Salin Artikel

15 Tahun Gempa Yogya, Dua Sahabat Penyandang Disabilitas Tak Menyerah di Tengah Keterbatasan

YOGYAKARTA,KOMPAS.com- Suara musik cukup keras menemani Imam Sibaweh (35) menggesut alat sablon di salah satu kamar rumah sederhana di Padukuhan Kwasen Rt 02, Kalurahan Srimartani, Kapanewon Piyungan, Bantul, DIY, Selasa (25/5/2021) siang.

Kain warna merah disablon tokoh Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun atau Mbah Nun.

Di sampingnya ada sebuah komputer jinjing yang memajang gambar Cak Nun yang digunakan sebagai contoh. Tepat disampingnya ada sebuah kursi roda yang setiap saat siap diduduki. Saat Kompas.com menyapa, memanggil Imam, pria ramah itu guyon menunjuk salah seorang temannya yang kebetulan main di studinya.

"Enggak kok Mas, saya Imam," kata bapak 2 anak itu.

Sebelum bercerita, Imam sempat mengecilkan volume radio di samping kamar. Menggunakan kursi roda, dia lincah memasuki sudut rumah yang setiap kamar lantainya dibuat landai agar Imam mudah saat menggunakan kursi rodanya.

Lulusan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) sekarang menjadi SMK N 3 Kasihan Bantul ini menceritakan gempa 2006 menyebabkan kedua kakinya tidak bisa merasakan dari lutut ke bawah.

Sebab, saat itu tubuhnya tertimpa bongkahan bangunan rumahnya. Sekitar rumahnya ada 48 orang meninggal, dan lainnya luka.

Saat itu, dirinya dirawat di RS Swasta di Kota Yogyakarta, dan melanjutkan rehabilitasi di Yayasan Yakkum, Sleman selama hampir dua tahun. Selesai rehabilitasi dirinya lantas bekerja di sebuah hotel bintang lima di Kota Yogyakarta hingga lima tahun (2007 sampai 2012).

Tak menyebut alasan berhenti secara gamblang, Imam mengaku selama bekerja kedinginan di ruangan ber-AC.

Lalu dirinya memulai usaha sablon bekerja sama dengan orang lain. Namun usaha itu tak berlangsung lama, asetnya habis dijual. Lalu dirinya melanjutkan menyablon sendiri di rumah, dan bekerja di sebuah LSM.

Nah disana dirinya bertemu dengan seorang perempuan yang dinikahinya tahun 2014 lalu. Dia memilih untuk mengundurkan diri karena merasa tak enak bekerja bersama istri di LSM tersebut.

"Setelah berhenti bekerja saya fokus nyablon," kata Imam.

Usaha yang digelutinya pun lama kelamaan berkembang, dia bahkan sempat membagi menjadi lima tim untuk menyablon. Sebelum pandemi, pesanan kaos dari berbagai komunitas, yang terbesar komunitas motor itu pun cukup untuk menghidupi keluarganya.

Namun badai pandemi setahun terakhir menyebabkan pesanan menurun. Saat ini hanya beberapa pesanan kaos didapatnya perbulan.

"Ini saja saya buat kaos anak sisa kain pesanan sebelumnya," kata Imam

Di rumahnya dipajang hasil sablonan di etalase yang sudah cukup berdebu tanda tidak banyak orang yang datang. Beberapa kaos baru dijual Rp 50.000 bagi siapa saja yang ingin membeli.

Selama ini dirinya memasarkan sablonnya melalui Facebook pribadinya Imam Sibaweh dan instagram @go_baweh.

"Pesanan belum selancar sebelum pandemi, ya pokoknya berusaha saja. Sambil momong anak," kata dia.

Sambil memegang meja untuk menopangnya berdiri, Imam menggesut alat sablonnya. Dia juga bisa mengendarai motor roda tiga, bahkan bisa menyetir mobil.

Sambil menunjukkan video menyetir, Imam mengatakan, mobil tua Daihatsu Hijet 1000 dimodifikasi, bagian tongkat persneling diberi kopling tangan.

Gas dan rem juga dimodifikasi agar bisa ditekan menggukan bagian dengkulnya.

Saat berbincang, Imam juga memperkenalkan salah seorang teman saat rehabilitasi di Yakkum yang saat ini bekerja sebagai sales.

Dia adalah Sigit Triyanta warga Kapanewon Pleret, Bantul. Sigit juga terluka akibat gempa 2006 dan bagian mata kaki ke bawah tidak bisa digerakkan.

Meski mengalami keterbatasan, dirinya tetap berusaha mencari nafkah. Hampir setiap hari menyusuri jalanan wilayah DIY, menawarkan dagangannya kepada pemilik toko.

Sigit menceritakan, setelah gempa 2006 yang merenggut dua orang keluarganya, dia menjalani operasi di RS Swasta di Kota Yogyakarta. Lalu menjalani rehab di Yayasan Yakkum Sleman selama beberapa bulan.

Setelah itu dirinya sempat tidak bekerja, lalu berjualan makanan tradisional di Pasar Pleret, lalu menjual mainan anak di sekolah, dan terakhir memutuskan menjadi sales berbagai kebutuhan rumah tangga.

Motor matic diberi keranjang di belakangnya menemani hari-harinya. Dua kruk untuk menopang Sigit berjalan diletakkan di atas motor.

"Saat pandemi ya semua sepi, tetapi mau bagaimana lagi tetap bekerja," kata Sigit.

Keduanya tak mau menyerah meski dengan keterbatasan. 

https://regional.kompas.com/read/2021/05/27/203233878/15-tahun-gempa-yogya-dua-sahabat-penyandang-disabilitas-tak-menyerah-di

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke