Salin Artikel

Kekhawatiran di Balik Sertifikasi Tanah Desa oleh Keraton Yogyakarta (1)

YOGYAKARTA, KOMPAS.com – Perasaan Jagabaya atau Kasi Pemerintahan Desa Tirtomartani, Kapanewon (Kecamatan) Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Wahyu Widodo, seketika cemas ketika mendengar rencana sertifikasi ulang tanah desa di DIY pada November 2019.

Kabar yang menyebut tanah desa akan disertifikasi menjadi tanah milik Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Puro Pakualaman melalui program penatausahaan tanah kasultanan dan kadipaten itu mulai berembus sampai ke telinga para perangkat desa di Sleman.

Berdasarkan Pasal 9 Perda Keistimewaan DIY Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten, yang dimaksud penatausahaan meliputi inventarisasi, identifikasi, verifikasi, pemetaan, dan pendaftaran tanah kasultanan dan kadipaten.

Tanah desa yang disasar adalah yang asal-usulnya dari hak anggaduh.

Menurut Penjelasan Pasal 8 ayat 3 Perdais Pertanahan, hak anggaduh merupakan hak adat yang diberikan kasultanan atau kadipaten untuk mengelola dan memungut atau mengambil hasil dari tanah kasultanan atau tanah kadipaten terhadap tanah bukan keprabon atau dede keprabon (tidak dimanfaatkan untuk bangunan keraton dan pura, upacara adat, dan kelengkapannya) kepada desa dalam menyelenggarakan pemerintahan desa untuk jangka waktu selama dipergunakan.

“Awal 2020, saya bahkan pernah menyimak penjelasan rencana penyesuaian sertifikat tanah desa dari almarhum Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto,” kata Wahyu saat diwawancarai, Sabtu (21/7/2021).

Dia mendengar paparan Hadiwinoto selaku Penghageng Tepas Panitikismo yang menangani urusan tanah Keraton Yogyakarta saat hadir dalam acara sosialisasi tentang pertanahan yang diadakan Kundha Niti Mandala sarta Tata Sasana atau Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (Dispertaru) Sleman.

Penyesuaian mengacu Pasal 11 ayat 2 Peraturan Gubernur DIY Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tanah Desa bahwa sertifikat tanah desa atas nama pemerintah desa yang semula dengan hak pakai di atas tanah negara diubah menjadi hak pakai di atas tanah milik Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau Kadipaten Puro Pakualaman.

“Sepemahaman saya, sertifikat tanah desa nanti akan ditambah keterangan bahwa itu (tanah desa) menjadi milik kasultanan,” jelas Wahyu.

Wahyu khawatir program itu kelak akan menghilangkan hak pengelolaan tanah desa oleh desa dan berpindah ke tangan kasultanan atau kadipaten.

“Desa akan merugi jika hak pengelolaan tanah desa sampai diambil kasultanan atau kadipaten,” imbuh dia.

Dugaan persoalan lain yang muncul adalah desa tak bisa lagi memperoleh pendapatan dari hasil pengelolaan tanah desa sehingga penyelenggaran program untuk kesejahteraan warga terhambat.

Para pamong desa juga merugi karena tak bisa lagi memperoleh tambahan penghasilan dari hasil pengelolaan tanah pelungguh.

Mengingat asal-usul semua tanah desa yang berjumlah sekitar 200 bidang di Tirtomartani berasal dari kasultanan dengan hak anggaduh.

“Takut-takut gimana gitu ya kalau seumpama tanah desa diminta kasultanan. Desa jadi kehilangan tanah desa, sementara kami (pamong) jadi tak punya bengkok. Tapi wis manut wae lah, wong yo ngisore kok (pasrah saja lah karena cuma bawahan),” beber dia.

Bahkan sebelum ada program tersebut, sedari awal Pemdes Tirtomartani tak pernah memegang dokumen sertifikat asli tanah desa.

Pemdes hanya menyimpan fotokopi sertifikat.

Setahu Wahyu, sertifikat asli tanah Desa Tirtomartani langsung disimpan Dispertaru Sleman setelah diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sleman.

“Pemdes akhirnya cuma bisa pasrah terkait kebijakan tanah desa di DIY. Termasuk, jika sertifikat akan diubah sewaktu-waktu,” ucap dia.

Hingga akhir Juli 2021, Wahyu mengaku belum mengetahui nasib sertifikat tanah desanya yang disimpan di Dispertaru Sleman.

Semisal, ada tidaknya penambahan keterangan milik kasultanan.

Dia belum menerima lagi pemberitahuan maupun sosialisasi mengenai pelaksanaan program penatausahaan itu.

Wahyu berharap desa punya hak pengelolaan tanah desa, meski ada pembaharuan sertifikat menjadi milik kasultanan.

Perangkat desa lain pun, menurut dia, juga punya kecemasan yang sama atas program penatausahaan tanah kasultanan tersebut.

“Teman-teman ya sama khawatir. Di grup-grup (WhatsApp) perangkat desa ya pada tanya, piye sesuk (bagaimana besok)? Di grup Jagabaya (kasi pemerintahan desa) se-kabupaten juga sama (menyampaikan kekhawatiran). Tapi ramai pas awal (saat kabar mulai beredar). Sekarang enggak digagas (diperhatikan) lagi. Akhirnya kan pasrah,” ujar dia.

Pada pekan keempat Maret 2021 di Kabupaten Bantul, seluruh pemdes mendapat surat perihal permohonan penarikan sertifikat tanah kalurahan dari Dispertaru Bantul.

Dalam surat tertanggal 24 Maret 2021 itu diterangkan, seluruh lurah diminta untuk menyerahkan sertifikat tanah desa yang masih disimpan di desa kepada Bidang Pertanahan Dispertaru Bantul paling lambat 31 Maret 2021.

Pengumpulan sertifikat itu menindaklanjuti kegiatan verifikasi sertifikat tanah desa.

“Sesuai arahan dan petunjuk dinas tata ruang, (sertifikat tanah desa) akan diganti hak milik kasultanan, sesuai UU Keistimewaan. Untuk dampak pastinya setelah itu, kami cuma bisa ikut arahan dan peraturan saja,” jelas Anggota Staf Seksi Pemerintahan Kalurahan Tamantirto, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul, Arya Panuntun, Rabu (7/4/2021). Pihak pemerintah desanya pun terpaksa turut mengumpulkan.

Sebagai upaya untuk mencegah tanah desa diambil oleh kasultanan atau kadipaten, salah satu pemdes di Bantul berupaya memaksimalkan pemanfaatan tanah desa untuk kepentingan masyarakat.

Misalnya, tanah desa dioptimalkan untuk membangun masjid, pos ronda, ruang pertemuan warga, sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD) atau taman kanak-kanak (TK), lapangan, termasuk rumah sewa bagi warga kurang mampu.

Langkah itu untuk mengantisipasi tanah desa dimanfaatkan kasultanan atau kadipaten suatu saat nanti tanpa menyesuaikan kebutuhan warga.

“Alasan tanah desa harus dimanfaatkan adalah desa harus berkembang, ruang-ruang publik dicukupi. Tidak mungkin jika sudah ada masjid di atas tanah desa, tanah lalu diambil (kasultanan atau kadipaten) kan. Karena kami tak punya kuasa untuk menolak (pengambilan tanah desa), ya ini (pemanfaatan tanah desa sekarang) sebagai bentuk perlawanan,” jelas seorang perangkat desa di pemdes tersebut.

Apalagi mayoritas lokasi tanah desa strategis sehingga menjadi daya tarik pengusaha untuk berinvestasi.

PAD Maguwoharjo pada 2020 pun mencapai Rp 1 miliar yang bisa dimanfaatkan untuk pelaksanaan program kesejahteraan warga.

Danang tidak mau kelak pendapatan asli desa berkurang karena kepemilikan aset tidak lagi menjadi kewenangan desa, melainkan kasultanan.

“Kami enggak mau. Maguwoharjo tidak usah (sertifikat tanah desa diubah). Hal yang sudah direncanakan desa bisa kalah dengan kepentingan (kasultanan),” kata dia, Rabu (5/5/2021).

Tak diambil, hanya tata ulang

Sementara itu, Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (PHPT) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Pusat (ATR/BPN Pusat) Suyus Windayana menjelaskan, sertifikasi ulang tanah desa di DIY dilakukan atas amanat Undang-undang (UU) Nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UUK) dan Perdais Pertanahan.

Menurut dia, program ini hanya menyentuh ranah pencatatan saja, bahwa tanah desa yang dikelola pemerintah desa berdasarkan hak anggaduh adalah tanah kasultanan atau kadipaten, sedangkan pengelolaannya tetap oleh pemerintah desa.

“Sebetulnya tidak ada maksud kasultanan mengambil tanah,” kaya Suyus saat diwawancara secara daring, Senin (5/7/2021).

Dia didampingi Direktur Pengaturan Pendaftaran Tanah dan Ruang Kementerian ATR/BPN, Dwi Purnama dan Direktur Pengukuran dan Pemetaan Kadastral Kementerian ATR/BPN, Tri Wibisono.

Dwi Purnama menambahkan, dengan penerbitan UU Keistimewaan, kasultanan dan kadipaten menjadi badan hukum yang memiliki hak milik atas tanah.

Sementara berdasarkan Perdais Pertanahan, tanah desa yang sudah bersertifikat atas nama desa dan asal usulnya merupakan tanah kasultanan dan kadipaten wajib disesuaikan menjadi tanah hak milik kasultanan dan kadipaten.

Senada, Staf Tepas Panitikismo Keraton Yogyakarta, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Suryo Satriyanto, menyebutkan, sertifikasi ulang tanah desa di DIY dilakukan karena tidak sesuai dengan sejarah.

Lantaran sebelum ada UU Keistimewaan, berdasar kesepakatan bersama antara Pemda DIY, pemdes, serta BPN, sertifikat tanah desa yang dikeluarkan berbunyi “hak pakai desa di atas tanah negara”.

“Itu kan secara kesejarahan tidak betul. Makanya ini (tanah desa) mau disertifikasi kembali. Tanah-tanah desa yang sudah sertifikasi di atas tanah negara akan disesuaikan menjadi di atas tanah milik kasultanan (dan kadipaten). Tanah-tanah desa yang belum bersertifikat akan diatasnamakan kasultanan (atau kadipaten),” ujar Suryo saat ditemui di Pasar Kebon Empring, Piyungan, Bantul, Selasa (24/5/2021).

Namun Ratu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, membantah program sertifikasi tanah desa di DIY menjadi milik kasultanan dan kadipaten untuk mengambil kembali tanah desa menjadi milik kasultanan atau kadipaten.

Dia bahkan tidak sepakat program tersebut dikatakan sebagai program sertifikasi tanah desa menjadi tanah kasultanan dan kadipaten.

“Oh enggak seperti itu pengertiannya. Kami ini tidak mengambil kembali, bukan mensertifikasi juga, tetapi kami menata kembali. Bentuknya pendataan,” kata dia saat ditemui usai menghadiri jumpa pers kegiatan Gerakan Kemanusiaan Republik (GKR) Indonesia di Rumah Makan Bale Raos, Magangan, Keraton Yogyakarta, Jumat (27/8/2021).

Sementara, apabila mengacu pada Pasal 11 Pergub Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tanah Desa, program penatausahaan tanah kasultanan dan kadipaten dilakukan dengan cara tanah desa disertifikatkan atas nama pemerintah desa dengan status hak pakai di atas tanah milik kasultanan

Hemas juga menyatakan, tidak ada maksud dan tujuan apa pun terkait tujuan program penatausahaan tanah milik kasultanan atau kadipaten di DIY yang menyasar tanah desa.

Menurut dia, keraton hanya ingin mendata tanah-tanah desa yang menjadi milik keraton.

“Selama ini kan memang belum terverifikasi. Kami mendata saja yang selama ini belum kami lengkapi dari periode ke periode. Zamannya Romo Hadijoyo, kemudian Mas Hadiwinoto (para Penghageng Tepas Panitikismo), dan berikutnya perlu terus-menerus,” jelas dia.

Hemas memastikan, pengelolaan tanah desa di DIY akan tetap berada di tangan pemerintah desa meski telah disertifikatkan atas nama pemerintah desa dengan status hak pakai di atas tanah milik kasultanan atau kadipaten.

“Oh ya masih tetap (dikelola oleh pemerintah desa). Tinggal nanti aturannya mungkin akan diperbaharui,” ungkap Hemas sembari menambahkan perubahan aturan ada setiap periode.

Sementara itu, anggota Tim Hukum Keraton Yogyakarta Achiel Suyanto menyampaikan, program sertifikasi tanah desa dan penyesuaian sertifikat tanah desa di DIY menjadi milik kasultanan dan kadipaten dijalankan sebagai upaya tertib hukum.

Menurut dia, berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA), semua tanah di Indonesia harus disertifikatkan, termasuk tanah kasultanan maupun kadipaten.

Keraton Yogyakarta kemudian bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menjalankan program tersebut.

“Jadi ada kepastian hukum. Jika ada pertanyaan, lah ini lahan punya siapa? (bisa dijawab) Punya kasultanan. Ketika ditanya lagi mana buktinya. (bisa dijawab) Ini sertifikatnya. Kan begitu,” jelas Achiel saat diwawancara, Rabu (1/9/2021).

Dia menyebutkan, program sertifikasi tanah desa dan penyesuaian sertifikat tanah desa di DIY menjadi milik kasultanan dan kadipaten baru dijalankan belakangan ini karena menyesuaikan dengan ketersediaan anggaran.

Achiel mengatakan program ini dijalankan dengan memanfaatkan dana keistimewaan (danais).

“Kalau dulu mungkin enggak pernah disertifikatkan karena adat enggak ada biayanya. Menyertifikatkan itu kan juga tidak sedikit biayanya. Sekarang pun diprogram per tahun, enggak bisa sekaligus puluhan ribu sertifikat,” ujar dia.

Disinggung soal ada kekhawatiran dari masyarakat atau perangkat desa akan dampak program sertifikasi tanah desa tersebut, Achiel meminta siapa saja untuk tidak berpikir bahwa tanah desa akan diambil oleh kasultanan atau kadipaten.

Menurut dia, lewat program itu, kasultanan dan kadipaten hanya ingin menegaskan status hukum tanah desa berdasarkan hak anggaduh adalah milik kasultanan atau kadipaten.

Sertifikasi tanah desa hanya menyasar tanah desa yang asal usulnya dari kasultanan atau kadipaten dengan hak anggaduh

Jika tanah desa diperoleh pemerintah desa dari sumber lain, misalnya pembelian tanah hak milik dari pihak lain dengan dana desa, maka tidak akan disertifikasi menjadi tanah milik kasultanan atau kadipaten.

“Tanah desa (di DIY) bukan berarti milik desa. Kan dulu tanah desa itu banyak yang tanah kasultanan (atau kadipaten). Sekarang disertifikatkan di atas tanah kasultanan (dan kadipaten), nanti diberikan hak pakai atau hak guna bangunan kepada yang memanfaatkan. Kalau yang memanfaatkan desa, ya kepada desa,” tutur Achiel.

https://regional.kompas.com/read/2021/09/20/173510378/kekhawatiran-di-balik-sertifikasi-tanah-desa-oleh-keraton-yogyakarta-1

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke