Salin Artikel

Penampakan Masjid Jami Palopo, Simbol Awal Peradaban Islam, Toleransi dan Keberagaman di Sulawesi Selatan

Ketiga ulama itu adalah Datok Sulaiman  atau biasa disebut Datok Patimang juga bergelar Khatib Sulung, kemudian Abdul Makmur atau  Datok Ri Bandang dengan gelar Khatib Tunggal dan  Abdul Jawad  atau Datok Di Tiro bergelar Khatib Bungsu.

Pemangku adat Luwu, Maddika Bua Andi Syaifuddin Kaddiraja mengatakan Islam masuk secara resmi pada tahun 1603 Masehi, pada masa Datu Luwu ke-15 yakni La Patiware.

Ibukota Kerajaan Luwu saat itu berada di Pattimang Malangke, tiba-tiba dipindahkan ke Palopo.

“Ibukota kerajaan dipindahkan ke Palopo setelah terjadi cekcok internal kerajaan yang diselesaikan secara arif dan bijaksana, saat dipindahkan disaat itulah dibangun juga Masjid Jami Palopo tahun 1604 Masehi,” kata Andi Syaifuddin, saat dikonfirmasi Selasa (20/04/2021) lalu.

Perpaduan aneka kebudayaan dalam satu bangunan

Masjid Jami Palopo dibangun di Tanah Ware’  yang artinya masjid ini dibangun di tengah pusat Tana Luwu.

Bangunan  masjid ini memiliki unsur penting yang melekat dalam konstruksi masjid yaitu unsur lokal Bugis, Jawa  bahkan Tiongkok. 

Tak heran jika akulturasi budaya yang melekat pada ornamen masjid kental dengan beberapa daerah seperti  atap rumah joglo Jawa yang berbentuk piramida bertumpuk tiga dan kenampakan dari beberapa ornamen masjid yang nampak dari depan  menyerupai bangunan dari negeri Tiongkok.

Batu dari gunung direkatkan dengan putih telur

Pengurus Masjid Jami Palopo, Usman Abdul Malla mengatakan Masjid Jami dibangun secara bergotong royong dengan luas 14 x 14 meter,  bahan bangunannya terutama dinding terbuat dari batu yang didatangkan dari gunung.

“Konon katanya oleh masyarakat Palopo bangunan ini direkatkan oleh putih telur, sehingga saling rekat,  selain itu batu yang menjadi dinding masjid ukurannya berbeda  yang merupakan simbol untuk merekatkan persaudaraan,” ucap Usman.  

Dari depan  Masjid Jami Palopo nampak satu pintu utama,  di masjid ini hanya terdapat satu pintu  sebagai simbol keesaan Allah sang pencipta, pada kiri dan kanan pintu utama diapit masing masing tiga jendela atau jumlahnya enam buah yang menandakan simbol enam rukun iman. 

“Secara keseluruhan Masjid Jami dikelilingi 20 buah jendela  yakni di samping kiri 7 buah dan kanan 7 buah  serta depan 6 buah, ini adalah simbol dari 20 sifat wajib bagi Allah, selain itu terdapat 12 buah lubang-lubang kecil  atau jendela bulan yang berukuran kecil, masing masing 6 buah di sebelah kiri dan kanan, adalah sebagai simbol 12 bulan dalam satu tahun,” ujar Usman. 

Di dalam masjid terdapat mimbar  yang menggambarkan akulturasi budaya Jawa dan Tiongkok,  di atas dari mimbar tersebut diatapi dengan kulit kerang yang menggambarkan bahwa penyebaran agama islam di Palopo melalui jalur laut. 


Kisah mistis kayu cina duri, tiang penyangga utama masjid

Selain itu Masjid Jami dibangun dengan 5 tiang penyangga, 1 tiang penyangga utama terdapat di tengah masjid, 4 lainnya berada di sudut. 

“Tiang penyangga utama terbuat dari fosil kayu cina duri  yang telah berumur ratusan tahun, pada tiang utama ini bersegi 12 yang menandakan bahwa di Luwu atau Palopo memiliki jumlah anak suku sebanyak 12  atau dengan kata lain pada masa pembuatan masjid seluruh anak suku tersebut hadir memberikan sumbangsih  baik pemikiran maupun pekerjaan fisik, antara satu tiang dengan tiang lainnya disambung dengan menggunakan pasak kayu sehingga saling melengkapi dan melekat kuat,” tutur Usman.

Kayu tiang penyangga utama dari fosil kayu cina duri tersebut  diyakini oleh warga Palopo sebagai sesuatu yang bernilai mistis, sehingga kayu tersebut seringkali diambil orang untuk kepentingan pengobatan. 

Selain itu bagi warga dari luar daerah jika datang di Palopo belum dikatakan lengkap atau menginjakkan kaki di Palopo jika belum mendatangi Masjid Jami dan melihat langsung kayu cina duri.

Untuk menghindari pengambilan kayu tiang tersebut  pihak pengelola masjid melindungi dengan menggunakan kaca. 

Pintu pagar dibangun Belanda tahun 1938

Perubahan rona awal Masjid Jami Palopo  hingga saat ini tidak terlalu mencolok  meskipun beberapa kali mengalami perbaikan, dari depan  perubahan hanya nampak dari pintu pagar yang dibangun sejak jaman Belanda pada tahun 1938 masehi.   

Masjid ini tidak pernah sepi dari jamaah terutama pada bulan Ramadan setiap selesai melaksanakan shalat para jemaah tetap tinggal di masjid untuk mengaji atau membaca tadarrus Alquran dan berzikir.

“Masjid ini juga menjadi salah satu kunjungan wisatawan baik domestik maupun mancanegara,  namun dikarenakan adanya pandemi Covid-19 sehingga wisatawan mancanegara tidak ada lagi yang datang,” jelas Usman.

https://regional.kompas.com/read/2021/04/25/163000778/penampakan-masjid-jami-palopo-simbol-awal-peradaban-islam-toleransi-dan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke