Salin Artikel

Taman Nasional di Indonesia, Sudah Ada Sejak Zaman Sriwijaya

Hal tersebut terungkap dari buku Taman Nasional Indonesia: Permata Warisan Bangsa yang ditulis oleh Pungky Widiaryanto.

Pada 5 Juni 2021, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dan Karavan Cendekia menyelenggarakan sebuah acara diskusi yang mengupas tentang taman nasional di buku ini.

"Di buku ini dijelaskan bahwa ternyata sejak kerajaan Sriwijaya, sudah ada kesadaran bahwa Nusantara memiliki keindahan yang harus diselamatkan," kata Heni Masruroh, dosen Pendidikan Geografi di Universitas Negeri Malang yang menjadi panelis dalam diskusi dikutip dari nationalgeographic.grid.id.

Di prasasti tersebut tertulis bahwa Raja Sri Jayanasa membangun Taman Sriksetra, yakni sebuah taman yang berisi segala jenis tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan dari seluruh penjuru Sriwijaya.

Taman tersebut diresmikan pada 23 Maret 684 dan sang raja berharap bahwa taman ini dapat digunakan untuk kebaikan segala makhluk.

Taman Sriksetra menjadi kawasan konservasi pertama yang diketahui di Nusantara. Taman ini juga menjadi cikal bakal taman nasional yang kita kenal saat ini.

"Pada abad ke-17, VOC memonopoli perdagangan Nusantara dan mengeksploitasi daerah jajahannya. Banyak pohon ditebang dan ditanami rempah-rempah," ujar Heni.

"Akan tetapi, Belanda kemudian juga mengembangkan riset-risetnya, terutama di masa pemerintahan Raffles dari Inggris."

Di masa Raffles dibangun Kebun Raya Bogor sebagai pusat penelitian flora di Hindia Belanda.

Namun Kebun Raya Bogor, dan juga Taman Sriksetra masih menjadi pusat konservasi ex situ, dan belum dapat disebut sebagai taman nasional yang sesungguhnya.

Dalam buku ini, tertulis bahwa konsep taman nasional modern sendiri dicetuskan oleh Amerika Serikat.

"Jadi, Amerika sudah sadar bahwa alam itu menawarkan sebuah keindahan yang harus diselamatkan," tutur Heni.

"Sehingga pada tahun 1872 Amerika meresmikan Taman Nasional Yellowstone."

Keanekaraman hayati dan keindahan alam yang dimilikinya membuat para peneliti mendorong pemerintah untuk meresmikan taman nasional ini, serta melarang kepemilikan tanah dan pengrusakan di area tersebut.

Seiring waktu, Taman Nasional Yellowstone banyak mendatangkan turis yang ingin melihat rupa alam di daerah ini.

Melihat prospek wisata dan juga pentingnya pelestarian alam, Amerika Serikat akhirnya meresmikan lebih banyak lagi taman nasional, dan juga pusat konservasi serupa dalam bentuk cagar alam dan hutan nasional.

Kesuksesan Amerika Serikat memengaruhi Belanda untuk melakukan hal yang sama untuk koloninya.

Pada tahun 1919, pemerintah Hindia Belanda meresmikan 55 taman nasional, yang mereka sebut sebagai Natuurmonumenten en Wildreservaten (monumen dan cagar alam).

Taman nasional terbesar yang diresmikan saat itu adalah Natuurmonumenten Lorentz yang terletak di Papua, dengan luas sekitar 3.000 kilometer persegi.

Menurut Pungky, ada dua alasan mengapa Hindia Belanda tidak menggunakan istilah taman nasional.

"Pertama, Belanda merasa gengsi bahwa ide taman nasional itu dari Amerika, negara yang lebih muda dibandingkan Belanda yang sudah berdiri sejak lama," kata Pungky.

Indonesia sendiri baru meresmikan taman nasional pertamanya pada tahun 16 Maret 1980.

Kala itu, Indonesia meresmikan lima taman nasional sekaligus yakni Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Taman Nasional Baluran, dan Taman Nasional Komodo.

Jumlah taman nasional di Indonesia pun terus berkembang, dan perlahan-lahan juga melingkupi daerah yang sebelumnya pernah diresmikan pemerintah Hindia Belanda, seperti Taman Nasional Lorentz.

"Kita sekarang mempunyai 54 taman nasional yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari laut sampai ke puncak gunung tertinggi, dan juga dari jasad renik yang kecil hingga gajah yang besar," pungkas Pungky.

https://regional.kompas.com/read/2021/06/13/121200178/taman-nasional-di-indonesia-sudah-ada-sejak-zaman-sriwijaya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke