Salin Artikel

Hutan Mangrove Delta Mahakam di Kaltim Rusak karena Tambak

Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah IV Samarinda mencatat ekosistem mangrove Delta Mahakam dengan total luasan 113.553,44 hektar, hanya menyisahkan 388,54 hektar atau 0,34 persen hutan mangrove primer dan 25.429 hektar hutan sekunder atau 22,39 persen.

Sisanya, 61.506,67 hektar atau 54,17 persen kawasan itu sudah berubah fungsi jadi tambak ikan dan udang.

Kemudian, jadi pemukiman warga 122,09 hektar atau 0,11 persen,  perkebunan 1.032,65 hektar atau 0,91 persen dan pertambangan 58,83 hektar atau 0,05 persen.

“Kawasan mangrove di Delta Mahakam itu sudah masuk golongan sangat kritis,” ungkap Kepala Bidang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Dinas Kehutanan Kaltim, Joko Istanto saat dihubungi Kompas.com, Minggu (1/8/2021).

Joko mengatakan ancaman berupa pembukaan lahan dengan menghabiskan hutan bakau untuk budidaya ikan dan udang, perkebunan serta klaim penguasaan lahan hutan oleh oknum masyarakat masih terus terjadi.

“Untuk itu upaya mitigasinya, dengan cara pendekatan kepada masyarakat. Selain itu upaya lainnya seperti reboisasi dan lain-lain,” tutur dia.

Ramli seorang pemilik tambak udang dan ikan di kawasan Delta Mahakan, mengatakan perambahan kawasan mangrove itu terjadi sejak 1998.

Saat itu, kata dia, setelah krisis moniter harga udang melejit tajam membuat nelayan banyak budidaya udang.

“Saat itu rata-rata semua nelayan di sini beralih bikin tambak udang,” kisah dia.

Jenis tumbuhan nipah, bakau, api-api dan lainnya yang mendominasi kawasan itu habis dibatat.

Jika dilihat dari udara, tutupan hutan mangrove yang tumbuh menutupi kurang lebih 92 pulau kecil yang membentuk kawasan delta itu terlihat bolong-bolong.

Letak kawasan delta, melingkup 13 desa dari tiga kecamatan yakni Anggana, Muara Jawa dan Muara Badak di Kabupaten Kutai Kartanegara.

Mata pencaharian masyarakat di pesisir delta didominasi nelayan.

Ramli menjelaskan, tambak di kawasan delta, rata-rata dibuka dengan cara menghabiskan pohon bakau sebelum dibikin tambak berpetak-petak.

Praktek itu terjadi bertahun-tahun, membuat hampir setengah tutupan hutan mangrove hilang. 

Belum diketahui pasti jumlah tambak dan kepemilikan nelayan di lokasi itu. 

Namun disinyalir, ada oknum yang memiliki lebih dari satu tambak dan terjadi sewa menyewa hingga transaksi jual beli lahan tambak.

Ancaman itu membuat ruang hidup ribuan satwa dari buaya muara, camar, pesut, kera merah, hingga bekantan, hewan endemik Kalimantan sebagai penghuni kawasan delta terjepit.

Disebut ada tujuh sampai sembilan kelompok individu bekantan, hewan mirip monyet, dengan setiap kelompoknya terdiri 9 sampai 15 ekor hidup di kawasan itu.


Mengenal konsep silvofishery

Ramli mengaku membuka tambak di kawasan delta sejak 2015 setelah berhenti dari perusahaan migas.

“Saya membeli lahan di sini. Lalu saya bikin tambak ikan, udang sampai sekarang,” tutur dia.

Tapi, tutupan hutan banyak hilang bikin ikan dan udang Ramli banyak mati karena panas matahari.

“Tidak ada tempat berlindung ikan dan udang. Begitu panas siang, banyak ikan mati. Jadi panennya juga enggak memuaskan waktu diawal-awal usaha,” kisah dia.

Titik balik bagi Ramli terjadi pada 2018, ketika ditemui seorang penggiat lingkungan bernama Ahmad Nuriawan dari Yayasan Mangrove Lestari Delta Mahakam.

Dari pendiskusian keduanya, ditemukan akar masalah ikan milik Ramli sering mati akibat hutan mangrove yang gundul di sekitar tambak.

Karena air tambak yang terpapar sinar matahari langsung, bisa menaikkan kadar asam air atau pH. Hal itu membuat ikan tak bertahan hidup.

"Karena itu harus ditanam kembali (bakau) sebagai pelindung," ungkap Angga sapaan Ahmad Nuriawan.

Angga menjelaskan, fungsi mangrove bagi ekologi bisa membuat subur wilayah pesisir. Oleh sebab itu mangrove mampu menghasilkan nutrisi bagi penghuni air.

“Nutrisi itu jadi makanan plangton. Plangton jadi makanan utama ikan kecil, ikan kecil dimakan ikan sedang dan besar. Juga udang, kepiting, dan biota air lainnya.” terang dia.

"Itulah rantai makanan dalam air di kawasan pesisir. Kalau mangrove dihilangkan, sama halnya menghilangkan ikan, udang, kepiting dan biota pesisir lainnya," sambung dia.

Angga kemudian memperkenalkan konsep silvofishery kepada Ramli. Sistem pertambakan dengan menggabungkan budidaya perikanan dengan penanaman mangrove.

Setelah dua tahun diterapkan, hasil panen Ramli semakin baik.

Ukuran ikan dan udang kini lebih besar dari sebelumnya. Hasil panen juga semakin banyak. Kepiting yang sebelumnya jarang ada, kini makin banyak.


Kini sudah 40 hektar lahan dibikin tambak budidaya ikan bandeng, udang windu, kepiting cangkang lunak, juga lokasi penggemukan kepiting.

Puluhan hektar tambak itu, dikelola oleh dua kelompok pembudiayaan ikan Salo Sumbala Sejathera dan Kelompok Tani Hutan Ramah Lingkungan Sumbala dengan anggota belasan orang.

Selain budidaya ikan, sebanyak 160.000 bibit mangrove jenis rhizopora mucronata dan nypah sudah ditanam di atas lahan 100 hektar lahan yang dibuka itu.

Beberapa pohon mangrove sudah terlihat membesar.

Selain menanam, para kelompok tani juga mengembangkan bibit mangrove dari polybag.

Ada 30.000 bibit sedang dikembangkan baru ditanam di sekitar areal tambak.

"Selama kami tanam, ternyata udang suka main di akar mangrove. Selama ada mangrove ini kepiting juga makin banyak. Pokoknya sejak kami tanam suasana beda,” terang Ramli.

Penghasilan dari tambak, kata Ramli mendongkrak ekonomi keluarga secara signifikan.

Kini udang hasil budidaya Ramli dan nelayan lainnya sudah diekspor ke Jepang dan Amerika.

Angga ingin menjadikan budidaya perikanan milik kelompok tani Ramlin dan nelayan lainnya menggunakan konsep silvofishery.

Metode ini jadi pilot project pengembangan ekonomi keberlanjutan.

"Harapannya kalau ini berhasil bisa menarik minat nelayan lain," harapnya.

Sebab dijelaskan Angga, ekosistem mangrove memiliki tiga hal penting.

Selain fungsi ekologi dan ekonomi bagi warga sekitar. Hutan mangrove juga penting menjaga perubahan iklim.

Serapan karbon hutan mangrove lima kali lebih besar dari hutan darat dengan luasan yang sama. Karbon itu tersimpan di akar tanah dan batang serta daun.

"Jadi ketika terokupansi maka karbon dilepas. Bisa dihitung berapa metrik ton karbon per hektar," terang dia.

Sejalan dengan rencana penurunan emisi gas rumah kaca, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadikan Delta Mahakam sebagai salah satu kawasan dalam pemukihan ekosistem mangrove.

"Dalam kawasan itu ditarget 14.000 hektar ditanam selama bibit pohon selama tiga tahun," pungkas Angga.

https://regional.kompas.com/read/2021/08/02/065643478/hutan-mangrove-delta-mahakam-di-kaltim-rusak-karena-tambak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke