Salin Artikel

Anjang-anjangan, Budaya Lebaran Tanah Sunda yang Hampir Punah

BANDUNG, KOMPAS.com – Santi Susanti (25) melihat jam, pukul 10.00 WIB.

Waktu yang dianggap pas olehnya memasak hidangan Lebaran khas daerahnya, Cililin, Kabupaten Bandung Barat (KBB).

Ibu dari dua anak ini memasak beberapa jenis makanan. Ada nasi, ayam, semur bihun campur cabai, sambal goren kentang ati ampela, dan lainnya.

Setelah selesai, ia kemudian menyiapkan rantang. Empat susunan rantang diisi makanan berbeda, sesuai dengan apa yang ia masak.

Untuk nasi, ia kemas dalam bentuk timbel berukuran besar.

“Makanan di rantang-rantang ini buat orangtua, mertua, dan sepuh-sepuh. Jadi, saya masak sekalian bukan cuma buat saya, tapi juga sepuh-sepuh,” ujar Santi, kepada Kompas.com di Cililin, KBB, Rabu (12/5/2021).

Bagi keluarga Santi, mengantarkan masakan Lebaran sudah menjadi budaya di kampungnya.

Sejak kecil, menjelang Idul Fitri ia disuruh ibunya untuk mengantarkan makanan, sehari sebelum Lebaran.

Anjang-Anjangan

Budaya yang dimaksudkan Santi bernama anjang-anjangan (saling mengunjungi).

Ada pula yang menyebutnya mawakeun (membawakan), silih raosan (saling mencoba), tergantung daerahnya.

Ketua Kelompok Studi Budaya (KSB) Rawayan, Agustin Purnawan mengatakan, anjang-anjangan merupakan budaya saling mengirim makanan di Tanah Sunda menjelang Lebaran.

Makanan yang dikirim dalam bentuk rantang tersebut dibagikan ke tetangga dan handai taulan.

Biasanya, orang yang menerima rantang, akan menukar makanan tersebut dengan hidangan Lebaran yang ia masak.


“Setidaknya ada dua tujuan dari budaya tersebut, yakni bersedekah dan mempererat silaturahmi atau dalam bahasa sunda disebut duduluran,” ungkap lulusan Sastra Sunda Universitas Padjadjaran (Unpad) Angkatan 1992 ini.

Pria yang akrab disapa Apun ini mengungkapkan, budaya saling memberi ini sudah biasa bagi orang kampung di Sunda. 

Bila dikaitkan dengan Islam, Nabi Muhammad SAW pernah menganjurkan, bila seseorang memasak kemudian tetangga yang dekat mencium baunya, maka baiknya tetangga diberi makanan tersebut.

Saat masih kecil, awal tahun 1980-an, budaya anjang-anjangan ini begitu marak. Lulusan SDN 5 Pangalengan tersebut bahkan menanti-nanti disuruh ibunya untuk mengantarkan makanan.

“Soalna sok diburuhan (diberi uang) oleh tetangga tujuan. Lumayan buat jajan, dari semua tetangga sekitar Rp 500,” ungkap Apun.

Budaya ini perlahan luntur. Menginjak SMA tahun 90an, ia sudah jarang melihat budaya anjang-anjangan ini.

Namun, hal itu tidak bisa dipukul rata. Bisa jadi masih ada daerah yang merawat budaya tersebut. 

Garut dan Cililin

Seperti di Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut serta Cililin, KBB.

Warga Pakenjeng Garut, Karmini (59) mengungkapkan, di kampungnya budaya ini masih ada, meski tidak semarak dulu.

Bahkan, di tahun 60-an, saat dirinya masih kecil ada sesuatu yang unik. Di hari terakhir shaum, ada sebagian warga yang buka puasa lebih cepat.

“Jadi kalau selesai masak jam 12.00, buka puasanya jam 12.00. Kalau selesainya jam 15.00 sore, bukanya jam 15.00 sore. Tapi, sekarang tidak gitu, bukanya tetep jam 18.00 atau saat waktunya buka,” tutur dia.

Sementara itu, Mak Toto (80) menceritakan bagaimana budaya tersebut perlahan menghilang. Dulu saat kecil, budaya saling bertukar makanan menjelang Lebaran dilakukan semua warga.

“Buat tetangga yang punya (rezeki) akan mengisi kembali rantang. Tapi, kalau tidak ada, enggak akan mengisi rantang,” ucap dia.


Lambat laun, budaya saling merasakan makanan tersebut hilang. Kini, mengantarkan makanan Lebaran hanya dilakukan antar keluarga.

Misalnya, mengantarkan rantang buat orangtua, kakak, adik, neneng, ataupun saudara lainnya. Untuk tetangga sudah jarang dilakukan.

Bahkan, terkadang, antar saudara pun mulai jarang dilakukan. Biasanya, saudara datang kemudian makan di rumah orang yang dikunjungi.

Salah satu penyebab lunturnya budaya ini adalah para sesepuh atau orangtua dulu satu per satu meninggal. Ia pun merasakan sekali hal ini.

“Emak anak pertama dari lima bersaudara. Dua saudara emak sudah meninggal. Setelah itu budaya (anjang-anjangan) makin hilang di keluarganya,” ungkap dia.

Hanya ada satu atau dua rantang yang diterimanya menjelang Lebaran. Untuk isinya, disesuaikan dengan kemampuan ekonomi orang tersebut.

“Dulu, kere ikan, makanan paling wah. Sekarang, yang punya daging ayam, bisa ngasih daging ayam. Yang punya daging sapi, bisa ngasih daging sapi," ujar dia.

https://regional.kompas.com/read/2021/05/12/185114878/anjang-anjangan-budaya-lebaran-tanah-sunda-yang-hampir-punah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke