Salin Artikel

Kala Dayak Bahau Tak Lagi Berkebun karena Takut Dipenjara

SAMARINDA, KOMPAS.com –  Avun, seorang petinggi suku Dayak Bahau di Kampung Tukul, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur (Kaltim), mengaku tak melakukan kegiatan berladang sejak lima tahun terakhir.

Meski berat meninggalkan tradisi itu, tapi harus ia jalani daripada dihantui rasa ketakutan karena ancaman pidana penjara.

Pria yang juga Sekretaris Adat Dayak Bahau di Kampung Tukul ini menceritakan awal mula mengambil keputusan itu.

Suatu hari sekitar beberapa tahun lalu, Avun melihat poster pengumuman larangan membakar ladang, ramai ditempel di kantor-kantor desa.

Awalnya ia anggap biasa. Sebab, membakar ladang bagi masyarakat adat di Kaltim, terutama suku Dayak adalah tradisi turun temurun yang jadi kearifan lokal.

Tapi, belakangan ia jadi takut karena ancaman pidana bagi ketahuan bakar ladang.

Sejak tidak berladang, Avun banting setir jualan air dari kampung ke kampung, juga mengembangkan usaha karet.

Avun bilang bukan hanya dirinya, beberapa warga lain di Kampung Tukul juga melepas tradisi berladang berpindah ke usaha lain, karena ancaman pidana.

“Padahal kami masyarakat Dayak ini punya cara sendiri melindungi hutan. Kalau membakar kami jaga, melihat situasi (arah angin) agar tidak menyebar ke hutan lain,” terang dia.

Selain itu, sebelum bakar mereka bikin sekat hingga ritual yang dipercaya menjaga dan mendatangkan segala kebaikan dalam bercocok tanam.

Avun khawatir ritual-ritual itu akan punah seiring tradisi berladang ditinggalkan mayarakat.

Bagi masyarakat Dayak Bahau, ritual ini bisa menghadirkan roh-roh baik untuk memberi kesuburan ladang dan bibit yang ditanam. Puncak dari ritual ini adalah tarian Hudoq.

"Kalau kami enggak berladang, tradisi ini akan punah," terang dia.

Avun meminta pemerintah daerah stop menuding masyarakat bakar ladang sebagai faktor utama pemicu karhutla.

Sebab, dengan cara nomaden atau ladang berpindah pun mereka sudah meninggalkan, karena dianggap merusak hutan. 

Tapi izin pembukaan hutan dan lahan untuk kepentingan investasi perkebunan kelapa sawit ataupun pertambangan yang justru merusak hutan masih terjadi.

“Baru pemerintah juga tidak beri apa-apa ke masyarakat. Kalau kami diminta tinggalkan cara bakar berladang, beri cara baru, beri apakah, usahakah atau apalah,” terang dia.

Senada, Sekretaris Dayak Modang di Kutai Timur, Beng Lui juga bilang ada warganya yang berhenti berladang karena takut dipenjara.

“Anggota kami tidak urus ladangnya karena takut. Semacam diancam kalau sampai terbakar diancam pidana,” ungkap Beng Lui kepada Kompas.com melalui sambungan ponsel, Sabtu (29/8/2021).

Beng Lui menceritakan rata-rata masyarakat Dayak bersihkan ladang dengan membakar. Jika cara itu dianggap jadi faktor picu kebakaran hutan dan lahan (karhutla), maka ia meminta solusi. 

“Kalau diubah polanya, beri kami cara baru bikin pertanian model baru yang modern,” tegasnya.

“Tapi ujung-ujungnya tetap masyarakat yang kena. Masyarakat selalu jadi kambing hitam,” terang dia.

Penyidik Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Kalimantan, Lilik Kardiansyah meyakini banyak perusahaan turut kontribusi picu karhutla di Kaltim.

"Tapi pembuktian itu yang susah. Saya percaya perkebunan sawit ikut andil dalam proses terjadi (karhutla) walaupun tidak 100 persen," ungkap dia saat dihubungi Kompas.com akhir Agustus 2021.

Akademisi Hukum dari Universitas Mulawarman Samarinda, Herdiansyah Hamzah menuturkan, ketentuan hukum dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang diubah melalui Undang-undang (UU) 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Dalam ketentuan Pasal 22 angka 24 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 69 ayat (1) UU PPLH itu, secara eksplisit melarang pembukaan lahan dengan cara membakar.

Namun larangan dalam norma tersebut dikecualikan bagi masyarakat yang melakukan kegiatan dimaksud, dengan memperhatikan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing seperti dijelaskan dalam Pasal 69 ayat (2).

“Kalau kita baca penjelasan Pasal 69 ayat (2) ini, kearifan lokal yang dimaksud adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegahan penjalaran api ke wilayah sekelilingnya,” kata pria yang biasa disapa Castro saat dihubungi Kompas.com.

https://regional.kompas.com/read/2021/09/01/053000778/kala-dayak-bahau-tak-lagi-berkebun-karena-takut-dipenjara

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke