Salin Artikel

Kisah Rofin, Sarjana Pendidikan yang Pilih Beternak Ayam Kampung dan Sukses Atasi Stunting

Meski bergelar sarjana pendidikan, Rofin tidak mengajar. Ia justru memilih menjadi peternak ayam kampung.

Baginya, beternak ayam kampung adalah sebuah peluang menjanjikan. Di samping itu, dengan beternak ayam kampung, Rofin juga ikut andil membantu persoalan stunting di wilayahnya.

Beternak sejak 5 tahun lalu

Pemuda kelahiran Kecamatan Ile Bura, Kabupaten Flores Timur itu menuturkan, dirinya mulai beternak ayam kampung pada tahun 2016 lalu.

“Saya lihat tidak banyak yang beternak ayam kampung, padahal selalu dibutuhkan dan sehat untuk dikonsumsi. Saya mulai beternak ayam kampung tahun 2016 menggunakan modal seadanya sisa uang usai menikah,” tutur Rofin Muda kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Kamis (26/8/2020).

Rofin mengaku, sebelumnya ia bekerja di berbagai perusahaan distributor di Kota Maumere. Setelah menikah, ia mencoba banting setir dengan beternak ayam.

Menjadi peternak, aku dia, memang impiannya sejak lama. Prospek ternak ayam bangkok dan kampung cukup bagus.

Rofin pun membeli tanah di sebelah selatan rumah tinggalnya untuk jadi tempat memelihara ayam.

Dua tahun berlalu, ayamnya berkembang sesuai harapan.

Hingga akhir tahun 2019, ada sebuah perusahaan bersurat kepadanya dengan alamat Dinas Pertanian Kabupaten Sikka.

“Suratnya ke saya, tapi pihak dinas tidak mengetahui alamat. Kebetulan sopir di dinas tersebut tinggal di desa saya melihat surat tersebut, sehingga ia antar suratnya ke rumah," ungkapnya.

"Isi suratnya, perusahaan tersebut mengajak kerja sama ternak ayam kampung unggulan dari Balitbang Kementerian Pertanian. Saya sangat senang membacanya," sambung dia.

Bulan Januari 2020 Rofin mulai memesan 800 ekor ayam. Tak berselang lama, pandemi melanda Indonesia.

Sempat mengalami stres, Rofin pun dikuatkan dengan orang-orang di sekitarnya.

"Mereka bilang, jika ada persoalan stunting dan membutuhkan telur dan ayam kampung mereka pasti kesulitan kalau tidak ada saya," katanya.

Ikut andil memberantas stunting

Ternyata, omongan mereka ada benarnya. Pada Mei 2020, perangkat Desa Kajowair, Kecamatan Hewokloang datang menemuinya dan mengajak kerja sama memberantas stunting.

Dari situlah, desa lainnya hingga pihak Puskesmas mengajaknya bekerja sama.

“Dulu saya bingung mau jual kemana. Sekarang pusing, karena harus menjaga stok dan keberlanjutan ayam," ujarnya.

Ia menyebutkan, dalam seminggu, dirinya harus menyediakan 20 sampai 30 papan telur untuk pelanggan.

"Setiap hari saya harus mengirim 180 butir telur ayam ditaksasi Rp 5.000/butir dan daging ayam kampung Rp 150.000/ekor sesuai ukuran berat berkisar 1 kg-1,5 kg sebanyak 16 ekor/minggu," ungkapnya.

Ia mengaku, di tengah pandemi Covid-19 banyak juga yang membeli telur ayam untuk menaikan imun tubuh.

Dalam merawat ternaknya, Rofin mengatakan,tidak menggunakan obat-obatan kimia dan membuat ramuan sendiri berbahan lokal.

Sementara makanan ayam dari bahan lokal berupa jagung, dedak padi, konsentrat dan protein.

“Setiap minggu sekali saya memberi jamu sebagai ramuan untuk ayam dan dicampur dengan makanan agar telurnya lebih sehat dikonsumsi,” paparnya.

Diakui Rofin, selama 3 kali mencoba beternak, sebanyak 200 ekor ayamnya mati. Namun, ia tetap memilih bertahan jadi peternak.

Rofin mengaku prihatin melihat angka stunting yang cukup tinggi di Kabupaten Sikka.

Karena itu, ia pun berdiskusi dengan istri untuk mengambil bagian mengatasi persoalan tersebut.

Di tahun 2019 lalu, Rofin mengajukan kerja sama dengan sejumlah desa di Kecamatan Hewokloang. Ia menawarkan ide kerja sama dengan menyuplai telur dan daging ayam kampung setiap hari selama tiga bulan untuk anak stunting, gizi buruk, dan ibu hamil.

Tak disangka, penawaran itu direspons positif oleh pemerintah desa.

Sehingga, di tahun 2020, ada lima desa yakni Desa Munerana, Wolomapa, Hewokloang, Kajowair dan Desa Baomekot, mau bekerja sama.

Ia menyebutkan, kerja sama menekan angka stunting dengan lima desa cukup berhasil. Tercatat, ada penurunan angka stunting daripada tahun sebelumnya.

Angka stunting di desa Munerana tahun 2020 turun jadi 15 kasus dari sebelumnya 29, desa Wolomapa turun menjadi 13 kasus dari 29, dan desa Hewokloang dari 30 kasus turun menjadi 3 kasus.

Kemudian, desa Kajowair dari 64 kasus turun menjadi 40 kasus dan desa Baomekot 24 kasus turun menjadi 12 kasus.

“Saya bangga karena angka stunting di lima desa ini turun. Ini kebanggaan yang luar biasa bagi saya," ujar Rofinus.

Meskipun secara bisnis keuntungan tak banyak, ia tetap bangga karena misi utamanya adalah untuk menyelamatkan anak manusia.

Baginya, untung sedikit, tetapi itu merupakan kepuasan tersendiri ketika banyak anak tertolong.

"Sekarang ini banyak desa yang menghubungi saya untuk kerja sama mengatasi stunting. Mereka mau bekerja sama seperti desa lainnya," tutur Rofin.

Rofin pun mengajak kepada generasi milenial agar tidak malu dan gengsi menjadi peternak dan petani.

"Jangan terlalu kejar kerja di kantor. Sekarang potensi peternakan dan pertanian da harus dimanfaatkan. Kita sukses tidak harus jadi ASN. Kerja apa saja, jika ada niat dan tekun, pasti berhasil," pungkasnya.

https://regional.kompas.com/read/2021/08/26/144751578/kisah-rofin-sarjana-pendidikan-yang-pilih-beternak-ayam-kampung-dan-sukses

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke