Salin Artikel

Kisah Kampoeng Batara di Tepi Rimba Banyuwangi, Memupuk Rasa Cinta Kampung Halaman dan Kepercayaan Diri

Satu per satu menghitung mulai angka satu hingga 30. Pertama mereka menghitung dalam bahasa Indonesia. Kedua dalam bahasa Madura dan terakhir dalam bahasa Osing.

Tak lama berselang, mereka bermain melatih kekompakan, konsentrasi dan kreativitas dengan menyebutkan nama dirinya dan temannya.

Siapa yang namanya disebut harus menimpali dengan menyebut namanya dan nama temannya.

Siapa yang salah menyebut nama, maka harus berdiri dan memimpin teman-temannya.

Selanjutnya, anak-anak tersebut menggambar dan membaca buku bacaan yang menjadi koleksi Rumah Batara. Mereka juga berdiskusi.

Setelah itu, anak-anak ini diminta mempresentasikan apa yang dibaca dan digambar saat itu. Satu per satu anak-anak bercerita, sedankan yang lain mengajukan pertanyaan.

Ada yang malu. Namun banyak dari mereka yang sangat berani berbicara dan menjelaskan maksud buku yang dibacanya.

Kegiatan lainnya, bermain musik tradisional. Kadang juga melakukan jelajah alam. Anak-anak diminta mengenali hewan dan tumbuhan yang ada di sekitarnya.

Kegiatan anak-anak ini merupakan bagian dari Kampoeng Batara, sebuah wadah pendidikan alternatif di kampung di pinggir hutan Banyuwangi.

Kegiatan dilakukan hanya saat sekolah libur atau hari Minggu oleh anak-anak dengan rentang usia lima hingga 16 tahun.

Mereka anak-anak dari Lingkungan Papring yang terletak di pinggir hutan yang dikelola KPH Banyuwangi Utara.

Papring berjarak sekitar 15 kilometer atau bisa ditempuh dengan 30 menit perjalanan dari pusat Kota Banyuwangi.

Wilayah ini berada di pinggiran hutan KPH Banyuwangi Utara dengan kondisi jalan yang menanjak dan aspal yang sebagian sudah mengelupas.

Masuk ke dalam kampung, jalannya berupa batu dengan lebar tak kurang dari tiga meter.

Meski hanya berjarak 30 menit dari pusat Kota Banyuwangi, Papring dikenal sebagai daerah pelosok yang sulit dijangkau.

Siswa kelas 1 SMK Banyuwangi Jurusan Seni Tari ini masih ingat betul dulunya sangat pemalu.

Ia bahkan akan berlari jika bertemu orang yang bukan dari lingkungan sekitarnya.

"Dulu pemalu, enggak berani sama orang," kata Fendi, Mingu (22/8/2021).

Namun kini kepercayaan dirinya tumbuh. Ia tak akan ragu-ragu lagi jika diminta pentas atau menari di hadapan banyak orang.

Menurutnya kepercayaan dirinya mulai tumbuh setelah ia intens bermain dan belajar di Kampoeng Batara sejak 2015 lalu.

Fendi saat itu bersama tiga orang anak tetangganya menjadi yang pertama bergabung dengan Kampoeng Batara. Mereka bermain, belajar bersama hingga bermain musik.

Dulu awal memulai baru beranggotakan empat anak. Tempat yang dipakai yakni mushala yang ada di samping rumahnya.

Mereka mengundang anak-anak lainnya dengan bermain musik dan bergembira dengan permainan tradisional. Seiring waktu, jumlah anak yang ikut makin banyak.

Kini sudah lebih dari 40 anak terlibat aktif dalam kegiatan yang diadakan Kampoeng Batara.

Tempat bermainnya juga makin besar yang dinamai Rumah Bambu.

Kampoeng Batara tak pernah mengajak dan meminta orangtua agar anak-anaknya bergabung. Semua yang terlibat karena kemauan sendiri.

Kampoeng Batara didirikan oleh warga Papring bernama Widie Nurmahmudi (44).

Kampoeng Batara merupakan akronim dari kampung baca taman rimba. Sebab, kampungnya berbatasan langsung dengan hutan. Jarak rumah terakhir dengan hutan kisaran 100 meter.

Idenya sederhana yakni membuat tempat untuk bermain dan belajar anak-anak di sekitar rumahnya.

Tujuan utamanya yakni mengenalkan anak kepada lingkungan, budaya, seni, dan potensi tempat tinggalnya.

"Materi utamanya adalah yang ada di sekitar kita kepada anak-anak, remaja dan orangtua," kata dia.


Tumbuhkan rasa cinta pada kampung halaman

Widie mengaku mengalami sendiri kondisi tak tahu apa potensi kampung tempatnya lahir.

Banyak orang, kata Widie, tak mengenal kampung halamannya sama sekali. Misalnya mereka tak tahu potensi dan nama pohon yang ada di sekitarnya.

Di benaknya, dunia di luar kampung sendiri adalah tujuan mencari pendidikan, kerja, dan pengetahuan. Tidak ada kebanggaan sama sekali terhadap kampung sendiri.

"Sehingga yang di kampungnya ditinggalkan. Ketika mereka sudah keluar enggan pulang," katanya.

Padahal, kata Widie, di luar kampung belum tentu menjadi solusi semua kebutuhan. Sebab, jika tahu dan mengenal kampungnya maka bisa peroleh pendidikan hingga ekonomi.

"Dengan di kampung itu bisa jadi ruang untuk belajar hal sekitar. Lalu mengetahui persoalan dan bagaimana menyelesaikannya," katanya.

Di Kampoeng Batara, anak-anak diajari membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Membaca wajib dilakukan selama lima menit sebelum kegiatan.

Lalu berdiskusi. Hal ini menjadi penting untuk memberikan ruang kepada anak-anak untuk menyampaikan pendapatnya.

Sekolah, menurutnya bukan menjadi ruang komando atau anak hanya diminta menerima perintah dan penjelasan. Sekolah harus jadi ruang bagi anak untuk menyampaikan.

"Anak diberi ruang apa yang ingin kamu lakukan, apa yang impikan, apa yang tak disukai. Jangan dipaksakan," katanya.

Menurutnya, dengan berdiskusi dan menyampaikan pendapat membuat anak-anak memupuk kepercayaan dirinya. Ia mengakui dulu anak-anak Papring pemalu.

"Bahkan ada yang menangis kalau ketemu orang baru," katanya.

Sementara secara umum, dulu warga di kampungnya banyak yang malu hanya untuk sekadar mengaku sebagai warga Papring.

Alasannya, Papring dikenal sebagai daerah pelosok dengan jalan rusak dan terletak di pinggir hutan.

Harapannya, melalui pendidikan berbasis adat dan lingkungan, anak-anak bisa merawat tradisi dan menjaga akar budaya.

"Karena salah satu cara membangun bangsa adalah dimulai membangun kampungnya," kata bapak anak satu ini.

https://regional.kompas.com/read/2021/08/24/160604278/kisah-kampoeng-batara-di-tepi-rimba-banyuwangi-memupuk-rasa-cinta-kampung

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke