan apabila ada pihak-pihak yang menilai dasar hukum sertifikasi tanah desa dan penyesuaian sertifikat tanah desa di DIY menjadi milik kasultanan dan kadipaten lemah lantaran hanya mengacu pada juknis Menteri ATR/Kepala BPN dan Pergub Pemanfaatan Tanah Desa.

“Jadi jangan menyimpulkan, oh ini dasar hukumya lemah. Ya diuji saja di Mahkamah Konstitusi. Silakan. Kami tunggu kalau memang perlu ada (aturan lebih tinggi) yang mengatur seperti itu (sertifikasi tanah desa),” ucap Achiel.

https://regional.kompas.com/read/2021/09/20/180843178/kekhawatiran-di-balik-sertifikasi-tanah-desa-oleh-keraton-yogyakarta-2

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke