Salin Artikel

"Saya Hanya Bisa Lihat Orang-orang Ambil Bantuan Beras dan Duit, Hati Saya Menangis"

Pada 2006 silam, sang suami yang bernama Subaru meninggal dunia.

Pasangan tersebut tidak memiliki keturunan sehingga Sumirah kini hidup seorang diri dan hanya ditemani dua ekor kucing.

Ketika Kompas.com mendatangi rumahnya, Selasa (24/8/2021), Sumirah mengaku menggantungkan hidup dari hasil berjualan keripik dan jajanan anak-anak sejak suaminya meninggal dunia.

Sumirah mengaku, ia sudah menjadi warga Kota Surabaya sejak tahun 1959.

Kala itu, dirinya masih berusia 14 tahun dan sudah menikah dengan almarhum suaminya, Subari.

Semasa hidup, ia melakukan beragam pekerjaan, mulai dari menjadi perawat anak-anak, menjadi tukang pijat, hingga berdagang.

"Sebelumnya saya merawat anak-anak kecil, sekarang sudah tidak kuat, sudah tua. Sama pijat juga kalau ada orang memanggil," kata Sumirah ditemui di rumahnya, Selasa (24/8/2021).

Belum mendapatkan bantuan

Sumirah menyampaikan, ia bertahan hidup dengan belas kasihan dari para tetangga.

Terlebih lagi, ia mengaku tak pernah mendapat uluran bantuan berupa sembako maupun uang tunai dari perangkat pemerintahan setempat selama pandemi Covid-19.

Untuk membayar sewa indekos pun, Sumirah menggantungkan uluran tangan para dermawan yang berasal dari tetangga dan warga sekitar.

Sumirah menggabungkannya dengan uang hasil penjualan keripik.

"Saya kerja seadanya, tempatnya ngekos Rp 250.000 per bulan," kata Sumirah.

Selama pandemi Covid-19, baik saat PSBB maupun PPKM saat ini, ia mengaku tak pernah mendapat bantuan sekali pun dari RT, RW, kelurahan, hingga kecamatan setempat.

Ia tak tahu mengapa orang seperti dirinya tak mendapatkan bantuan.

"Tidak pernah, saya tidak pernah dapat (bantuan selama Covid-19). Saya sudah tanya RT/RW (terkait bantuan), katanya ndak ada jatahe (jatahnya), bilang begitu, Nak," tutur Sumirah, menitikkan air mata.

Sambil sesekali menyeka air mata dengan hijab hitamnya, Sumirah menjelaskan, dirinya juga tak pernah didata, baik oleh pihak kelurahan, kecamatan, maupun petugas dari Pemkot Surabaya lainnya.

Terakhir, pemerintah mendata namanya perihal Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada 2009 dan 2013.

Setelah itu, ia tak pernah lagi mendapatkan bantuan dari pemerintah.

Padahal, Sumirah telah menyerahkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk pendataan lebih lanjut kepada RT-RW, di antaranya seperti fotokopi KTP, KK, dan SKTM.

Namun, hingga saat ini, dirinya tak kunjung mendapatkan bantuan.

"Saya pernah tanya ke Pak RT, 'Lah kok belum dapat (bantuan) apa-apa, Pak?' Dia bilangnya belum ada jatahnya. Saya sampai pernah fotokopi sampai rangkap 20 pas diminta, ya belum ada kabar apa-apa, belum dapat apa-apa sama sekali," kata dia.

Sumirah lantas mempertanyakan apa sebenarnya yang membuat dirinya tak kunjung mendapatkan bantuan.

Padahal, data yang diperlukan, seperti KTP, KK, dan SKTM, telah dimilikinya dan diserahkan kepada pihak terkait.

"Saya sampai pernah bilang ke RT RW begini, 'Pak, saya mau tanya, apa saya ini gelandangan? Kok sampai tidak didata?' Lalu diminta KTP, tapi ya begitu, tidak ada kabar apa-apa," tutur dia.

Sumirah mengaku sedih ketika melihat tetangga dan warga lain mengantre bantuan dari pemerintah.

Dia hanya bisa memandangi, sembari berusaha tetap mengucap syukur dalam hati lantaran masih diberi kesehatan hingga saat ini.

"Mulai corona, saya tidak dapat (bantuan) apa-apa, sumpah demi Allah, Nak. Belum pernah juga disenggol (mendapat kabar)," ujarnya.

"Saya lihat orang-orang ambil beras dan duit, hati saya menangis, Nak," sambung Sumirah.

Andalkan bantuan warga sekitar

Untuk menyambung hidupnya, Sumirah mengaku hanya mengandalkan bantuan dari warga sekitar dan tetangga terdekat.

Meski begitu, Sumirah merasa bersyukur bisa hidup sehat di usianya saat ini.

"Setiap hari dikasih tetangga, saudara-saudara kiri kanan sudah seperti anak dan cucu-cucu saya sendiri)," ujar perempuan kelahiran 18 Februari 1932 itu.

Ketika sakit pun, Sumirah mengaku kerap dirawat oleh tetangga dan warga yang peduli terhadapnya.

"Kalau sakit, saya didatangi dan dibantu tetangga dan ibu-ibu PKK. Tapi alhamdulillah, saya belum pernah sakit parah, pernah ke puskesmas, bilangnya sehat semua," tutur dia.


Sementara itu, tetangga kos Sumirah, yakni Eni Nurhayati (38), membenarkan perkataan Sumirah.

Ia telah menganggap Sumirah sebagai ibu sekaligus nenek baginya.

Eni mengaku iba dan kerap membantu Sumirah karena kondisi yang sebatang kara.

Bahkan, wanita berusia 89 tahun itu juga tak pernah mendapat bantuan dalam bentuk apa pun dari pemerintah selama pandemi Covid-19.

"Sehari-harinya, ya, dibantu tetangga, saya sudah seperti anak, cucu, sekaligus saudara, beliau di sini sejak saya masih kecil," kata dia.

Terkait bantuan yang tak pernah didapat, Eni mengaku telah membantu Sumirah untuk melengkapi pendataan agar bisa mendapatkan bantuan dari pemerintah selama pandemi ini.

Sayangnya, belum ada satu pun bantuan yang diterima Sumirah selama ini.

"Sudah diajukan bantuan, sampai kasihan saya, Mas. Yang muda tidak dapat bantuan tidak apa-apa, yang penting yang sepuh dulu yang dapat. Coba kalau ada tetangga Anda seperti itu, kan kasihan. Sudah lapor RT RW, sampai KTP juga sudah diperbaiki," ujar dia.

Agar bisa membantu meringankan biaya dan kehidupan Sumirah, Eni dan warga sekitar berinisiatif untuk menggalang bantuan seadanya.

Berapa pun hasil dan bentuk bantuannya, hasilnya langsung diberikan kepada Sumirah, tanpa harus menunggu campur tangan dari pemerintah.

"Kalau warga sini ya tetap bantu seadanya, kalau sakit ya dirawat bareng-bareng, patungan bareng-bareng, di sini ya seperti itu," tutur dia.

Meski begitu, ia berharap Pemerintah Kota Surabaya segera memberikan bantuan kepada Sumirah, termasuk jaminan kesehatan di masa tua Sumirah saat ini.

https://regional.kompas.com/read/2021/08/25/052000978/saya-hanya-bisa-lihat-orang-orang-ambil-bantuan-beras-dan-duit-hati-saya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke