Salin Artikel

Gencar Sosialisasi Potensi Tsunami di Selatan Jatim, BMKG Tak Ingin Tragedi Palu Terulang

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menegaskan, penyebaran informasi tentang potensi bencana alam itu diharapkan menjadi tonggak munculnya kesadaran masyarakat.

BMKG berharap, kesadaran tersebut diikuti kesiapan menghadapi bencana alam, khususnya gempa bumi dan tsunami.

Dwikorita, usai meninjau jalur evakuasi di Pantai Tambakrejo di pesisir selatan Blitar, Selasa malam (8/6/2021), menegaskan pentingnya kesadaran masyarakat pada potensi laten bencana gempa bumi dan tsunami yang selalu mengincar.

Hal itu merupakan konsekuensi dari kenyataan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia  termasuk warga Jawa Timur tinggal atas jalur cincin api (ring of fire) dan di pertemuan lempeng-lempeng bumi atau di zona yang rawan terdampak bencana gempa bumi.

Bagi mereka yang tinggal di kawasan pesisir laut, ujarnya, kewaspadaan masih harus ditambah dengan kewaspadaan pada ancaman tsunami.

"Jadi kepanikan dan ketakutan sama sekali bukan respons yang kami harapkan," ujarnya saat berada di Rumah Dinas Walikota Blitar.

Di beberapa negara yang berada di zona rawan bencana gempa bumi dan tsunami, ujarnya, pemerintah dan masyarakat terbiasa melakukan simulasi dan latihan mitigasi bencana.

Termasuk latihan melakukan evakuasi karena tsunami bisa menerjang secara cepat, terhitung sejak adanya peringatan dini.

Sejak terjadinya gempa bumi yang mamicu tsunami, ujarnya, gelombang tsunami akan mencapai pesisir selatan Blitar dalam waktu 20 hingga 24 menit.

"Golden times-nya adalah 20 menit dikurangi 4 menit waktu untuk peringatan dini. Jadi tersisa 16 menit. Ini golden times yang harus dimanfaatkan dengan baik untuk menyelamatkan diri," urainya.

Agar masyarakat dapat memanfaatkan dengan baik golden times itu, ujar Dwikorita, harus ada kesiapan mitigasi termasuk penyelamatan diri dalam waktu yang sangat terbatas.

Kesiapan masyarakat melakukan mitigasi, mengevakuasi diri ke lokasi aman, ujarnya, didapatkan melalui latihan rutin.

"Tapi sebelum bersedia latihan rutin yang difasilitasi pemerintah, lebih dulu harus ada kesadaran, pemahaman, bukan kepanikan ketika menerima informasi adanya potensi tsunami," tegas Dwikorita.

Dia menyampaikan pentingnya peran pemerintah termasuk pemerintah daerah memfasilitasi semua hal terkait kesiapan masyarakat dalam menghadapi kemungkinan bencana, khususnya tsunami.

Mantan rektor UGM itu menyebutkan beberapa kejadian bencana tsunami di Indonesia yang menjadi contoh ketidaksiapan berbagai pihak menghadapi bencana tsunami.

Tsunami Banyuwangi tahun 1994, tsunami Aceh tahun 2004, tsunami Pangandaran tahun 2006, dan tsunami Palu tahun 2018, ujarnya, adalah contoh ketiadaan kesiapan menghadapi bencana.

Termasuk juga ketiadaan sistem deteksi dini, berikut langkah mitigasinya.

"Contoh kecolongan itu gempa dan tsunami Banda Aceh. Itu tidak ada yang mikir, tidak ada yang tahu, tiba-tiba terjadi begitu saja," ujarnya.

Dwikorita memberikan catatan khusus pada tsunami dan bencana likuifaksi di Palu tahun 2018 yang menelan korban ribuan jiwa sebagai tragedi bencana alam yang sangat dia sesalkan.

Kajian yang bermuara pada adanya potensi gempa bumi diikuti tsunami di Palu, ujarnya, sudah disampaikan oleh seorang ahli geologi ITB bernama Profesor J.A. Katili pada tahun 1970-an.

Menurut Dwikorita, doktor geologi pertama Indonesia itu memprediksi bencana gempa bumi diikuti tsunami akan terjadi pada tahun 2000.

Peringatan itu, ujarnya, sebenarnya direspons positif berbagai pihak termasuk pemerintah daerah dengan terlibat dan memberikan dukungan besar pada upaya membangun kesiapan menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami.

Meski prediksi terjadinya gempa dan tsunami di tahun 2000 tidak terbukti, BNPB, Bappenas dan perguruan tinggi mengirimkan tim tahun 2009 untuk mendampingi Palu menyiapkan diri menghadapi bencana.

Menurut Dwikorita, selama 5 tahun hingga 2014 telah banyak hal yang dicapai terkait kesiapan menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami di Palu.

Selama itu, ujarnya, masyarakat rutin melakukan latihan mitigasi, evakuasi, dan peta tata ruang kota telah selesai disusun.

Tapi ketika tahun 2014 walikota dan pejabat-pejabat Kota Palu berganti, latihan tidak lagi dijalankan dan peta tata ruang yang dibuat tidak dieksekusi.

"Mungkin capek nunggunya, maka berhenti semua. Tapi, eh, tiba-tiba terjadi (tsunami tahun 2018). Ini fakta dan benar-benar terjadi," tuturnya.

Dwikorita mengatakan, dirinya termasuk orang yang sangat bersedih dan menyesalkan apa yang terjadi di Palu karena juga terlibat dalam proses tersebut.

"Lima tahun kerja keras itu hilang semua, percuma," ujarnya.

Menurutnya, gempa dan tsunami Palu juga merupakan contoh bahwa kapan terjadinya gempa tidak bisa diprediksi secara pasti meskipun adanya potensi terjadinya gempa dapat dideteksi lebih dini.

Justru karena tidak dapat diprediksi kapan persisnya potensi gempa bumi akan terjadi, ujarnya, yang harus dilakukan adalah membudayakan kesiapan menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami.


Bukan hanya Jatim

BMKG terus melakukan pengamatan dan kajian potensi gempa bumi di seluruh penjuru Indonesia.

Dwikorita mengatakan bahwa sebenarnya potensi gempa bumi tidak hanya di selatan Jawa Timur namun juga di beberapa titik lain termasuk selatan Jawa Tengah.

Namun, ujarnya, klaster kegempaan selatan Jawa Timur disusul klaster selatan Banten dan Selat Sunda mengindikasikan adanya potensi lebih tinggi akan terjadinya gempa bumi besar yang bisa memicu tsunami.

"Cuma klasternya nampaknya sekarang lebih Jawa Timur, kemudian Banten dan Selat Sunda," ujarnya.

Potensi gempa besar di selatan Jawa Timur, ujarnya, pusatnya kemungkinan ada di titik lepas pantai yang berjarak sekitar 250 kilometer di selatan Blitar.

https://regional.kompas.com/read/2021/06/12/164014778/gencar-sosialisasi-potensi-tsunami-di-selatan-jatim-bmkg-tak-ingin-tragedi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke