Salin Artikel

Rapuh dan Dibalut Kain Merah, Ini Sejarah Candi Lor Peninggalan Mpu Sindok di Tahun 937 Masehi

Namun pemasangan kain merah putih di badan candi menimbulkan kekhawatiran warga karena kondisi bata bangunan candi tersebut sangat rapuh.

Apalagi untuk memasang kain merah putih yang cukup besar, seseorang harus memanjat bangunan candi tersebut yang kemungkinan bisa merusak struktur candi.

Hal tersebut disampaikan Sukadi, pegiat sejarah dari Komunitas Pecinta Sejarah Nganjuk. Ia mengatakan hanya dengan sedikit sentuhan dan gesekan, batu bata candi tersebut bisa ambrol.

“Melihat pemandangan kain merah putih dibalutkan pada tubuh Candi Lor rasanya miris sekali. Bangga dengan warna merah putih, tapi miris ketika melihat bangunan Candi Lor dipanjat saat memasang kain yang begitu besar,” kata Sukadi.

Padahal menurut dia, pemerintah setempat sebelumnya sudah membuat tulisan larangan untuk memanjat bangunan candi.

“Pemerintah melalui Dinas Pariwisata sudah memberi tulisan dilarang memanjat karena memang kondisinya sudah mengkhawatirkan. Kalau menurut saya, kegiatan seperti itu bukan nguri-uri budaya bangsa, justru mempercepat kerusakan,” tuturnya.

Ia mengatakan jika akan melakukan kegiatan sebaiknya dilakukan di sekitar bangunan sehingga tidak mengancam keselamatan situs.

“Alangkah baiknya kegiatan cukup dilakukan di bawah candi atau sekitaran, agar tidak menambah kekhawatiran. Pemda Nganjuk segera bertindak untuk Cand Lor agar bebas dari kegiatan yang mengancam keselamatan situs,” pintanya.

Bangunan candi yang sudah rusak parah tersebut terdiri dari tumpukan bata yang menyerupai kerucut. Oleh warga sekitar, candi tersebut dinamai Candi Boto karena terdiri dari tumpukan batu bata.

Candi Lor didirikan oleh raja pertama Kerajaan Medang atau Mataram Hindu periode Jawa Timur yakni Mpu Sindok.

Diperkirakan candi tersebut ada sejak 937 masehi dan dibangun untuk memperingati kemenangan Mpu Sindok saat melawan tentara Melayu dari Wangsa Sailendra.

Perang tersebut terjadi antara 928 sampai 929 di sekitar Anjuk Ladang. Hal tersebut berdasarkan penemuan jayastamba atau tugu kemenangan di sekitar Candi Lor.

Saat perang, penduduk sipil Anjuk Ladang membantu Mpu Sindok. Sehingga saat mereka menang, Mpu sindok membangun Wangsa Isyana di Tamlang.

Delapan tahun setelah peperangan tersebut, Mpu Sindik memindahkan pusah pemerintahan dari Tamlang ke Watugaluh yang sama-sama berada di timur Sungai Brantas.

“Nah, delapan tahun kemudian baru diberikan hak sima swatantra kepada rakyat kakatikan di Anjuk Ladang tahun 937 masehi, delapan tahun setelah penobatan (Mpu Sindok menjadi raja),” ungkap Sukadi.

Mpu Sindok juga memerintahkan agar dibangun Candi Lor di Anjuk Ladang, yang sekarang masuk Desa Candirejo Nganjuk. Kompleks Candi yang dibangun luasnya diperkirakan mencapai 82-92 hektare.

Ratusan tahun berlalu, Candi lor hanya menyisakan tumpukan batu bata merah yang masih berdiri karena ditopang akar pohon kepuh berukuran besar.

Warga sekitar meyakini pohon kepuh di atas candi itu berusia ratusan tahun.

Akar pohon inilah yang menopang bangunan, menjalar dan mencengkeram bagian selatan badan candi.

Diperkirakan akar pohon tersebut menajdi salah satu faktor bangunan inti Candi Lor masih bertahan.

Sukadi juga mengatakan jika keberadaan Candi Lor itu pernah dicatat oleh Thomas Stamfford Raffles, Gubernur-Letnan Hindia Belanda yang memerintah tahun 1811 hingga 1816.

Kegiatan tersebut diadakan oleh Yayasan Keraton Mpu Sindok Jayastamba dan BPBD Nganjuk memutuskan untuk bergabung dengan kegiatan tersebut.

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Nganjuk Abdul Wakid mengatakan proses pemasangan kain merah putih tersebut sesuai dengan prosedur dan penuh kehati-hatian.

Ia mengklaim tidak ada kerusakan berarti saat pemasangan kain merah putih di badan cando.

“Jadi kalau kaitannya dengan kerusakan, enggak usah khawatir, kami juga sudah berusaha sangat hati-hati,” jelas Wakid saat dihubungi Kompas.com, Minggu (15/8/2021).

“Kami juga memaklumi karena ini (inventarisasi) cagar budaya, saya juga pernah (berdinas) di Dinas Pariwisata jadi sangat memahami,” lanjut dia.

Acara ruwatan tersebut dilaksanakan pada Minggu (15/8/2021) sekitar pukul 14.00 WIB dengan protokol kesehatan yang ketat.

“Kemarin juga sudah kita semproti dengan disinfektan. Terus nanti juga kita siapkan untuk hand sanitizer. Jadi jangan khawatir, saya sendiri juga orang Satgas juga paham kaitannya dengan protokol kesehatan ini,” kata dia.

Menurutnya kegiatan yang digelar di Candi Lor tak ada hubungannya dengan kepentingan pribadi, politik atau golongann.

“Kami ikut kegiatan ini untuk doa bersama dalam rangka agar penyebaran Covid-19 ini biar segera berakhir. Kegiatan ini dari yayasan yang sudah dilakukan setiap tahun, dan kami dulu juga pernah hadir,” sambung Wakid.

“Ini murni doa untuk mendoakan kepada seluruh masyarakat yang ada di Nganjuk khususnya, dan umumnya masyarakat yang ada di seluruh Indonesia agar segera terhindar dari virus Covid-19 ini,” sebutnya.

SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Usman Hadi | Editor : Khairina, Robertus Belarminus, Dony Aprian)

https://regional.kompas.com/read/2021/08/15/161000278/rapuh-dan-dibalut-kain-merah-ini-sejarah-candi-lor-peninggalan-mpu-sindok

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke