Salin Artikel

Kisah Porter Stasiun Tugu Yogya, Rela Tidur di Stasiun agar Tetap Bisa Kirim Uang ke Istri

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Stasiun Tugu di Kota Yogyakarta tampak sepi saat perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4. 

Peron-peron yang biasanya riuh, kini sepi. Bangku-bangku yang biasanya diperebutkan oleh para penumpang, kini hanya tergeletak di ruang tunggu penumpang tak jauh dari peron kereta.

Suara pengumuman keberangkatan kereta sekali-sekali terdengar memecah kesunyian di peron dan ruang tunggu.

Pada Jumat (20/8/2021) pukul 10.30 WIB, sisi depan Stasiun Kereta Tugu Yogyakarta hanya disinggahi beberapa mobil pengantar penumpang. 

Saat penumpang menurunkan barang dari mobil pengantar, bergegas para porter atau pramuantar mendatangi.

Para porter menawarkan jasanya untuk mendapatkan penghasilan hari itu juga.

Sepinya stasiun tak menyurutkan semangat mereka untuk tetap melayani penumpang sebagai porter.

Namun sayang, banyak dari para penumpang yang enggan untuk menggunakan jasanya siang itu.

Sepinya penumpang akibat pembatasan karena pandemi Covid-19 ini berdampak bagi penghasilan bagi para Porter di Stasiun Tugu. 

Lima orang porter duduk di sudut stasiun saat menunggu para penumpang datang. Mereka saling berkelakar satu sama lain untuk mengusir penat sekaligus membunuh waktu, sembari menunggu penumpang datang.

Mereka mengenakan seragam berwarna biru dan oranye serta menggunakan penutup kepala berupa blankon yang menjadi salah satu identitas Yogyakarta.

Salah satu porter, Suratman (52), duduk di sudut Stasiun Tugu Yogyakarta. Sejak pagi hingga pukul 10.30 WIB, dirinya belum mendapatkan satu penumpang yang menggunakan jasanya.

Selembar kain putih ia sampirkan di atas bahunya, sesekali ia menyeka keringat yang keluar di dahinya menggunakan kain itu.

Walaupun belum sama sekali mendapatkan penumpang, ia tetap menunggu dengan sabar bersama kawan-kawan sejawatnya.

Suratman asal Wonosari, Gunungkidul, itu sejak tahun 1980 sudah bekerja di sekitar Stasiun Tugu Yogyakarta. Saat mengawali kariernya, ia bekerja sebagai tukang bersih-bersih hingga sekarang ia menjadi seorang porter.

“Saya masuk stasiun ini dari tahun 1980, waktu itu jadi tukang sapu di sini sampai sekarang jadi porter,” katanya saat ditemui di Stasiun Tugu Kota Yogyakarta, Jumat (20/8/2021).

Suratman, ayah dua anak ini, menceritakan, keadaan saat masa pandemi Covid-19 merupakan kondisi terberat dalam hidupnya.

Bagaimana tidak, sebelum pandemi, ia bisa mendapatkan penumpang yang menggunakan jasanya puluhan kali dalam satu hari.

Sekarang penumpang yang menggunakan jasanya bisa dihitung dengan jari setiap harinya.

"Pokoke sengsara karo sengsara (pokoknya sengsara dan sengsara)," katanya saat ditanya kondisi selama perpanjangan PPKM di Yogyakarta ini.

Akalnya tak pernah berhenti untuk menghadapi situasi ini. Untuk mempertahankan dapurnya tetap mengebul, ia rela untuk tinggal di Stasiun Tugu untuk sementara waktu. Hal itu dilakukan dengan satu tujuan, yakni agar ia tetap bisa mengirim uang ke rumahnya.

“Istri saya Wonosari, kalau saya pulang biaya Rp 35.000 sekali jalan. Kalau kayak gini saya lebih baik enggak pulang, tidur di stasiun di sini," katanya. 

Suratman bercerita bahwa sebelum PPKM diterapkan atau sebelum pandemi, lebih tepatnya ia nglaju dari Wonosari ke Kota Yogyakarta.

"Dulu nglaju,  kan ini satu hari satu malam, ini masuk besok 10 siang libur lagi. Untuk menghemat. Kedua perjalanan sana ke sini kan sayang, jadi untuk makan sehari-hari. Terkumpul saya kirim sana (rumah)," ujarnya. 

Dengan cara itu, ia dapat mengirim uang ke Istrinya yang berada di Wonosari dan sesekali membelikan anaknya pulsa atau paket data. Walaupun ia tahu, tidur di stasiun berarti ia harus rela tidurnya diganggu gemuruh kereta.

Suratman mulai bercerita, pada pagi ini hingga siang hari baru ada dua mobil yang mengantarkan penumpang.

Berbeda dengan sebelum pandemi, penumpang sekarang ini sedikit sekali membawa barang.

Tarif yang dipatok bervariasi, mulai dari Rp 20.000. Tak jarang para penumpang memberikan tip atau uang lebih bagi para porter.

“Kalau sekarang saya jarang pulang sehari bisa mendapatkan Rp 60.000, yang penting itu telaten dan tetap bersabar karena rezeki ada yang atur,” katanya.

Ia tak bisa berlama-lama mengeluh karena kondisi ini tidak hanya dirinya rasakan. Tetapi, juga dirasakan oleh para pekerja lainnya.

“Kami berharap dapat kembali normal, karena kalau normal itu kan banyak wisatawan yang datang dengan menggunakan kereta. Hotel banyak yang tutup, tukang becak juga ikut terdampak,” katanya.

Suroso (45) asal Sleman, teman sejawat Suratman, juga mengalami hal serupa. Ia yang sudah menjadi porter sejak tujuh tahun lalu juga mengalami hal berat ini. Bahkan ia menceritakan, banyak kawannya yang alih profesi selama pandemi ini.

“Kita porter total ada 100 orang, dibagi menjadi dua shift 50 orang. Kalau sekarang ini paling yang datang hanya 15 orang,” katanya.

“Banyak yang alih profesi, ada yang jadi tukang bangunan, asal dapat penghasilan yang halal,” ucapnya.

Sekarang ini perjalanan kereta turun drastis, dari yang satu hari sebanyak 30 perjalanan sekarang ini hanya sebanyak delapan perjalanan, itu pun penumpang sepi.

"Kereta belum banyak yang jalan, sepi penumpangnya juga. Sekarang ada aturan kalau 12 tahun ke bawah dilarang naik kereta. Syarat sudah vaksin, sekarang banyaknya pekerja, mereka bawaannya sedikit,” ujar dia.

Suratman dan Suroso serta rekan-rekan porter lainnya berharap kondisi dapat kembali normal kembali, perjalanan kereta kembali normal seperti sebelum pandemi.

https://regional.kompas.com/read/2021/08/21/070000278/kisah-porter-stasiun-tugu-yogya-rela-tidur-di-stasiun-agar-tetap-bisa-kirim

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke