Salin Artikel

“Saya Tidak Sangka Masih Ada Daerah seperti Ini di Jawa”

Sekolah tersebut terletak di Desa Gunung Jampang, Kecamatan Bungbulang, Garut.

Andi pertama kali menginjakkan kaki di Desa Gunung Jampang pada Februari 2021. Guru muda asal Mesuji, Lampung, itu punya kesan tersendiri terhadap tempat tugasnya yang baru.

“Saya tidak nyangka masih ada daerah seperti ini di (Pulau) Jawa,” kata Andi sambil tertawa di Kantor Desa Gunung Jampang, Selasa (17/8/2021).

Saat ditemui, Lulusan Universitas Lampung itu menceritakan pengalamannya saat pertama kali menempuh perjalanan ke SMPN Satu Atap Bungbulang.

Sekitar dua tahun lalu, ia bersama istrinya menempuh perjalanan dari pusat Kecamatan Bungbulang menggunakan sepeda motor. Mereka sampai terjatuh sebanyak lima kali.

Jarak dari pusat Kecamatan Bungbulang ke sekolah itu sekitar 20 kilometer. Medan yang ditempuh pun berat. Sebagian besar jalan baru dilapis batu, dengan topografi menanjak terjal dan menurun curam. Jurang sedalam puluhan meter juga berada di sisi jalan.

Gunung Jampang merupakan desa pemekaran yang wilayahnya diambil dari Desa Mekarbakti, Kecamatan Bungbulang dan Desa Linggarjati, Kecamatan Pamulihan. Satu-satunya akses jalan yang bisa ditempuh kendaraan berukuran besar hanya dari Kecamatan Pamulihan, kondisinya pun rusak berat.

Sementara akses jalan dari Kecamatan Bungbulang berukuran kecil di beberapa titik, dengan jurang di sisi jalan. Jika ingin melewati jalan ini, kendaraan yang digunakan harus berukuran kecil dengan mesin penggerak empat roda (4x4).

Minim sinyal internet

Tak hanya jalan, Andi kaget dengan keterbatasan jaringan komunikasi di desa itu. Sejak dulu, layanan telepon seluler belum menjangkau desa tersebut secara maksimal.

“Sempat ada online (internet) di sekolah dari desa, tapi dicabut. Padahal sebetulnya sangat membantu,” jelasnya.

Jaringan telepon seluler hanya bisa diakses di tempat tertentu yang posisinya lebih tinggi.

“Jaringan ada tapi di puncak gunung, harus naik dulu, makanya kalau absensi online harus ke gunung dulu, tapi perjalanannya jauh,” katanya.

Setelah ada akses internet di kantor desa, Andi bisa melakukan absensi online dari sana. Ia juga bisa mengunggah laporan peserta didik dan tugas siswa dari kantor desa.

Andi kini mengontrak sebuah rumah di dekat SMPN Satu Atap Bungbulang. Menurutnya, sempat ada pemasangan jaringan internet di sekolah, setelah kantor Desa Gunung Jampang terkoneksi internet.

Namun, belakangan sambungan internet itu diputus. Koneksi internet hanya bisa diakses di kantor desa.

Kepala Desa Gunung Jampang Rahmat Hidayat yang ditemui terpisah mengatakan, desa yang baru berdiri pada 2005 ini memang sempat tak bisa menikmati layanan seluler hingga internet.

Namun, Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Garut memasang jaringan internet ke desanya pada 2020.

“Awalnya memang untuk sekolah diberi sambungan khusus, tapi belakangan diputus lagi karena perangkatnya diganti dan tersambar petir,” kata Rahmat saat ditemui di pusat Kota Bungbulang, Senin (16/8/2021).


Rahmat mengaku sudah meminta agar jaringan internet ke sekolah bisa tetap diberi sambungan. Namun, pengembang jaringan yang memasang tidak bisa melaksanakannya meski telah mencoba dengan berbagai cara karena perangkat yang berbeda.

Oleh karena itu, warga dan para guru mengakses internet dari kantor desa. Meski begitu, masih banyak warga yang harus pergi ke puncak bukit untuk mendapatkan sinyal internet. 

Biasanya, mereka mengunjungi Bukit Sinyal di Kampung Ciawitali.

“Ada yang pakai satelit, tapi belakangan diputus karena biayanya mahal, kalau yang pakai GSM harus ke puncak bukit, seperti bukit sinyal di Kampung Ciawitali,” katanya.

Salah satu perangkat Desa Gunung Jampang, Yaya mengatakan, penyediaan jaringan internet di kantor desa memudahkan warga mendapat informasi dari luar.

“Walau masih terbatas, sebagian warga terbantu jika ingin tahu harga-harga komoditas pertanian di kota,” jelasnya saat berbincang di Kantor Desa Gunung Jampang, Selasa.

Desa Gunung Jampang terkenal dengan tanaman kopi. Menurut Yaya, 70 persen warga desa merupakan petani kopi arabika. 

Rata-rata setiap satu petak lahan kebun kopi milik warga bisa menghasilkan 100 kilogram kopi.

“Jumlah penduduk ada sekitar 3.000 jiwa, penduduk dewasa yang memiliki hak pilih mencapai 1.200 orang,” jelas Yaya.

Manfaatkan internet untuk usaha

Berbeda dengan di Gunung Jampang, di pusat Kota Bungbulang, meski tidak semua layanan telepon seluler berkualitas baik, akses internet jauh lebih baik meski kondisi geografis di pusat kota tetap berbukit-bukit. Kondisi jaringan internet yang baik ini dimanfaatkan warga untuk memasarkan produknya secara online.

Warga Kampung Cigolewang, Desa Bungbulang, Kecamatan Bungbulang, Yusuf Supriatna Guntaram (26), sengaja berjualan kuliner rumahan, seperti cimol secara online sejak setahun lalu.

Ia memanfaatkan media sosial. Dengan modal tak lebih dari Rp 100.000, usaha Yusuf mampu bertahan sampai saat ini.

“Jualan online lebih santai, produksi bisa sesuai pesanan, usaha dari rumah tidak perlu buka lapak di pinggir jalan,” katanya saat ditemui, Senin (16/8/2021).


Ketersediaan jaringan internet dan banyaknya pengguna media sosial di kalangan remaja, membuat usaha kuliner Yusuf bertahan dan berkembang. Apalagi, kuliner buatannya banyak disukai anak-anak dan remaja. Omzet usahanya bisa lebih besar karena tak banyak biaya untuk membuka lapak.

“Kendalanya, kalau cuaca hujan, sinyal jelek, tapi kalau cuaca bagus, biasanya banyak yang pesan dan kita antar langsung ke rumahnya,” katanya.

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Garut dan Universitas Pasundan Bandung Hendro Sugiarto mengakui, perubahan pola perilaku masyarakat yang memanfaatkan jaringan internet untuk kegiatan ekonomi, sudah mulai terlihat hingga ke daerah-daerah.

“Meski perlu riset mendalam, tapi indikator-indikatornya sudah terlihat, jadi bukan hanya di masyarakat perkotaan saja perubahan ini terjadi,” jelasnya saat dihubungi lewat sambungan telepon, Jumat (20/8/2021).

Hendro menjelaskan, perubahan perilaku masyarakat ini, penyebabnya dikenal dengan double disruption yaitu terjadinya arus perkembangan teknologi yang begitu cepat serta pertumbuhan kalangan milenial.

Saat ini, double disruption ditambah lagi dengan pandemi hingga akselerasi perubahan prilaku masyarakat makin cepat.

Hendro yang juga kandidat doktor bidang ilmu pemerintahan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) melihat, dengan pola bisnis berbasis digitalisasi ini, para pelaku usaha tidak perlu modal besar untuk menghasilkan keuntungan.

“Konsep bisnis digital ini, asset light model, dengan input minimal, bisa menghasilkan output yang maksimal,” katanya.

Pegiat Informasi Teknologi (IT) yang juga konsultan IT di Garut, Aa Subandoyo melihat, kalangan milenial saat ini lebih siap menghadapi perubahan perilaku pasar. Karena, kalangan milenial lebih aktif di media sosial dan platform market place.

“Mereka (milenial) itu aktif mulai lewat komen, update konten dan status, secara algoritma dari platform media sosial dan marketplace itu bagus,” jelas Aa saat dihubungi lewat sambungan telepon, Jumat (20/8/2021).


Mereka yang aktif berselancar di media sosial atau platform market place, menurut Aa, akan dimanjakan oleh algoritma yang digunakan medsos dan marketplace. Hal ini, secara tidak langsung akan membuat akun mereka yang menampilkan produk, secara tidak langsung terpromosikan kepada pasar yang tepat.

“Di Kecamatan Cihurip saja, ada orang yang mungkin SMP saja tidak lulus, pendapatannya dari jualan makanan online sehari bisa lebih dari Rp 500.000, padahal jalan ke rumahnya saja jelek, pasarnya warga di kecamatan itu saja,” katanya.

Aa yang sering melakukan survei lapangan mengaku kaget melihat potensi perputaran ekonomi dari transaksi online. Salah satu ciri dari adanya peningkatan transaksi online di daerah adalah, keberadaan jasa logistik yang saat ini jaringannya sudah masuk ke desa-desa.

Usaha Pemkab Garut sentuh daerah blankspot

Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Garut, Muksin yang dihubungi terpisah mengakui, kondisi geografis Kabupaten Garut mempersulit pengembangan jaringan internet. Pada 2020, tercatat ada 150 desa yang masuk kategori blankspot.

“Tahun 2021 ini, atas dukungan bupati, kita membuka rintisan khusus untuk desa-desa blankspot agar internet minimal bisa masuk sampai kantor desa,” katanya saat dihubungi lewat telepon genggamnya, Jumat (20/08/2021).

Pada 2021, semua desa yang masuk kategori blankspot sudah bisa tersedia jaringan internet meski di beberapa desa dengan kondisi geografis yang berat, baru hanya sampai kantor desa.

“Kalau harus meng-cover seluruh pelosok, tidak mungkin dengan anggaran yang ada, makanya strateginya minimal ke kantor desa dulu merata,” katanya.

Pengembangan jaringan internet agar bisa sampai ke masyarakat, kata Muksin, akan dikembangkan oleh pemerintah desa dengan pengelolaannya bisa dilakukan oleh Badan Usaha Milik Desa (Bumdes).

“Apakah membuka wifi publik atau dengan menggandeng mitra usaha untuk mengembangkan akses internet pada masyarakat,” katanya.

Selain menyediakan jaringan internet, Dinas Kominfo Kabupaten Garut juga bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika melakukan sosialisasi terkait literasi digital agar internet yang telah tersedia, dapat dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan produktif.

“Sudah banyak pemerintahan desa yang mulai mengembangkan aplikasi untuk pelayanan kepada masyarakat secara online, ini inovasi dari pemerintahan desa,” katanya.

https://regional.kompas.com/read/2021/08/21/133309678/saya-tidak-sangka-masih-ada-daerah-seperti-ini-di-jawa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke