Salin Artikel

Filosofi Udeng, Bukan Sekadar Ikat Kepala Masyarakat Bali

Ikat kepala merupakan sebuah tradisi unik yang banyak dipakai oleh berbagai suku di tanah air.

Terbuat dari kain dan dibentuk secara manual, penutup kepala tradisional ini dibuat dengan keterampilan, ketekunan, kejelian dan kesabaran, serta rasa estetika tinggi. Ikat kepala memiliki bentuk dan nama yang beragam tergantung dari mana ikat kepala itu berasal.

Di kalangan masyarakat Sunda, ikat kepala disebut dengan iket atau totopong.

Lain lagi di Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur bagian timur yang disebut iket (dan kemudian di Jawa Tengah berkembang menjadi blangkon) dan udeng untuk masyarakat Jawa Timur bagian barat.

Udeng ini juga menjadi sebutan untuk ikat kepala yang digunakan masyarakat di Bali.

Udeng dipakai oleh kaum laki-laki Bali baik dewasa atau pun anak-anak dari berbagai kalangan mulai atas hingga menengah ke bawah.

Udeng terbuat dari kain berukuran panjang 50 sentimeter dan cara pembuatannya juga tak bisa dilakukan sembarangan.

Tidak setiap orang bisa membuat udeng. Perlu keahlian khusus untuk membuatnya sehingga tampak apik dan sesuai dengan makna udeng itu sendiri.

Udeng di Bali bisa ditemui dengan beragam corak dan bentuk. Ada udeng warna putih, hitam, ataupun bermotif batik.

Setiap warna pada udeng ternyata memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Bali.

Parisadha Hindu Darma Indonesia (PHDI) Bali telah menetapkan udeng untuk ke pura haruslah berwarna putih sebagai makna kembali kepada fitrah, kejernihan, dan kedamaian pikiran, serta kemurnian diri.

Untuk berkabung, udeng berwarna hitam, dan untuk kegiatan sosial lainnya berwarna batik atau selain hitam dan putih.

Lekukan yang ada pada udeng khas Bali juga memiliki makna tersendiri. Udeng memiliki bentuk yang tak simetris.

Biasanya, bentuk dari udeng sengaja ditinggikan pada bagian kanan. Bentuk ini memiliki maksud tersendiri yakni mendorong pemakainya untuk selalu berusaha melakukan kebaikan sebagai representasi arah kanan.

Selain itu, pada udeng Bali ada ikatan yang sengaja ditempatkan pada bagian tengah kening.

Ikatan ini bermakna untuk memusatkan pikiran. Ada pula ikatan yang sengaja ditujukan untuk menunjuk ke atas yang menjadi representasi dari pemikiran lurus ke atas sebagai bentuk pemujaan kepada Tuhan.

Konsep Trimurti sebagai sebuah kesatuan dalam ajaran Hindu juga tecermin pada udeng.

Tarikan ujung kain yang ada di sebelah kanan adalah representasi dari Wisnu. Sementara itu, tarikan di sebelah kiri menjadi lambang dari Brahma.

Untuk tarikan pada ujung kain ke arah bawah direpesentasikan sebagai Siwa.

Udeng berwarna putih polos ini memiliki simpul hidup yang ada di depan, ditempatkan di sela mata yang merupakan lambang dari mata ketiga atau cundamani.

Warna udeng khusus ibadah umumnya putih polos atau putih dengan corak kuning di tepinya. Warna putih melambangkan kesucian, ketulusan dan kemurnian diri.

Udeng lainnya adalah dara kepak. Udeng yang satu ini biasa dipakai oleh para pemimpin adat.

Ciri khasnya adalah adanya penutup pada kepala yang menjadi simbol kemampuan pemimpin dalam melindungi rakyat.

Kemudian ada udeng beblatukan. Udeng ini secara khusus dipakai oleh pemangku dan tidak disertai bebidakan.

Udeng beblatukan punya ciri khas dengan simpul belakang yang diikat ke arah bawah. Hal tersebut ditujukan agar pemakainya mendahulukan kepentingan umum.

Melihat beragam makna dari sebuah udeng tadi, maka udeng bukan hanya sekadar sebuah aksesoris.

Udeng berusaha mempertemukan manusia masa kini dengan penggalan sejarah dan kebudayaan yang dimilikinya. Udeng juga mengajarkan tentang arti kebersamaan, kerukunan, kesucian, kesabaran, kesantunan dalam menghargai perbedaan.

https://regional.kompas.com/read/2021/08/11/155500678/filosofi-udeng-bukan-sekadar-ikat-kepala-masyarakat-bali

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke