Salin Artikel

Lebih dari Separuh Luas Pulau Sangihe Jadi Tambang Emas, Berlaku 35 Tahun, Warga Menolak

MANADO, KOMPAS.com - Konsesi tambang di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, ditolak warga.

Hal ini diungkapkan anggota DPRD Sulawesi Utara, Winsulangi Salindeho, dari daerah pemilihan Nusa Utara (Sangihe, Sitaro, dan Talaud), saat diwawancara Kompas.com, Rabu (28/4/2021).

"Adanya izin kepada PT T ditolak masyarakat," ungkapnya.

Winsulangi mengatakan, penolakan tersebut disampaikan para generasi muda dan perwakilan Badan Adat saat ia turun reses.

"Alasan mereka bahwa aktivitas pertambangan merusak kondisi alam, lingkungan sekitar serta sumber air bersih," katanya.

"Saya sendiri memang berharap juga jangan ada izin. Apalagi PT T diberikan waktu untuk mengelola kurang lebih 35 tahun. Sangihe pulau yang kecil, dikelola emas selama 35 tahun akan rusak sama sekali," tambahnya.

Ia menjelaskan, lebih dari separuh luas Pulau Sangihe ditetapkan sebagai wilayah pertambangan emas milik PT T.

"Luas diberikan kurang lebih 42.000 hektar, bayangkan berapa sih luas daratan Sangihe itu," sebutnya.

Politikus Partai Golkar itu menyatakan, dengan adanya izin yang diberikan pemerintah pusat kepada PT T, akan memengaruhi kondisi lingkungan hidup dari Pulau Sangihe itu sendiri.

Sebab, di kawasan yang diberikan hak tambang kepada PT T, ada wilayah yang perlu di konservasi.

"Ada satwa-satwa yang harus dilindungi. Kalau dikelola tambang emas pasti pengaruh terhadap satwa yang dilindungi," ujarnya.

Selain itu, di kawasan Gunung Sandarumang, Kecamatan Tamako, di situ ada sumber mata air untuk warga.

Kemudian, di Desa Ulungpeliang ada pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan sumber airnya dari Gunung Sandarumang.

"Dan izin yang diberikan pemerintah pusat kepada PT T termasuk wilayah itu," sebut Winsulangi.

Mantan Bupati Sangihe itu menuturkan, respons Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sangihe tidak setuju dengan izin tambang ini.

"Saya lihat bupati juga tidak setuju kalau saya dengar-dengar, saya juga sudah membaca statement Pak Bupati tentang ketidaksetujuan terhadap tambang emas yang diberikan izin oleh pemerintah pusat," paparnya.

Dikatakannya, dengan adanya penolakan warga terkait konsesi tambang ini, peran pemerintah provinsi harus ada untuk memberikan solusi.

"Jadi peran Pak Gubernur untuk meyakinkan kepada pemerintah pusat. Pastinya dengan izin pemerintah pusat ini, Pemkab Sangihe juga dilema. Karena ketika pusat memberikan izin, daerah harus mengamankan itu. Ini satu dilema juga bagi DPRD Sangihe," tandasnya.

Warga juga sudah membuat petisi "Sangihe Pulau yang Indah, Kami TOLAK Tambang". Diakses dari change.org pada Rabu (28/4/2021), yang telah menandatangani petisi sebanyak 28.259 orang.

Berikut beberapa petikan poin dalam petisi tersebut:

Namun, saat ini kami terkejut. Tiba-tiba pulau kami dimasuki oleh perusahaan tambang emas bernama PT. T untuk dieksploitasi.

Seseorang bernama R, Kementerian ESDM. Dia tidak mengenal kami dan tidak pernah datang ke pulau kami, telah mengeluarkan ijin SK Produksi bernomor 163.K/MB.04/DJB/2021 dengan luas konsesi sebesar 42.000 Hektar. Itu artinya setengah dari luas pulau kami. Ia yang berada dalam kenyamanannya di Jakarta, dengan mudahnya menetapkan pulau kecil kami untuk ditambang.

Dalam UU Nomor 1 Tahun  2014, pulau-pulau dengan luas daratan kurang dari 2000 Km2 dikategorikan sebagai pulau kecil dan tidak boleh ditambang. Sedangkan pulau kami hanya berukuran 736 Km2. Namun entah apa yang ada di benak para pejabat itu sehingga memberi ijin pada perusahaan asing untuk membongkar daratan pulau ini.    

Jika pulau kami ditambang, lahan pertanian kami pasti hilang. Lalu ke mana petani kami mencari tanah untuk diolah? Sementara hutan kami pun akan rusak, satwa dan tanaman endemik kami kehilangan habitatnya dan beresiko  punah. Hutan juga menjadi penopang hidup kami, menjadi hulu dari seluruh sungai yang mengalir di setiap kampung. Jika pulau ini ditambang, mata air akan putus bahkan tercemar.

Belum lagi, jika tambang yang hendak beroperasi hingga 2054, maka limbah beracunnya, kalau di darat akan masuk ke mata air dan sumur-sumur kami. Jika ke laut, akan mencemari bakau dan karang tempat ikan-ikan kami bertelur dan mencari makan. Lalu kami pun akan memakan ikan yang mengandung racun itu. Ini artinya kami hendak dibunuh perlahan-lahan.

Sistem pertambangan terbuka yang akan digunakan nantinya akan mempengaruhi struktur geologi tanah kami. Getaran dan benturan akibat pengeboran atau pemboman akan mempengaruhi lempengan tektonik di bawah pulau kami, dan tentu kami tidak mau peradaban kami hilang karena bencana.

Jika pulau kami telah rusak oleh tambang emas. Lalu bagaimana nasib anak cucu kami. Di mana mereka akan tinggal? Haruskah mereka terusir dari tanah nenek moyang mereka?

https://regional.kompas.com/read/2021/04/29/080620378/lebih-dari-separuh-luas-pulau-sangihe-jadi-tambang-emas-berlaku-35-tahun

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke