Salin Artikel

Sempat Terpuruk karena Pandemi, Permintaan Pakaian Sulam Mulai Naik Jelang Lebaran

MALANG, KOMPAS.com - Produksi sempat merosot akibat pandemi, kini permintaan produk sulam dan rajut Almira Handmade perlahan mulai naik.

Momen Lebaran ikut menyumbang pemulihan usaha produk sulam dan rajut tersebut.

Sebab, sebagian besar produknya merupakan busana Muslim, seperti kerudung, mukenah dan pakaian muslim lainnya.

Pemilik Almira Handmade, Nurul Hidayati (42) mengatakan, dampak pandemi cukup terasa bagi usahanya.

Permintaan yang biasanya mencapai 2.000 potong per bulan, merosot hingga 90 persen. Hal itu terjadi di awal pandemi.

Hari Raya Idul Fitri 2020 atau momen Lebaran saat itu tidak mampu mendongkrak permintaan produk yang merupakan hasil dari kreasi tangan itu.

"Padahal, biasanya pada saat Lebaran, kenaikan bisa mencapai dua kali lipat, jadi ada kenaikan sebesar 100 persen dari hari biasa," kata Nurul, di rumahnya yang juga menjadi tempat usahanya di Jalan Sunan Muria II/16 Kota Malang, Jumat (30/4/2021).

Supaya usahanya tetap berjalan, pihaknya berusaha untuk mengikuti permintaan pasar. Salah satunya adalah dengan membuat alat pelindung diri.

Saat ini, permintaan produk pakaian Muslim dengan motif sulam dan rajut itu mulai naik meski belum pulih seperti sebelum pandemi. Terutama, saat memasuki Bulan Ramadhan atau menjelang Lebaran 2021.

Nurul mengatakan, permintaan sudah mencapai 70 persen dari permintaan sebelum pandemi karena faktor Lebaran.

"Nah, untuk Lebaran yang kedua di masa pandemi ini (Lebaran 2021), sudah mulai naik meskipun belum optimal. Sekarang kami masih merangkak 70 persen dari hari biasa sebelum pandemi," ujar dia.

Nurul merintis usahanya ini sejak tahun 2011. Pendidikannya di bidang penciptaan seni membuatnya terampil dalam menyulam dan merajut kain.

Semula, Nurul mengajari para tetangganya yang tidak bekerja untuk merajut dan menyulam kain. Hasilnya lantas dipasarkan.

"Saya pasarkan ke teman-teman kok responsnya positif akhirnya berkembang," kata dia.

Sampai saat ini, pekerja untuk usahanya itu adalah ibu rumah tangga yang sudah pernah dilatihnya. Mereka mengerjakan busana itu dari rumahnya masing-masing.

"Karena menyulam ini fleksibel, bisa dikerjakan di mana-mana. Hanya beberapa karyawan untuk jahit dan finishing saja yang di sini," kata dia.

Ada 100 ibu rumah tangga yang menjadi mitra usahanya dalam merajut dan menyulam kain.

Dosen di Prodi Tata Busana, Jurusan Teknologi Industri, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Malang itu menjual hasil produksinya dalam rentang harga Rp 85.000 hingga Rp 1.250.000.

Segmentasi pasarnya adalah perempuan berusia 30 sampai 60 tahun.

Sementara itu, pengerjaan motif sulam dan rajut itu memakan waktu yang cukup lama. Paling cepat, satu potong pakaian memakan waktu dua hari dan paling lama mencapai satu bulan.

"Penyelesaian produk tergantung dari tingkat kesulitannya. Kalau sulit, bisa seminggu atau dua minggu, bahkan ada yang satu bulan. Kalau mudah, bisa selesai dalam dua hari," kata dia.

Sementara itu, usaha rajut dan sulam itu sudah merambah ke pasar Jerman di Munchen dan pasar Spanyol di Barcelona.

Pihaknya mengaku rutin mengirim hasil produksinya ke kota-kota tersebut.

"Ada yang secara terus menerus kami ekspor ke luar negeri. Terutama untuk mengerjakan baju-baju untuk musim spring dan summer. Itu kami ekspornya ke Jerman dan Spanyol," kata dia.

Nurul mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan salam satu merek pakaian yang ada di kota itu.

"Kerja sama dengan brand yang ada di sana. Produk kami dipasang di sana," ujar dia.

https://regional.kompas.com/read/2021/04/30/170843078/sempat-terpuruk-karena-pandemi-permintaan-pakaian-sulam-mulai-naik-jelang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke